Senin, 18 Mei 2009

Perpustakaan Sekolah Sarana Peningkatan Minat Baca

Heri Abi Burachman Hakim

Staff Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM

Saat ini minat baca masih menjadi perkerjaan rumah yang belum terselesaikan bagi bangsa Indonesia. Berbagai program telah dilakukan untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Pemerintah, praktisi pendidikan, LSM dan masyarakat yang perduli pada kondisi minat baca saat ini telah melakukan berbagai kegiatan yang diharapkan mampu meningkatkan apresiasi masyarakat untuk membaca, akan tetapi berbagai program tersebut belum memperoleh hasil maksimal

Untuk mewujudkan bangsa berbudaya baca, maka bangsa ini perlu melakukan pembinaan minat baca anak. Pembinaan minat baca anak merupakan langkah awal sekaligus cara yang efektif menuju bangsa berbudaya baca. Masa anak-anak merupakan masa yang tepat untuk menanamkan sebuah kebiasaan, dan kebiasaan ini akan terbawa hingga anak tumbuh dewasa atau menjadi orang tua. Dengan kata lain, apabila sejak kecil seseorang terbiasa membaca maka kebiasaan tersebut akan terbawa hingga dewasa.

Pada usia sekolah dasar, anak mulai dikenalkan dengan hurup, belajar mengeja kata dan kemudian belajar memaknai kata-kata tersebut dalam satu kesatuan kalimat yang memiliki arti. Saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menanamkan kebiasaan membaca pada anak. Setelah anak-anak mampu membaca, anak-anak perlu diberikan bahan bacaan yang menarik sehingga mampu menggugah minat anak untuk membaca buku. Minat baca anak perlu dipupuk dengan menyediakan buku-buku yang menarik dan representatif bagi perkembangan anak sehingga minat membaca tersebut akan membentuk kebiasaan membaca. Apabila kebiasaan membaca telah tertanam pada diri anak maka setelah dewasa anak tersebut akan merasa kehilangan apabila sehari saja tidak membaca. Dari kebiasaan individu ini kemudian akan berkembang menjadi budaya baca masyarakat.

Akan tetapi pembinaan minat baca anak saat ini sering terbentur dengan masalah ketersediaan sarana baca. Tidak semua anak-anak mampu mendapatkan buku yang mampu mengugah minat mereka untuk membaca. Faktor ekonomi atau minimnya kesadaran orang tua untuk menyediakan buku bagi anak menyebabkan anak-anak tidak mendapatkan buku yang dibutuhkan. Tidak tersedianya sarana baca merupakan masalah besar dalam pembinaan minat baca anak. Anak-anak tidak dapat memanjakan minat bacanya karena tidak tersedia sarana baca yang mampu menggugah minat anak untuk membaca. Padahal pembinaan minat baca anak merupakan modal dasar untuk memperbaiki kondisi minat baca masyarakat saat ini.

Untuk mengatasi masalah ketersedian sarana baca anak dapat dilakukan dengan memanfaatkan eksistensi perpustakaan sekolah. Perpustakaan sekolah dapat difungsikan sebagai institusi penyedia sarana baca cuma-cuma bagi anak-anak. Melalui koleksi yang dihimpun perpustakaan, perpustakaan sekolah mampu menumbuhkan kebiasaan membaca anak.

Tetapi amat disayangkan, perpustakaan sekolah yang dijadikan ujung tombak dalam pembinaan minat baca anak justru dalam kondisi yang memprihatikan. Bahkan saat ini banyak sekolah dasar yang belum memiliki perpustakaan. Data Deputi Pengembangan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mengungkapkan bahwa hanya 1% dari 260.000 sekolah dasar negeri yang memiliki perpustakaan (Kompas, 25/7/02). Keadaan ini tentu bertolak balakang dengan Undang-undang nomor 2 pasal 35 tahun 1989 tentang system pendidikan nasional yang menyatakan bahwa setiap sekolah diwajibkan memiliki perpustakaan. ironis bukan, mana mungkin minat baca anak dapat terbina apabila sekolah tidak memiliki perpustakaan yang menyediakan buku sebagai sarana baca bagi siswa (anak).

Walaupun ada sekolah yang memiliki perpustakaan sekolah, perpustakaan sekolah belum dikelola dengan baik. Hanya sekolah-sekolah unggulan dan sekolah yang sadar akan pentingnya perpustakaan, memiliki perpustakaan yang dikelola secara baik oleh tenaga profesional.

Banyak perpustakaan sekolah yang pengelolaanya terkesan “yang penting jalan”. Hal ini terlihat dari segi koleksi, sarana perpustakaan serta tenaga pengolola perpustakaan sendiri. Koleksi perpustakaan sebagian besar berisi buku-buku paket sehingga kurang mampu menarik minat siswa untuk mengakses perpustakaan. Sarana dan prasarana perpustakaan yang seadaanya menyebabkan suasana perpustakaan kurang nyaman. Selain itu banyak perpustakaan sekolah yang tidak dikelola oleh tenaga profesional di bidang perpustakaan, perpustakaan dikelola oleh guru pustakawan (guru yang merangkap sebagai pengelola perpustakaan) yang memiliki tanggung jawab utama sebagai pengajar menyebabkan pengelolaan perpustakaan tidak optimal.

Sudah saatnya kondisi perpustakaan sekolah dasar diperbaiki. Perbaikan ini akan mewujudkan berpustakaan sebagai penyedia sarana baca ideal bagi anak-anak. Perbaikan ini akan memotivasi anak-anak untuk berkunjung dan membaca koleksi perpustakaan. Perbaikan yang dapat dilakukan antara lain, Pertama, koleksi perpustakaan terus ditingkatkan baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Sudah saatnya perpustakaan tidak hanya berisi buku-buku paket, koleksi perpustakaan juga dapat berupa buku-buku bacaan yang mampu menarik minat siswa untuk membacanya. Selain itu perpustakaan dapat juga melengkapi koleksinya dengan koleksi audiovisual sehingga tidak memberikan kesan layanan yang monoton.

Kedua, sarana atua perabot perpustakaan perlu dilengkapi, perpustakaan dapat dilengkapi dengan pendingin udara, televisi dan komputer multimedia. Perabotan perpustakaan perlu didesain dan disusun sesuai dengan kondisi fisik anak-anak sehingga dapat memberikan kesan nyaman bagi anak. Ruang perpustakaan juga dapat dicat warna-warni dan dilukis gambar lucu sehingga menghilangkan kesan formil perpustakaan. Dengan perubahan kondisi fisik perpustakaan ini akan memberikan kesan nyaman anak berada diperpustakaan sehingga anak-anak akan rajin datang ke perpustakaan.

Ketiga, masalah SDM perpustakaan juga perlu mendapatkan perhatian. Perpustakaan harus dikelola oleh tenaga yang memiliki keahlian serta berlatar belakang ilmu perpustakaan, dokumentasi dan informasi. SDM memiliki latar belakang ilmu perpustakaan tentu mengerti bagaimana mengelola serta mengembangkan perpustakaan berdasarkan kaidah ilmu perpustakaan. Memberikan tanggung jawab pegelolaan perpustakaan kepada guru perlu dikaji ulang, guru yang memiliki tugas utama sebagai tenaga pengajar tidak akan mampu maksimal dalam pengembangan perpustakaan karena harus membagi waktunya untuk mengajar. Perpustakaan akan tutup apabila guru tersebut mendapat tugas mengajar. Keadaan semacam ini tentu dapat menghambat proses pembinaan minat baca anak.

Keempat, sebenarnya masalah terbatasan koleksi, sarana perpustakaan serta minimnya SDM perpustakaan disebabkan karena keterbatasan dana. Keterbatasan dana menyebabkan perpusakaan tidak mampu membeli buku, melengkapi sarana perpustakaan serta membayar tenaga profesional untuk mengelola perpustakaan. Sebagai solusinya di perlukan perhatian pemerintah, pengelola sekolah serta peran aktif wali murid. Pemerintah perlu memberikan perhatian bagi pengembangan perpustakaan sekolah. Perhatian itu dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian dana bantuan pengembangan perpustakaan sekolah, kebijakan yang merangsang perkembangan perpustakaan sekolah serta penghargaan kepada mereka yang berjasa dalam mengembangkan perpustakaan. Pihak sekolah juga dapat mengoptimalkan keberadaan wali murid yang terhimpun dalam komite sekolah dalam pengembangan perpustakaan sekolah. Wali murid dapat dimintai bantuan dalam hal pendanaan perpustakaan. Tentunya. Wali murid tidak akan segan mengeluarkan biaya bagi pengembangan sekolah karena manfaatkan perpustakaan akan kembali kepada putra-putri mereka. Selain itu pihak sekolah juga dapat menyusun proposal pengembangan perpustakaan dan mengajukannya ke perusahaan, instansi atau individu yang memiliki perhatiaan dibidang pendidikan, minat baca dan perpustakaan.

Dengan berbagai perbaikan diatas maka perpustakaan akan semakin menarik. Perubahan yang menjadi motivasi bagi siswa untuk mengakses perpustakaan. Apabila perbaikan ini dilakukan dari sekarang maka 10 atau 15 tahun kedepan Indonesia akan menjadi bangsa yang gemar membaca. Dengan demikian berakhir sudah permasalahan minat baca yang seolah-olah menjadi perkejaan rumah yang tidak terselesaikan sampai saat ini.

Rp20,5 Miliar DAK Selesaikan Pembangunan 82 SD di Nias

Gunugsitoli, (Analisa)

Sebesar Rp20,5 miliar Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang pendidikan Tahun Anggara (TA) 2007, selesaikan pembangunan dan rehabilitasi serta pengadaan berbagai fasisitas sarana dan prasarana di 82 sekolah Dasar (SD) di Nias.

Kasubdis Sarana dan Prasarana Dinas Pendidikan pendidaikan Nasional, Senin (9/6) di ruang kerjanya mengatakan, pada pelaksanaan DAK itu Dinas pendidikan tetap berpedoman pada petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Nasional nomor 4 tahun 2007.

Penggunaan dana sebesar itu di masing-masing sekolah sesuai petunjuk acuan yakni pertama rehabilitasi fisik persekolah Rp150 juta, khusus untuk kegiatan pembangunan /rehabilitasi rumah dinas apabila tidak ada atau tidak diperlukan maka dananya dialihkan untuk rehabilitasi gedung sekolah/ruang kelas atau pengadaan rehabilitasi sumber dan sanitasi air bersih serta kamar mandi dan wc serta pengadaan perbaikan ruang kelas. Sehingga setiap 1 unit sekolah selain pembangunan fisik di tambahkan pengadaan sarana-prasarana sekolah.

Hasil liputan Analisa di SDN Nomor 070987 Fadoro Kecamatan Gunungsitoli, telah dibangun 3 lokal rehabilitasi berat (RB) ruang kelas sanitasi dan pengadaan komputer dan mesintik serta buku-buku perpustakaan sekolah, sehingga aktifitas proses belajar mengajar di sekolah itu berjalan lancar dari bulan sebelumnya karena adanya sarana dan prasarana sekolah yang memadai, jelas kepala SDN Fadoro. F. Telaumbanua yang telah 24 tahun menjadi guru biasa tapi kini telah menjadi seorang kepala sekolah itu.

Di SDN 076059 Hololawa kecamatan Gunungsitoli Alo’oa gedung tersebut yang tidak banyak digunakan sebagai tempat proses belajar mengajar telah dibangun dengan baik dan berbagai sarana prasarana juga ada dari DAK. Aku, kepala sekolah B. Laoly fasilitasi itu telah menambah dukungan besar bagi kegiatan proses belajar mengajar di sekolah itu.

Harapannya masih banyak sekolah lain yang tersebar di Nias sangat membutuhkan berbagai sarana prasarana sekolah sebagai pendukung proses belajar mengajar yang sangat kurang selama ini dan fasilitas tersebut begitu diperlukan para guru dan para murid demi mengejar perkembangan pendidikan saat ini, harap kepsk Hololawa dan Kepsek Fadoro. (esp) (Analisa, 12/06/08)

Pendidikan Masih Tertinggal, Syafrizal: Sarana dan Prasarana Masih Minim


PDF Print E-mail
Wednesday, 01 August 2007
Dunia pendidikan merupakan salah satu sektor yang menentukan kualitas sumber daya manusia. Dengan meningkatnya mutu pendidikan di satu daerah maka akan lahir SDM berkualitas yang akan menjadi motor penggerak pembangunan. Di bidang pendidikan, Kabupaten Solok Selatan masih tertinggal dibanding daerah lainnya di Sumbar, baik dibidang infrastruktur maupun mutu.

Permasalahan pendidikan di Solok Selatan ini diungkapkan Bupati Solok Selatan Syafrizal J, Jumat (27/7) saat menerima kunjungan kerja rombongan direktorat Jenderal (Dirjen) Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK). Rombongan Dirjen PMPTK ini terdiri dari 3 Kepala PPPPTK dan 1 orang Kasubdit, yaitu Hery Sukarman, MSc (IPA Bandung), Dr. Muhammad Hatta (Bahasa Jakarta), Drs. Kasman (Matematika Yogyakarta), Ir. Hendarman, MSC, Ph.A (Kasubdit program direktorat pendidikan dan pelatihan).Dalam paparannya Syafrizal mengatakan, permasalahan pendidikan di Solok Selatan masih berkutat oleh masih minimnya sarana dan prasarana. Selain itu Solok Selatan juga masih kekurangan dibidang tenaga pengajar, “Permasalahan kekurangan sarana dan tenaga pengajar ini tentunya berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan, dan kami berharap dengan kedatangan rombongan Dirjen PMPTK maka persoalan bidang pendidikan di Solok Selatan ini dapat menjadi bahan bagi Departemen Pendidikan Nasional untuk diprioritaskan penyelesaiannya,” ungkapnya.

Kekurangan tenaga dibidang pendidikan ini menurut Syafrizal, antara lain tenaga kependidikan untuk tata usaha, pengolah data (computer), pustakawan dan tenaga labor. Sementara itu pada bangunan fisik seperti labor dan ruang perpustakaan juga serba kekurangan. Untuk tingkat SLTA dari 12 SLTA yang ada belum satupun yang memiliki perpustakaan yang representative termasuk peralatannya. Pada tingkat SLTP, dengan jumlah sekolah sebanyak 28 buah juga belum dengan perpustakaan.Sedangkan di SMK yang terdiri dari beberapa rumpun diantaranya teknologi, pertanian, peternakan, administrasi, masih banyak kekurangan sarana pembelajaran untuk pendukung seperti peralatan labor, alat praktek dan lain-lain. Sarana lain untuk peningkatan mutu seperti ketersediaan labor biologi, kimia, fisika dan computer masih banyak sekolah yang belum memilikinya.

Di bidang bangunan fisik, juga masih memerlukan perbaikan dan penyelesaian rehabilitasi gedung sekolah. Sementara kita terus dituntut untuk menuntaskan wajar 9 tahun peningkatan kwalifikasi guru, pendidikan luar sekolah (PLS), pendidikan anak usia dini (PAUD) dan penuntasan buta aksara. Semua ini merupakan prioritas penting dan penyelesaian persoalan di dunia pendidikan. Kunjungan kerja rombongan Dirjen tersebut dihadiri oleh kurang lebih 424 orang kepala sekolah TK, SD, SMP, SMA serta kepala UPTD Pendidikan dan pengawas Bupati berharap ketertinggalan kabupaten Solok Selatan dibidang pendidikan ini, dapat dijadikan cambuk bagi stakeholder yang berperan dalam menan gain masalah pendidikan terutama dinas pendidikan. (*)

Salamat, SHi, Ketua Komisi B DPRD Solok Selatan Kelola Dengan Tenaga Yang Berkompeten

BELUM kompetitifnya bidang pendidikan Solok Selatan saat ini bukan hanya disebabkan oleh masih minimnya sarana prasarana dan kurangnya tenaga pengajar. Tapi juga disebabkan oleh manajereal bidang pendidikan yang belum maksimal.

Hal ini terbukti dengan pengelolaan anggaran yang masih sering lamban dan pengelolaan data base kepegawaian bidang pendidikan yang masih kurang baik.Dalam pendataan ini dinas pendidikan seharusnya telah memiliki data yang valid dengan pola up to date yang terencana. Sehingganya, pemetaan kepegawaian bisa terpantau.

Jika hal ini bisa dilaksanakan dengan baik maka tidak ada lagi penumpukan tenaga guru di satu sekolah, sedangkan sekolah yang lain kekurangan. Dalam program pembangunan yang melalui proses tender, proyek-proyek pembangunan fisik masih juga terdapat proyek terbengkalai. Terbengkalainya pembangunan fisik tak hanya kesalahan dari para kontraktor tetapi juga dari sistem pengawasan yang lemah. Hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah dalam setiap kegiatan, diharapkan kepada pihak eksekutif yang berwenang mengambil kebijakan untuk dapat menempatkan pimpinan kegiatan yang berkompeten dibidangnya. (mg6

Ketidak Adilan Dalam Kebijkan Pendidikan

Judul: Ketidak Adilan Dalam Kebijkan Pendidikan
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan.
Nama & E-mail (Penulis): M. Nahdi
Saya Guru di MTs. di Pancor Lombok Timur
Topik: Relevansi Kebijakan Pendidikan Terhadap Mutu Lulusan
Tanggal: 10 Oktober 2004

KETIDAK ADILAN
DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Oleh ; M. Nahdi

Persoalan yang senantiasa menjadi sorotan dalam dunia pendidikan masih saja seputar kualitas output (lulusan) yang ditandai dengan rendahnya standar nilai ujian akhir nasional yang ditetapkan pemerintah. Rendahnya standar yang ditetapkan pemerintah ini secara tidak langsung menggambarkan harapan kita terhadap kualitas lulusan yang rendah pula. Namun demikian di sisi lain ternyata bahwa, sebagian besar para praktisi pendidikan di lapangan sangat "resah" dengan adanya aturan penetapan standar kelulusan siswa tersebut, mengingat kualitas prosesnya yang masih belum dapat menjamin pencapaian angka standar.

Standar 4,0 memang suatu angka yang relatif sangat rendah untuk dapat diterima sebagai suatu gambaran terhadap kualitas hasil dari proses pendidikan yang kita harapkan. Namun demikianlah realitas yang ada. Sementara bagi sebagian besar pihak praktisi di lapangan yang sangat memahami kualitas proses yang dilakukan menganggap itu (baca; 4,0) sebagai standar yang sangat tinggi untuk dapat dicapai oleh para siswanya.

Padahal menurut asumsi saya bahwa, standar 4,0 yang diatur oleh pemerintah tidak didasarkan atas target mutu hasil yang dicita-citakan. Akan tetapi lebih merupakan hasil penyesuaian terhadap kenyataan di lapangan. Dan Penetapan angka 4,0 ini tidak dapat memberikan cukup energi bagi para praktisi untuk memacu kinerja dan meningkatkan kualitas proses pendidikan. Apalagi untuk mencapai standar tersebut masih mentolerir adanya kebijaksanaan untuk merekayasa proses pelaksanaan ujian oleh pengawas ujian dan rekayasa pemberian nilai oleh panitia ujian/guru. Sehingga kita tidak pernah benar-benar dapat memperoleh gambaran tentang mutu hasil dari proses pendidikan yang kita lakukan.

Meski demikian ada juga sebagian kecil sekolah yang dapat melampaui standar yang ditetapkan pemerintah dengan mudah. Hal ini menggambarkan adanya disparitas mutu pendidikan, dan kenyataannya memang disparitas yang terjadi cukup tajam. Ketika misalnya kita mencoba membandingkan antara sekolah negeri dengan swasta, kemudian antara sekolah yang berada di bawah lingkungan Departemen Pendidikan Nasional dengan yang berada di bawah Departemen Agama, maka terlihat dengan jelas terjadi perbedaan yang sangat tajam dari aspek kulitas proses dan kualitas hasil. Contoh yang lebih kongkrit misalnya antara SMU Negeri 1 Mataram dengan SMU Muhammadiyah Masbagaik (antara negeri dan swasta), terjadi disparitas mutu hasil dan mutu proses yang sangat tajam. Contoh lain misalnya, antara SMU 1 Selong dengan Madrasah Aliyah NW Lendang Nangka (antara Lembaga pendidikan dibawah Depdiknas/negeri dengan Depag/swasta) nampak terjadi hal (disparitas) yang sama tajam.

Persoalan disparitas dalam aspek kualitas proses dan kualitas hasil pendidikan ini, disamping faktor-faktor yang lain, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh ketidak adilan pemerintah dalam menerapkan kebijakan bidang pendidikan. Hal ini (ketidak adilan dalam penerapan kebijakan bidang pendidikan), sangat dirasakan terutama oleh lembaga pendidikan swasta (private education) misalnya dalam distribusi bantuan anggaran biaya operasional pendidikan, distribusi bantuan tenaga kependidikan (guru) ke sekolah-sekolah, distribusi bantuan baik yang berbentuk pengadaan sarana-prasarana dan fasilitas pendidikan, distribusi pemberian beasiswa, distribusi peluang dan kesempatan mengakses informasi tentang pendidikan, dsb.

Persoalan ketidak adilan pemerintah ini bahkan juga dirasakan sangat jelas oleh para guru terutama oleh mereka yang berada di sekolah-sekolah swasta, misalnya dalam mengakses peluang dan kesempatan bahkan informasi untuk membina dan meningkatkan karir profesi keguruan. Demikian juga lembaga pendidikan swasta selama ini sering menjadi obyek pungli bagi oknum pejabat dan pengawas pendidikan.

Di sisi lain pada sekolah-sekolah negeri, pemerintah hampir memberikan seluruh biaya operasional, berbagai jenis bantuan sarana dan fasilitas, tenaga guru, dan bahkan akses informasi lebih besar dibandingkan dengan sekolah-sekolah swasta. Meski demikian masih banyak sekolah negeri yang memungut "uang iuran pendidikan" (atau dengan istilah yang lain) yang cukup besar, dan bahkan lebih besar dari lembaga pendidikan swasta. Hal ini semakin menambah beban orang tua, sehingga banyak yang mengeluhkan semakin tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh pendidikan pada lembaga pendidikan negeri.

Ironisnya pemahaman tentang konsep Managemen Berbasis Sekolah (MBS) yang sedang dikembangkan dengan eksisnya lemabga baru Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan, lebih dimaknai sebagai sebuah pergeseran kewenangan dari sekolah ke komite untuk memutuskan jumlah dan jenis pungutan uang iuran dari orang tua siswa. Jadi paradigma komite sekolah sebenarnya sama dengan BP3, karena dalam praktiknya yang terjadi tidak ada unsur kreatifitas komite untuk mencari dan memobilisasi sumber dana dari masyarakat kecuali dari orang tua siswa untuk membantu proses pendidikan di sekolah. Dan kenyataanya jumlah pungutan semakin besar dan jenisnya semakin banyak kepada orang yang sama, sehingga terjadi banyaknya keluhan orang tua siswa terhadap semakin tingginya biaya pendidikan anak.

Terhadap persoalan distribusi bantuan tenaga kependidikan (guru), juga menunjukkan ketidak adilan yang sangat nyata baik secara kualitatif maupun kuantitatif diberikan kepada sekolah negeri. Sehingga terkesan pemerintah lebih ingin menunjukkan diri sebagai pemain pendidikan yang siap berkompetisi secara tidak adil dengan masyarakat (swasta), dari pada sebagai regulator yang mengatur dan menciptakan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya kompetisi yang sehat antar masyarakat (lembga pendidikan) itu sendiri.

Terhadap distribusi bantuan sarana prasarana dan fasilitas seperti pengadaan buku & alat pelajaran, saya kira kita semua tahu terjadi ketimpangan yang luar biasa misalnya di beberapa sekolah negeri terdapat buku-buku dan alat pelajaran yang kurang efektif karena jumlahnya banyak. Sementara di sekolah-sekolah swasta tidak ada, kecuali sekolah itu mampu membeli sendiri.

Dalam distribusi beasiswa, juga terdapat kebijakan yang kurang memenuhi rasa keadilan misalnya dari segi jumlah penerima beasiswa di sekolah swasta selalu lebih sedikit dari sekolah negeri, padahal kenyataan menunjukkan bahwa, orang tua yang relatif mampu secara ekonomi kecenderungannya memasukkan anaknya ke sekolah negeri. Dan bagi yang tidak mampu lebih memilih ke sekolah swasta. Alasan utamanya sebagian besar bukan karena kemampuan/prestasi intelektual anaknya yang rendah, tetapi lebih dominan karena biaya pendidikan di sekolah negeri terlalu tinggi.

Kemudian dalam hal distribusi peluang untuk mengakses informasi dan kebijakan pendidikan juga terdapat ketidak adilan misalnya, untuk sosialisasi kebijakan dan sistem pendidikan, selalu saja yang menjadi sasaran utama adalah guru-guru/sekolah negeri, sedangkan sekolah swasta terasa sangat kurang mendapat perhatian. Sehingga pemahaman tentang kurikulum/sistem pendidikan dan berabagai kebijkan di bidang pendidikan kurang konprehenship untuk dapat diimplementasikan dengan baik oleh mereka (tenaga kependidikan) yang berada di sekolah-sekolah swasta.

Demikianlah pemerintah tidak berupaya menciptakan kondisi yang kondusif bagi lembaga pendidikan swasta untuk dapat berkompetisi dengan sekolah negeri secara adil. Padahal kalau kita pahami subyek sekaligus obyek pendidikan (siswa) itu baik di sekolah swasta maupun negeri semuanya adalah anak bangsa, warga negara yang memiliki hak sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 45 termasuk hasil amandemen.

Kenyataan ketidakadilan pemerintah dalam menerapkan kebijakan di bidang pendikan telah menunjukkan bahwa pemerintah kurang apresiatif terhadap inisiatif masyarakat untuk membangun dan mengelola sebuah lembaga pendidikan dalam rangka membantu pemerataan pendidikan bagi seluruh warga negara. Hal ini juga memberikan kesan bahwa hanya pemerintah yang mampu berhasil dalam mengelola pendidikan dengan kualitas yang baik.

Jika hal ini (ketidak adilan dalam kebijakan pendidikan) dibiarkan terus maka, akan timbul bahkan sudah terjadi sikap apatis yang akan mematikan semangat dari sekolah/madrasah swasta untuk mau dan mampu berkompetisi dengan sekolah negeri secara berkeadilan.

Implikasi yang nyata dari ketidak adilan ini adalah terjadinya disparitas mutu hasil pendidikan yang sangat tajam. Bagaimana mungkin untuk kurikulum (materi), tujuan , target penguasaan materi dan dengan alat ukur yang sama kita dapat memperoleh hasil yang sama apabila sarana-prasarana, fasilitas, finansial, dan tenaga kependidikan yang jauh berbada secara kualitas maupun kuantitasnya. Mutu hasil pendidikan sangat ditentukan oleh tingkat kualitas proses. Sementara kualitas proses sangat dipengaruhi oleh keberadaan fasilitas, sarana, tenaga guru (SDM), serta finansial.

Pancor, 26 Agustus 2004

Saya M. Nahdi setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

CATATAN:
Artikel-artikel yang muncul di sini akan tetap di pertanggungjawabkan oleh penulis-penulis artikel masing-masing dan belum tentu mencerminkan sikap, pendapat atau kepercayaan Pendidikan Network.

Sekolah-MenengahCari-PekerjaanTeknologi&PendidikanPengembangan-Sekolah



Print Halaman Ini

UN Harus Diikuti Peningkatan Sarana dan Prasarana Sekolah

Senin, 7 April 2008 | 15:44 WIB

JAKARTA, SENIN - Ujian Nasional (UN) sebagai standar mutu pendidikan hendaknya diikuti dengan peningkatan sarana dan prasarana sekolah serta tenaga guru. Jika tidak standar mutu yang ditetapkan selalu minimalis. Demikian komentar Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komarudin Hidayat terhadap UN saat ditemui dalam acara peluncuran Program Open, Distance and E-Learning untuk Transformasi Masyarakat Islam Melalui Pesantren di Hotel Nikko, Jakarta, Senin (7/4).

"Menurut saya jika penetapan standar tidak diikuti fasilitas sarana dan guru, maka implikasinya UN standarnya tidak naik-naik, selalu minimalis, selalu kalah bersaing dengan negara lain," kata Komarrudin.

Penyelenggaraan UN tanpa melengkapi sarana dan prasarana di seluruh wilayah Indonesia, lanjut Komarrudin juga merupakan ketidakadilan bagi mereka yang tidak memiliki fasilitas dan tenaga guru yang memadai. "Seperti sekolah-sekolah di daerah terpencil yang bangunannya tidak layak, gurunya cuma satu, sekolahnya bocor, kalau diperlakukan sama, yah kasihan," katanya.

Saat ditanya tentang pro kontra UN dijadikan sebagai syarat kelulusan, Komarrudin menjawab, "Karena (UN) sudah berjalan, kita ikuti saja, lalu disurvei plus-minusnya. Kalau saya belum bisa (memilih pro atau kontra) karena saya belum punya data-data yang akurat. Kita nggak bisa ngomong pernyataan politik tanpa ada data yang akurat, kalau selama ini kecenderungan orang kan hanya opini."

Sementara itu, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan saat ini tidak ada keresahan dalam masyarakat mengenai UN, semua pihak mendukung. "Tidak ada keresahan, yang ada kesigapan. Saya baca dimana-mana, baik koran pusat dan daerah, pemerintah daerah maupun orang tua supaya memberikan dukungan yang resahkan cuma wartawan," ujarnya.

2008 Fokuskan Rehab dan Pembangunan Sarana Prasarana Sekolah


Bogor, Pelita
Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor akan mengusulkan rehabilitasi 214 gedung Sekolah Dasar Negeri (SDN) yang tersebar di 40 kecamatan di Kabupaten Bogor pada 2008.
Selain rehab, Disdik juga mengusulkan pembangunan ruang kelas baru (RKB) untuk 61 sekolah, relokasi empat sekolah, pembangunan enam Unit Gedung Baru (UGB), dan revitalisasi satu sekolah.
Selain sekolah dasar, pada anggaran tahun 2008 mendatang Disdik juga mengusulkan rehabilitasi 14 SMPN, penambahan ruang kelas baru untuk 12 SMPN, pembangunan tiga USB SMPN, revitalisasi lanjutan SMPN 1 Ciawi, dan pengadaan lahan untuk lima SMPN.
Sementara untuk SMA, akan diusulkan pengadaan lahan untuk lima SMAN, perluasan SMKN Cariu, penambahan ruang kelas baru untuk sembilan SMAN, pembangunan tujuh USB SMAN, dan pembangunan UGB empat SMAN.
Usulan perbaikan atau rehabilitasi 214 gedung sekolah dasar itu akan kita sampaikan kepada Bappeda untuk kemudian dibahas dalam rapat panitia anggaran eksekutif dan legislatif untuk disetujui. Rehabilitasi 214 gedung sekolah dasar itu terbagi dua yaitu rehabilitasi ringan 81 sekolah dan rehabilitasi berat/sedang sebanyak 133 sekolah, kata Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, Drs Adang Suptandar, Ak MM.
Besaran anggaran
Sementara itu Humas Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, Rony Kusmaya menjelaskan, ajuan Disdik tahun 2008 untuk memperbaiki sarana dan prasarana sekolah dasar dibutuhkan anggaran sekitar Rp69.194.884.000.
Perinciannya, rehababilitasi 214 gedung SD senilai Rp49.923.597.600 dan pembangunan RKB, UGB, revitalisasi serta relokasi mencapai Rp19.271.286.400. Untuk rehab ringan diperkirakan satu sekolah membutuhkan dana antara Rp150 juta sampai Rp200 juta. Sedangkan rehab ringan/berat membutuhkan dana Rp200 juta sampai Rp300 juta. Kalau pembangunan RKB dan UGB satu sekolah membutuhkan dana sekitar Rp400 juta, katanya.
Berdasarkan rekapitulasi pembangunan fisik Dinas Pendidikan, kata Rony, pada tahun 2005 sampai 2007 tercatat 3.200 ruang kelas sekolah dasar yang rusak. Sedangkan yang sudah dilaksanakan pada tahun 2006 dan 2007 tercatat 1.297 ruang kelas. Dalam merehab sekolah pada kedua tahun tersebut sumber dana berasal dari pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten.
Jadi, masih ada 1.903 ruang kelas sekolah dasar yang rusak. Bila usulan 214 SD disetujui akan mengurangi jumlah ruang kelas yang rusak. Usulan rehab juga awalnya masukan dari tingkat bawah melalui Musrenbang kecamatan. Meskipun kita ketahui bahwa anggaran Disdik untuk tahun 2008 ini mengalami defisit hampir Rp350 miliar, dan Disdik sedang memangkas beberapa kegiatan untuk mengurangi defisit tersebut, katanya.
Bagaimana bila usulan tersebut tidak semua dikabulkan? Menurut Rony, Disdik akan mengambil langkah lain bila usulan rehabilitasi 214 sekolah tidak dikabulkan semua. Yaitu, akan mengusulkan kembali sekolah yang tidak mendapat dana dari APBD Kabupaten Bogor tahun 2008 melalui anggaran role sharing atau Dana Alokasi Khusus (DAK). Kita berharap penuntasan wajib belajar sembilan tahun terutama dari kualitas sarana dan prasarana sekolah bisa teratasi, ujarnya. (don/ck-58)

PEMANFAATAN TEKNOLOGI MULTIMEDIA DALAM PEMBELAJARAN



Judul: PEMANFAATAN TEKNOLOGI MULTIMEDIA DALAM PEMBELAJARAN
Bahan ini cocok untuk Mohon Pilih bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama & E-mail (Penulis): Hidayat Raharja,S.Pd.
Saya Guru di SMAN 1 SUMENEP
Topik: teknologi multimedia
Tanggal: 27 JUNI 2008
Majunya teknologi informasi merupakan suatu perkembangan yang memberikan akses terhadap perubahan kehidupan masyarakat. Dunia informasi menjadi salah satu wilayah yang berkembang pesat dan banyak mempengaruhi peradaban masyarakat. Radio, Televisi, DVD, VCD merupakan salah satu perangkat elektronik yang menjadi bagian dari perabot rumahtangga. Selain berfungsi informatif, media teknologi tersebut merupakan salah satu media entertainment yang memberikan pilihan hiburan menyegarkan.

Akibat kemajuan media teknologi informasi, kehidupan masyarakat memasuki zone rekreatif (hiburan). Tidak dapat dibayangkan, ketika media televisi telah menjadi salah satu media yang menyediakan diri selama 24 jam untuk memberikan hiburan di tengah-tengah keluarga. Setiap sajian acara yang ditayangkan, senantiasa dikemas dalam unsur hiburan. Bukan hanya tayangan sinetron, iklan, bahkan pemberitaan (news) tak lepas dari unsur hiburan. Bagaimana berita kriminal dan mistik menjadi salah satu tayangan di berbagai stasiun televisi yang mampu menghipnotis pemirsa untuk tetap bertahan di hadapan layar televisi.

Hadirnya teknologi media audiovisual, telah menciptakan budaya masyarakat rekreatif dan konsumtif. Masyarakat memiliki banyak pilihan untuk menghibur diri dan membuang kesumpekan hidup yang makin menjepit.

Kondisi perubahan peradaban tersebut, telah pula menjadi pemicu terhadap upaya perubahan sisitem pembelajaran di sekolah. Upaya untuk melepaskan diri dari kungkungan pembelajaran konvensional yang memaksa anak untuk mengikuti pembelajran yang tidak menarik, dan membosankan, sehingga meminjam ungkapan Faulo Fraire, sekolah tak lebih merupakan bangunan tembok penjara yang menghukum penghuninya untuk mengikuti (memaksa) menerima segenap ajaran yang berkubang di dalamnya.

Neil Postman, salah satu filosof dan pakar pendidikan semakin mencemaskan terhadap kehidupan lembaga persekolahan yang semakin teralineasi dari kultur masyrakat yang kian dinamis, sehingga sampai pada taraf asumtif, matinya nilai-nilai pendidikan.

Kondisi sekolah, senantiasa dituntut untuk terus-menerus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat, sehingga sekolah yang tetap berkutat pada instruksional kurikul;um hanya akan membuat peserta didik gagap meliohat realitas yang mengepungnya.

Kehadiran teknologi multimedia, bukan lagi menjadi barang mewah, karena harganya bisa dijangkau oleh segenap lapisan masyarakat untuk memiliki dan menikmatinya. Artinya, sekolah sebagai lembaga pendidikan harus mampu untuk memiliki teknologi tersebut sehingga bisa menjadikannya sebagai media pembelajaran yang menarik, interaktif, dan mampu mengembangkan kecakapan personal secara optimal, baik kecakapan, kognitif, afektif, psikomotrik, emosional dan spiritualnya. Hal ini amat memungkinkan, ketika ruang belajar di luar gedung sekolah, telah menghasilkan berbagai produk audiovisual yang bernilai- edukatif, mulai dari mata pelajaran yang yang disajiukan dalam bentuk quiz, ataupun dalam bentuk penceritaan dan berbagai permainan yang memukau.

Salah satu sekolah menengah di Jember (SMAN 2) beberapa waktu lalu, telah mempublikasikan diri sebagai salah satu sekolah yang memakai perangkat multimedia untuk pembelajaran. Setiap guru wajib membuat media pembelajaran dengan teknologi multimedia dan menayangkannya (mempergunakan) dalam pembelajaran. Sungguh sangat menarik, dengan peralatan handycam, dan komputer (PC), seorang guru membuat media pembelajaran audiovisual yang akan memancing minat siswa untuk belajar dan tertarik untuk mengembangkan pengetahuannya. Kondisi yang membuat iri, berbagai sekolah untuk memiliki perangkat pembelajaran semacam itu. Bahkan, sudah waktunya pula apabila sekolah memanfaatkan situs-situs pengetahuan di dunia cyber untuk dimanfaatkan dalam pembelajaran.

Benarkah pemanfaatan teknologi multimedia akan membuat pembelajaran menjadi lebih menarik? Bagaimana seharusnya menyiapkan perangkat pembelajaran multimedia sehinggga menjadi tayangan yang menarik, dan efektif dalam pemanfaatannya untuk mengembangkan kemampuan siswa?

Ada sesuatu yang ganjil dalam pemakaian teknologi multimedia yang dipergunakan di SMA 2 Jember dalam pemberiataan jawa pos (maret, 2004), diantaranya pembelajaran agama, dengan menyagankan guru agama yang tengah berceramah. Pembelajaran matematika dengan mempergunakan CD dan hanya berisi berbagai keterangan (tulisan) yang berhubungan dengan pembelajaran. Atau di tempat lain, seorang guru menayangkan pembelajaran mempergunakan VCD yang berdurasi selama 90 menit (2 jam pelajaran) dari awal sampai tayangan berakhir siswa hanya diajak untuk menonton, tanpa ada sesuatu yang bisa mengukur pemahaman siswa terhadap apa yang diatayangkan. Contoh tersebut merupakan salah satu bentuk pemanfaatan media audiovisual yang diarasakan kurang efektif. Karena bila kita menengok pada ceramah agama di berbagai stasiun televisi sudah dikemas sedemikian menghibur dan mampu menarik minat pemirsa untuk saling berinteraksi. Artinya, sebelum media teknologi tersebut dipergunakan, terlebih dahyulku dikenali karakteristik dari tiap media, sehingga bisa dimanfaatkan secara efektif dan efisien

Dr.Vernom A.Magnesen (1983) menyatakan kita belajar, "10% dari apa yang dibaca; 20% dari apa yang didengar, 30% dari apa yang dilihat, 50% dari apa yang dilihat dan dengar, 70% dari apa yang dikatakan, 90% dari apa yang dilakukan"

Berpijak kepada konsep Vernom, bahwa pembelajaran dengan mempergunakan teknologi audiovisual akan meningkatkan kemamp[uan belajarn sebesar 50%, daripada dengan tanpa mempergunakan media. Namun dengan melihat pada realitas yang ditemukan pada proses pembelajaran tersebut, maka pencapaian belajar secara efektif akan dicapai apabila:

(1) Guru mengenal keunggulan dan kelemahan dari setiap media teknologi yang dipergunakan. Penggunaan teknologi auditif bukan berarti lebih buruk daripada media audiovisual, karena ada beberapa materi pembelajaran yang akan lebih baik ditayangkan dengan mempergunakan teknologi auditif untuk merangsang imajinasi siswa, dan melatih kepekaan pendengaran

(2) Menentukan pilihan materi yang akan ditayangkan, apakah sesuai dengan penggunaan media auditif, visual, atau audiovisual. Misalnya untuk melatih kepekaan siswa dalam memahami percakapan bahasa inggris, akan lebih baik kalau dipergunakan media auditif, sementara untuk mengetahui ragam budaya masyarakat berbagai bangsa tentu lebih relevan dengan mempergunakan tayangan audiovisual.

(3) Menyiapkan skenario tayangan, tentu berbeda dengan satuan pelajaran, karena disini menyangkut terhadap model tayangan yang akan disajikan sehingga menjadi menarik, nantinya akan mampu mengembangkan berbagai aspek kemampuan (potensi) dalam diri siswa.. Tidak kalah pentingnya, adalah bagaimana membuat anak tetap fokus kepada tayangan yang disajikan, dan mengukur apa yang telah dilakukan siswa dengan

(4) menyiapkan lembar tugas atau quiz yang harus dikerjakan siswa ketika menyaksikan tayangan pembelajaran

*****

Upaya membuat anak betah belajar disekolah dengan memanfaatkan teknologi multimedia, merupakan kebutuhan, sehingga sekolah tidak lagi menjadi ruangan yang menakutkan dengan berbagai tugas dan ancaman yang justru mengkooptasi kemampuan atau potensi dalam diri siswa. Untuk itu, peran serta masyarakat dan orangtua , komite sekolah merupakan partner yang dapat merencanakan dan memajukan sekolah.

Pemanfaatan teknologi merupakan kebutuhan mutlak dalam dunia pendidikan (persekolahan) sehingga sekolah benar-benar menjadi ruang belajar dan tempat siswa mengembangkan kemampuannya secara optimal, dan nantinya mampu berinteraksi ke tanmgah-tengah masyarakatnya. Lulusan sekolah yang mampu menjadi bagian intergaral peradaban masyarakatnya. Suatu keinginan yang tidak mudah, apabila sekolah-sekolah yang ada tidak tanggap untuk melakukan perubahan. Sejarah persekolahan di indonesia telah mencatat, bahwa upaya-upaya perubahan yang dilakukan pemerintah untuk melakukan pengembangan terhadap kurikulum sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, juiga pengembangan terhadap berbagai metode dan proses pembelajaran yang menarik untuk memancing dan memicu perkembangan kreatif siswa pada akhirnya kermbali kepada titik awal; betapa sulitnya perubahan itu?

Setidaknya dengan akan diberlakukannya kurikulum 2004 (KBK), pembelajaran di sekolah akan menjadi sangat variatif, rekreatif, dan tentu kontekstual. Jika murid tidak mampu bukan sepenuhnya kesalahan murid, tetapi bisa jadi kesalahan kolektif pihak sekolah yang kurang kondusif. Nyatanya, bila melihat dari faktor usia, siswa memiliki peluang besar untuk mengikuti perubahan yang ada, sementara kata orang bijak justru guru yang paling sulit berubah, karena faktor usia yang merasa lebih tua dan lebih tahu.

Teknologi telah hadir di hadapan kita, bagaimana kita memanfaatkannya secara optimal untuk nenajukan dunia pendidikan (bukan pendudukan) yang kita dicintai bersama. Tentunya semua itu amat bergantung kepada dana dan sumber daya, dan penghargaan terhadap manusianya.
http://re-searchengines.com/hidayat10608.html

Pengelolaan Alat Bermain dan Sumber Belajar

Judul: Pengelolaan Alat Bermain dan Sumber Belajar
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama & E-mail (Penulis): Trimo, S.Pd.,MPd.
Saya Dosen di IKIP PGRI Semarang
Topik: ABSB
Tanggal: 8 Juli 2008

PENGELOLAAN ALAT PERMAINAN DAN SUMBER BELAJAR DI TAMAN KANAK-KANAK

Oleh : Trimo, S.Pd.,M.Pd.

A. Pendahuluan

Sebutan Taman pada Taman Kanak-Kanak mengandung makna tempat yang nyaman untuk bermain. Berdasarkan makna dimaksud, maka pelaksanaan program kegiatan belajar harus menciptakan suasana nyaman bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga pembelajaran tidak seperti di Sekolah Dasar. Oleh karena itu guru TK harus memperhatikan kematangan atau tahap perkembangan anak didik, kesesuaian alat bermain serta metode yang digunakan. Selain itu, guru juga harus mempertimbangkan waktu, tempat serta teman bermain.

Bermain merupakan cara yang paling baik untuk mengembangkan kemampuan anak didik. Sebelum bersekolah, bermain merupakan cara alamiah untuk menemukan lingkungan, orang lain, dan dirinya sendiri. Pada prinsinya, bermain mengandung rasa senang dan tanpa paksaan serta lebih mementingkan proses dari pada hasil akhir. Perkembangan bermain sebagai cara pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan perkembangan umur dan kemampuan anak didik, yaitu berangsur-angsur dikembangkan dari bermain sambil belajar (unsur bermain lebih besar) menjadi belajar sambil bermain (unsur belajar lebih banyak). Dengan demikian, anak didik tidak akan canggung lagi menghadapi cara pembelajaran di tingkat-tingkat berikutnya (Depdikbud, 1999:3).

Pembelajaran dengan bermain, itulah sebetulnya proses belajar-mengajar yang diharapkan di dunia pendidikan TK. Namun demikian, realitas di lapangan, ada kecenderungan proses belajar-mengajar pada anak-anak TK sudah berubah menjadi pembelajaran Sekolah Dasar kelas I (satu). Hal ini berarti, proses belajar-mengajar di TK identik dengan SD kelas satu.

Dalam proses perkembangan anak melalui bermain, akan ditemukan istilah sumber belajar (learning resources) dan alat permainan (educational toys and games). Mayke (1966) mengatakan bahwa belajar dengan bermain memberi kesempatan kepada anak untuk memanipulasi, mengulang-ulang, menemukan sendiri, bereksplorasi, mempraktekkan, dan mendapatkan bermacam-macam konsep serta pengertian yang tidak terhitung banyaknya.

Bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi kesenangan maupun mengembang-kan imajinasi pada anak. Pemahaman mengenai konsep bermain sudah barang tentu akan berdampak positif pada cara guru dalam membantu proses belajar anak. Pengamatan ketika anak bermain secara aktif maupun pasif, akan banyak membantu memahami jalan pikiran anak dan akan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.

Pada saat bermain guru perlu mengetahui saat yang tepat untuk melakukan atau menghentikan intervensi. Apabila guru tidak memahami secara benar dan tepat, hal itu akan membuat anak frustasi atau tidak kooperatif dan sebaliknya. Melalui bahasa tubuh si anak pun kita sudah dapat mengetahui kapan mereka membutuhkan kita untuk melakukan intervensi.

B. Konsep Sumber Belajar dan Alat Permainan

AECT menguraikan bahwa sumber belajar meliputi: pesan, orang, bahan, alat, teknik dan lingkungan. Komponen-komponen sumber belajar yang digunakan di dalam kegiatan belajar mengajar dapat dibedakan dengan dengan cara yaitu dilihat dari keberadaan sumber belajar yang direncanakan dan dimanfaatkan.

Sumber belajar adalah bahan termasuk juga alat permainan untuk memberikan informasi maupun berbagai keterampilan kepada murid maupun guru (Sudono, 2000:7).

Hamalik (1994:195), menyatakan bahwa sumber belajar adalah semua sumber yang dapat dipakai oleh siswa, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan siswa lainnya, untuk memudahkan belajar.

Mudhofir (1992:13) menyatakan bahwa yang termasuk sumber belajar adalah berbagai informasi, data-data ilmu pengetahuan, gagasan-gagasan manusia, baik dalam bentuk bahan-bahan tercetak (misalnya buku, brosur, pamlet, majalah, dan lain-lain) maupun dalam bentuk non cetak (misalnya film, filmstrip, kaset, videocassette, dan lain-lain).

Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan guru maupun siswa dalam mempelajari materi pelajaran, sehingga memudahkan siswa dalam memahami materi pelajaran tersebut.

Macam-macam Sumber Belajar

AECT menguraikan bahwa sumber belajar meliputi: pesan, orang, bahan, alat, teknik dan lingkungan. Komponen-komponen sumber belajar yang digunakan di dalam kegiatan belajar mengajar dapat dibedakan menjadi dua, yakni sumber belajar yang sengaja direncanakan dan sumber belajar yang dimanfaatkan. Penjelasan kedua hal tersebut sebagai berikut:

1. Sumber belajar yang sengaja direncanakan (by design) yaitu semua sumber belajar yang secara khusus telah dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal.

2. Sumber belajar karena dimanfaatkan (by utilization) yaitu sumber belajar yang tidak secara khusus didesain untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditemukan, diaplikasi, dan digunakan untuk keperluan belajar (Satgas AECT, 1986:9).

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa sumber belajar merupakan salah satu komponen sistem instruksional yang dapat berupa: pesan, orang, bahan, peralatan, teknik dan latar (lingkungan). Sumber belajar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Pesan, adalah pelajaran/informasi yang diteruskan oleh komponen lain dalam bentuk ide, fakta, arti, dan data.

2. Orang, mengandung pengertian manusia yang bertindak sebagai penyimpan, pengolah, dan penyaji pesan. Tidak termasuk mereka yang menjalankan funsgi pengembangan dan pengelolaan sumber belajar.

3. Bahan, merupakan sesuatu (bisa pula disebut program atau software) yang mengandung pesan untuk disajikan melalui penggunaan alat ataupun oleh dirinya sendiri.

4. Alat, adalah sesuatu (biasa pula disebut hardware) yang digunakan untuk menyampaikan pesan yang tersimpan di dalam bahan.

5. Teknik, berhubungan dengan prosedur rutin atau acuan yang disiapkan untuk menggunakan bahan, peralatan, orang, dan lingkungan untuk menyampaikan pesan.

6. Lingkungan, merupakan situasi sekitar di mana pesan diterima (Mudhoffir, 1992:1-2).

Semiawan (1992:96) menyatakan bahwa sebenarnya kita sering melupakan sumber belajar mengajar yang terdapat di lingkungan kita, baik di sekitar sekolah maupun di luar lingkungan sekolah. Betapapun kecil atau terpencil, suatu sekolah, sekurang-kurangnya mempunyai empat jenis sumber belajar yang sangat kaya dan bermanfaat, yaitu:

1. Masyarakat desa atau kota di sekeliling sekolah.

2. Lingkungan fisik di sekitar sekolah.

3. Bahan sisa yang tidak terpakai dan barang bekas yang terbuang yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, namun kalau kita olah dapat bermanfaat sebagai sumber dan alat bantu belajar mengajar.

4. Peristiwa alam dan peristiwa yang terjadi di masyarakat cukup menarik perhatian siswa. Ada peristiwa yang mungkin tidak dapat dipastikan akan terulang kembali. Jangan lewatkan peristiwa itu tanpa ada catatan pada buku atau alam pikiran siswa.

Secara umum, sumber belajar dapat berupa:

1. Barang Cetak, seperti kurikulum, buku pelajaran, Koran, majalah, dan lain-lain.

2. Tempat, seperti: sekolah, perpustakaan, museum, dan lain-lain

3. Nara sumber/orang, seperti: guru, tokoh masyarakat, instruktur, dan lain-lain.

Jenis-jenis sumber belajar tersebut saling berinteraksi satu dengan yang lain dalam proses belajar-mengajar dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Dengan demikian hasil belajar peserta didik pada dasarnya merupakan interaksi antara komponen sistem instruksional dengan peserta peserta didik.

Tujuan dan Fungsi Sumber Belajar

Penggunaan sumber belajar bertujuan untuk:
1) menambah wawasan pengetahuan siswa terhadap materi pelajaran yang disampaikan guru,
2) mencegah verbalistis bagi siswa,
3) mengajak siswa ke dunia nyata,
4) mengembangkan proses belajar-mengajar yang menarik, dan
5) mengembangkan berpikir divergent pada siswa (Semiawan, 1992:97)

Pemanfaatan sumber belajar sudah barang tentu akan menambah wawasan pengetahuan siswa. Melalui sumber belajar, pemahaman siswa mengenai suatu materi pelajaran akan bertambah. Hal tersebut sekaligus akan mencegah verbalistis bagi siswa. Dengan pemanfaatan sumber belajar maka siswa tidak hanya mengetahui materi pelajaran dalam bentuk kata-kata saja, namun secara komprehensif akan mengetahui substansi dari materi yang dipelajari.

Sumber belajar juga bertujuan mengajak siswa ke dunia nyata. Dalam pengertian, siswa tidak hanya berada dalam bayangan-bayangan suatu materi akan tetapi melalui sumber belajar, siswa langsung dihadapkan ke dunia nyata, yaitu suatu situasi yang berhubungan langsung dengan materi pelajaran.

Pemanfaatan sumber belajar juga bertujuan mengembangkan proses belajar-mengajar yang menarik. Dalam pengertian, melalui pemanfaatan sumber belajar sudah barang tentu proses belajar-mengajar lebih aktif dan interaktif. Hal menarik yang dapat dijumpai ketika guru memanfaatkan sumber belajar adalah adanya interaksi banyak arah, yakni antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan siswa dan guru.

Berpikir divergent merupakan suatu aktivitas berpikir di mana siswa mampu memberikan alternatif jawaban dari suatu permasahalan yang dibahas. Melalui pemanfaatan sumber belajar diharapkan siswa mampu berpikir divergent.

Adapun fungsi sumber belajar sebagai:
1) sarana mengembangkan keterampilan memproseskan perolehan,
2) mengeratkan hubungan antara siswa dengan lingkungan,
3) mengembangkan pengalaman dan pengetahuan siswa,
4) membuat proses belajar-mengajar lebih bermakna (Semiawan, 1992:100).

Keterampilan memproses perolehan mengacu pada sesuatu yang dapat diperoleh ketika guru memanfaatkan sumber belajar. Oleh karena itu, fungsi sumber belajar sebagai sarana mengembangkan keterampilan memproseskan perolehan berhubungan dengan aktivitas guru dalam memanfaatkan sumber belajar. Dalam pengertian, ketika guru memanfaatkan sumber belajar sudah barang tentu harus ada sesuatu yang dapat diperoleh oleh siswa.

Fungsi sumber belajar lainnya adalah mengeratkan hubungan siswa dengan lingkungan. Hal tersebut berhubungan dengan pemanfaatan sumber belajar yang dilakukan guru. Semakin guru memanfaatkan sumber belajar yang berasal dari lingkungan sekitar, maka siswa semakin dekat dengan lingkungannya.

Pengalaman dan pengetahuan siswa akan materi pelajaran yang dipelajari merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu, keberadaan sumber belajar berfungsi untuk mengembangkan pengalaman dan pengetahuan siswa. Melalui pemanfaatan sumber belajar, maka pengalaman dan pengetahuan siswa akan lebih berkembang.

Fungsi sumber belajar yang membuat proses belajar-mengajar lebih bermakna, berhubungan dengan aktivitas guru dalam memanfatakan sumber belajar. Melalui pemanfaatan sumber belajar yang tepat, maka guru dapat membuat proses belajar-mengajar lebih bermakna. Artinya, guru mampu mengelola proses belajar-mengajar yang berpusat pada siswa, bukan proses belajar-mengajar yang berpusat pada guru.

Cara Mengembangkan Sumber Belajar

Dalam proses belajar-mengajar, terdapat berbagai macam komponen yang saling berinteraksi untuk mewujudkan tujuan pembelajaran. Salah satu komponen yang berpengaruh dalam mewujudkan tujuan pembelajaran adalah sumber belajar. Dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang dirumsukan, maka guru perlu mengembangkan sumber belajar.

Pengembangan sumber belajar sangat diperlukan guru untuk menambah wawasan dan pengetahuan guru dalam mengelola proses belajar-mengajar agar lebih bermakna. Cara mengembangkan sumber belajar perlu mengacu pada materi pelajaran yang hendak dikembangkan.

Depdikbud (1990/1991:329), menguraikan beberapa cara yang harus dilakukan oleh guru dalam mengembangkan sumber belajar yaitu:

1. Mempelajari Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP).

2. Identifikasikan kemampuan-kemampuan yang hendak dikembangkan dalam menunjang pencapaian Tujuan Pembelajaran Umum (TPU).

3. Menentukan kedalaman dan keluasan pokok bahasan/sub pokok bahasan yang akan dijabarkan dalam mencapai Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK).

4. Menentukan strategi belajar-mengajar yang paling efektif untuk mencapai Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK).

5. Menentukan perlu tidaknya sumber belajar dalam kegiatan belajar-mengajar.

6. Memeriksa apakah sumber belajar yang diperlukan tersedia di sekolah atau di lingkungan.

7. Jika sumber belajar yang diperlukan tidak tersedia, usahakanlah pengadaannya. Jika tersedia periksa apakah masih berfungsi, jika tidak berfungsi usahakan pengembangannya agar berfungsi lagi.

8. Laksanakan kegiatan belajar-mengajar dengan menggunakan sumber belajar secara tepat, sehingga mengoptimalkan pencapaian tujuan.

Kriteria Penggunaan Sumber Belajar

Beberapa kriteria penggunaan sumber belajar, menurut Dick and Carey (1985:15-25) antara lain sebagai berikut:

1. Analisis karakteristik peserta didik, dalam pengertian sumber belajar yang digunakan harus sesuai dengan karakteristik peserta didik.dan isi materi pengajaran serta penyajiannya.

2. Sesuai dengan tujuan pembelajaran, artinya penggunaan sumber belajar perlu mengacu pada tujuan pembelajaran yang dirumuskan, baik Tujuan Pembelajaran Umum (TPU) maupun Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK).

3. Sesuai dengan materi pelajaran, artinya sumber belajar yang digunakan hendaknya disesuaikan dengan materi pelajaran.

4. Kemanfaatan sumber belajar bagi peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran, dan dalam penggunaan hendaknya disesuaikan dengan kemampuan guru.

5. Sumber belajar harus menimbulkan tanggapan bagi peserta didik. Oleh karena itu guru perlu memberi semangat kepada peserta didik untuk memberikan tanggapan terhadap materi pelajaran melalui sumber belajar yang diterima.

Tujuan Bermain dan Alat Permainan

Tujuan bermain dengan alat permainan adalah memberikan kesempatan kepada anak untuk bereksplorasi sehingga mereka memperoleh pemahaman tentang berbagai konsep, misal konsep sama, lain, terhadap suatu bentuk warna. Mengingat pentingnya tujuan bermain tersebut maka pemahaman akan fungsi suatu alat permainan menjadi salah satu hal yang patut diperhatikan. Ketepatan ukuran serta warna harus jelas, misal warna hijau. Kita belum perlu mengenalkan anak berbagai warna hijau seperti hijau tosca, hijau lumut, atau hijau lainnya.

Konsep warna yang perlu kita kenalkan secara dini adalah adalah warna baku seperti warna merah, putih, hitam, ungu, coklat, kuning, hijau, biru. Alat permainan yang menunjang proses belajar bukanlah berpatokan pada tinggi rendahnya harga, melainkan ketepetan/keakuratan konsep yang akan kita perkenalkan pada anak dan aman untuk keselamatan mereka.

Pada tahun 1972 Dewan Nasional Indonesia untuk kesejahteraan sosial memperkenalkan istilah Alat Permainan Edukatif (APE). APE merupakan perkembangandari proyek pembuat buku keluarga dan balita yang dikelola oleh Kantor Menteri Urusan Peranan Wanita. Karena keberhasilan proyek tersebut APE digunakan diseluruh wilayah Indonesia melalui program-program BKKBN dan ibu-ibu PKK.

Alat Permainan Edukatif (APE) berupa :

. Boneka dari kain
. Balok bangunan besar polos
. Menara gelang segi tiga, bujur sangkar, lingkaran, segi enam
. Tangga kubus dan tangga silinder
. Balok ukur polos
. Krincingan bayi
. Gantungan bayi
. Beberapa puzel
. Kotak gambar pola
. Papan pasak 25
. Papan pasak 100
. dan lain-lain

C. Pengelolaan Sumber Belajar dan Alat Permainan

Banyaknya sumber belajar dan alat permainan yang ada di Taman Kanak-Kanak mensyaratkan guru untuk mengelolanya secara efektif dan efisien. Cherry Clare menyatakan bahwa untuk memotivasi anak menyukai belajar sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekolah. Oleh karena itu pengelolaan alat permainan pada khususnya dan sumber belajar pada umumnya ditata rapi dan menarik sehingga dapat dinikmati dan dirasakan oleh anak.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guru manakala mengelola sumber belajar dan alat permainan, yakni:

1. Perencanaan

Hal-hal yang terkait dengan perencanaan meliputi:
(1) jumlah dan usia anak,
(2) menerapkan sistem pengajaran untuk pembiasaan perilaku,
(3) keuangan, dan
(4) persiapan ruangan.

2. Pengadaan

Ruang lingkup pengadaan meliputi:
(1) pemahaman tentang alat-alat permainan,
(2) alat permainan yang ada di dalam ruangan, dan
(3) alat permainan di luar ruangan.

Alat permainan yang selalu ada di ruang sekolah adalah:

. Balok besar polos atau berwarna
. Balok kecil polos atau berwarna
. Balok yang terbuat dari kardus
. Balok bersusun yang terdiri dari balok yang ukurannya besar sampai dengan kecil
. Balok cuissenaire yaitu balok sepuluh tingkat dari 1-10cm
. Balok kubus yang berukuran 2 cm2
. Keping-keping kayu dengan bentuk geometri
. Keping-keping kayu dengan beragam bentuk, ukuran, dan warna
. Mozaik kubus yaitu balok kubus berisi 4cm dengan desain di atas bidangnya
. Mozaik bebas yaitu keping bentuk geometri untuk mencipta desain
. Mozaik terbatas di atas papan berukuran
. Mozaik dari karton tebal
. Papan pasak 25, yaitu papan yang berlubang 25 dengan 25 buah pasak
. Papan pasak 25 dari rendah ke tinggi, yaitu papan yang berlubang 25 dengan 25 buah pasak dari rendah ke tinggi
. Papan geometri yaitu papan yang berisi empat bentuk, seperti bujur sangkar, lingkaran
. Papan matematika bentuk kerucut, limas, kubus, silinder 3 dimensi, papan hitung 1-5, dan papan hitung 1-10
. Papan warna yaitu papan dengan sembilan warna
. Menara gelang lingkaran, segitiga, bujursangkar, segi enam berwarna hijau merah biru kuning
. Tangga kubus dan silinder yaitu papan dengan 5 tongkat dan butir manik-manik besar berbentuk silinder dan kubus
. Meronce, berbagai bentuk butir manik-manik ukuran besar
. Puzel dengan jumlah potongan satu sampai dua puluh lima
. Berbagai bentuk papan yang berlubang untuk menjahit

Tidak kalah penting alat permainan yang berbentuk media cetak yaitu:

. Gambar benda-benda yang berhubungan dengan tema kegiatan yang mungkin akan dimunculkan
. Permainan papan (game boards)yang akan di gunakan untuk mendalami berbagai konsep
. Berbagai bentuk huruf dan bilangan
. Gambar-gambar untuk mendukung bertemunya suara awal dan akhir
. Berbagai model bentuk yang dibuat sesuai dengan kebutuhan
. Papan permainan yang berisi gambar yang sama, sejenis, atau berpadanan (lotto gambar)
. Gambar-gambar tentang tema yang dapat menarik minat anak, misalnya gambar rumah, sekolah, rumah sakit, lapangan terbang, stasiun, terminal bis, pemandangan gunung, pantai atau hutan
. Gambar berbagai profesi yang ada di masyarakat:
. Peralatan utama dipergunakan oleh berbagai profesi di masyarakat, seperti stetoskop untuk dokter gigi, topi polisi, mobil pemadam kebakaran, kamera, jaring bagi nelayan ikan, gergaji untuk tukang kayu, palu, gunting, untuk tukang pangkas rambut, selendang penari, topeng bagi penari
. Gambar berbagai alat musik seperti pianika, piano, suling, gitar, alat perkusi, kastanet seperti tambur, gendang, simbal, gamelan, marakas, organ
. Berbagai alat musik berekspresi dan melakukan berbagai keterampilan seperti kuas, cat air, lilin, plastilin, dan tanah liat
. Alat bermain seperti kantung biji, bola, tali, ban mobil, bola kecil, berbagai boneka tangan, boneka orang, boneka binatang
. Perabot rumah tangga berukuran kecil seperti lemari, kompor, lemari dapur atau lemari hias.

Alat permainan yang berada di luar ruangan meliputi:
. Papan jungkit dalam berbagai ukuran
. Ayunan dengantiang yang tinggi maupun ayunan kursi
. Bak pasir dengan berbagai ukuran
. Bak air yang bervariasi
. Papan peluncuran
. Bola dunia untuk panjatanak
. Tali untuk melompat
. Terowongan yang terbuat dari gorong-gorong
. Titian yang beragam tinggi dan lebar
. Bola keranjang dengan bola yang terbuat dari kain
. Ban mobil bekas untuk digulingkan
. Kolam renang dangkal sebagai pengenalan berenang (bila memungkinkan)

3. Penyimpanan dan Pengawetan

Selain penyimpanan yang teratur terhadap alat-alat permainan, juga perlu diperhatikan mengenai tingkat kelembaban ruang udara pada sumber belajar, perpustakaan, atau ruang kelas. Tempat yang lembab dapat menumbuhkan jamur yang akibatnya dapat merusak alat permainan. Untuk menyimpan alat-alat permainan dan buku-buku yang jarang digunakan, kita dapat menggunakan rak atau lemari yang tertutup. Sebaliknya bila alat permainan sering digunakan, dapat disimpan dalam kotak tertutup dan beroda sehingga memudahkan anak untuk membawa atau mendorong ke tempat yang lebih luas untuk bermain.

4. Penggunaan dan Keteraturan Penggunaan

Dua hal yang perlu diperhatikan pada sub bab ini adalah konsep keselamatan dan keteraturan kerja. Tempat atau lahan ketika anak menggunakan alat permainan sebaiknya dikondisikan sebagai tempat yang memberikan kesempatan pada anak untuk dapat berkonsentrasi dengan baik dan menjadikan anak-anak tersebut menikmati masa belajarnya. Misalnya tempat tersebut cukup luas dan tidak terganggu dengan tempat-tempat alat permainan lainnya yang mengganggu alur kerja mereka yang memungkinkan mereka juga akan tersandung oleh rak atau alat permainan lainnya.

5. Evaluasi

Evaluasi penggunaan dan pengelolaan alat bermain terdiri atas dua tahap yakni pendataan penggunaan dan pendataan cara mengurus alat permainan. Dalam proses pembelajaran sehari-hari dapat kita pantau tingkat kemahiran dan kreativitas anak dalam memainkan alat pembelajarannya. Guru dapat mencatat hasil pantauan itu dengan menggunakan kolom-kolom (chart) yang dapat diisi oleh anak, buku khusus catatan guru, atau kartu yang dikalungi pada leher setiap anak.

Kondisi alat permainan dapat dibedakan atas 3 (tiga) kelompok yaitu:
(1) kelompok alat permainan yang sudah rusak tapi masih dapat diperbaiki,
(2) kelompok alat permainan yang tingkat kerusakannya sudah tinggi, dan
(3) kelompok alat permainan yang sudah waktunya untuk diganti.

Penentuan saat pembetulan alat permainan ini ditetapkan oleh guru sendiri. Meskipun saat terbaik adalah sewaktu liburan kenaikan kelas, tetapi tidak menutup kemungkinan kesempatan itu setiap saat didasarkan pada kebutuhan.

D. Penutup

Pengelolaan sumber belajar dan alat permainan di TK dilakukan guru TK dengan serangkaian kegiatan yang meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pengawetan, penggunaan dan keteraturan penggunaan alat permainan, evaluasi penggunaan dan pengolaan alat bermain. Masing-masing tahap pengelolaan merupakan satu system yang saling terkait sehingga guru TK yang cerdas perlu mencermati setiap tahap agar semua sumber belajar dan alat permainan dapat berfungsi secara efektif dan efisien.

Mewujudkan kondisi di mana sumber belajar dan alat permainan dapat berfungsi secara efektif dan efisien, bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu, ada baiknya guru TK menjalin koordinasi dan kerjasama dengan murid TK dengan melibatkan mereka mengelola sumber belajar dan alat permainan sehingga anak-anak TK merasa ikut handarbeni segala sesuatu yang menjadi "kekayaan" sekolah.

http://re-searchengines.com/trimo50708.html

Layanan Komunikasi Total bagi Tunagrahita


Judul: Layanan Komunikasi Total bagi Tunagrahita
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama & E-mail (Penulis): Tarmansyah, Sp.Th, M.Pd. SEN
Saya Dosen di PLB FIP Universitas Negeri Padang
Topik: Special Need Education
Tanggal: 29 Desember 2008

Konsep dasar komunikasi total bagi tunagrahita, membahas tentang pengertian dan proses komunikasi secara umum sebagai pola pengembangan komunikasi bagi tuna grahita digunakan model komunikasi shane.

Penjelasan tentang istilah komunikasi total yang membedakan antara sistem komunikasi tunarungu dengan sistem komunikasi tunagrahita. Selanjutnya diuraikan mengenai aspek interaksi, aspek ekspresi dan aspek pragmatis.

Pemeriksaan dengan cara tingkatan non-linguistis, kemungkinan-kemungkinan komunikasi pada penyandang tuna grahita yang mengalami gangguan berat dalam berkomunikasi. Dalam kajian ini membahas tentang tunagrahita, sebab-sebab kesulitan dalam berkomunikasi. Pemeriksaan khusus sifat kesulitan antara lain mengenai kemampuan pendengaran. Pemeriksaan tingkat kognitif, komunikasi resetif dan ekspresif, aspek pragmatis dalam berkomunikasi.

Kajian selanjutnya tentang cara-cara menggunakan sistem visual, sistem komunikasi visual, macam-macam komunikasi visual.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan sistem komunikasi total. Dalam kajian ini dibahas bagaimana memilih komunikasi yang paling tepat untuk masing-masing klien dengan gangguan komunikasinya. Selanjutnya dibahas jenis-jenis klien yang membutuhkan bantuan komunikasi total terdiri dari 3 kelompok. Terapi komunikasi membahas model-model layanan komunikasi dalam hal kajian ini di bahas 2 model layanan. Sebagai upaya menetapkan suatu diagnosa kelainan komunikasi di sajikan penafsiran formulir skrining gangguan komunikasi. Untuk latihan mendiagnosa jenis kelainan komunikasi bagi tunagrahita di tampilkan beberapa macam kasus klient dengan berbagai macam jenis gangguan.

http://re-searchengines.com/tarmansyah1208.html

Penuhi Dulu Sarana-Prasarana Perbaikan Ruang Kelas Butuh Rp 13,75 Triliun


Jakarta, Kompas - Dengan adanya standar nasional, pemerintah dituntut menambah alokasi dana agar standar ketentuan sarana dan prasarana minimal untuk SD, SMP, SMA, atau sederajat terpenuhi. Penyediaan sarana dan prasarana tersebut tidak berhenti pada tersedianya gedung sekolah yang layak.

"Adanya standar ini seharusnya memacu pemerintah untuk serius menyediakan anggaran pendidikan minimal 20 persen di APBN," kata Wakil Koordinator Education Forum Yanti Sriyulianti, Sabtu (22/12) di Jakarta.

Suyanto, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, mengatakan, pemenuhan penyediaan pendidikan yang berkualitas bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat saja karena sekarang sudah berlaku otonomi daerah.

Sementara Yanti menegaskan, masyarakat bisa menuntut pemerintah untuk memenuhi standar minimal soal lahan, gedung, jumlah siswa, perpustakaan, laboratorium, dan lain-lain.

Sekolah di daerah pedesaan dan terpencil kondisinya masih jauh dari standar minimum. Sebuah SD di Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan, misalnya, satu kelas diisi 84 siswa. Halaman sekolahnya sempit, tidak ada jamban, perpustakaan, dan laboratorium. Guru berkantor di lorong kelas. Dari data tahun 2003, jumlah ruang kelas rusak di tingkat sekolah dasar ada 531.186 ruang. Tahun 2008 tersisa 203.052 ruang. Perbaikannya butuh dana sekitar Rp 13,75 triliun.

Standar nasional sarana dan prasarana pendidikan di tingkat dasar dan menengah dimuat dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk SD, SMP, SMA atau sederajat. Di sini diatur mengenai satuan pendidikan, lahan, bangunan gedung, serta ketentuan sarana dan prasarana.

Jumlah siswa per kelas untuk SD ditetapkan maksimal 28 orang, SMP dan SMA (32 orang). Jarak sekolah dari permukiman di daerah terpencil, untuk SD diusahakan maksimal tiga kilometer dan SMP berjarak maksimal enam kilometer.

Sarana dan prasarana di tingkat SD, terdiri dari ruang kelas, perpustakaan—bagi siswa dan guru, laboratorium IPA, ruang pimpinan, ruang guru, tempat beribadah, ruang UKS, jamban, gudang, ruang sirkulasi, dan tempat bermain/berolahraga.

Untuk SMP ditambah ruang tata usaha, ruang konseling, dan ruang organisasi kesiswaan. Laboratorium SMA meliputi lab biologi, fisika, kimia, komputer, dan bahasa. (ELN)


http://64.203.71.11/kompas-cetak/0712/24/humaniora/4097436.htm


LAGI-LAGI SOAL sarana dan prasarana pendidikan




Lagi-lagi potret dunia pendidikan dan kemiskinan yang bikin miris
hari ini lagi-lagi ketemu anak-anak, pandangan yang begitu kontras alias njomplank antara ketika aku ngajar di salah satu yayasan dan dengan yayasan ini.

yayasan yang ini (sekolah swasta)
yang satu belajar di kelas seadanya ukuran yang mungkin sekitar 3 X 3 m persegi. diisi 10-15 orang anak dari kalangan menengah ke bawah...bahkan mungkin rata-rata di bawah. sekolah yang mengandalkan dana dari donatur yayasan, dan sedikit dari ortu. kelas yang sempit kadang-kadang punteun (bau keringetnya anak-anak habis maen bola pas jam istirahat kerasa banget campur-campur), papan masih blackboard nulis paker kapur jadi putih-putih deh kalo pake baju warna gelap, panas, n segala fasilitas yang terbatas. kalau sebelumnya ip pernah cerita tentang penjualan buku. ternyata hanya beberapa anak aja yang sanggup beli. otomatis satu buku bisa dipeke 3-4 anak. jadi bener-bener prihatin.

Bandingin di yayasan (sekolah swasta) satunya lagi tempat aku ngajar, dengan biaya DSP dan biaya bulanan yang dibebankan ortu yang lebih besar. belajar diruangan yang lumayan nyaman, pake AC otomatis ga panas, papan dah whiteboard, kamar mandi bersih n nyaman, ada fasilitas perpustakaan, guru-guru yang rata-rata lulusan S1 dan S2, anak-anaknya ga nganggung-nanggung kalo beli buku. walaupun sebenernya masih ada aja kekurangnnya, karena orientasinya kapital, biaya operasional seminim-minimnya jadi satu kelas diisi 40 anak. jadi lumayan ganggu juga karena satu kelas terlalu banyak anak ga bisa diperhatiin banget semwanya. hemat guru tapi kualitas belajarnya juga lumayang ngaruh. apalagi posisi duduk anak datar...jadi kasian anak-anak yang kebagian tempat duduk paling belakang.

berdasarkan data yang ku tau ternyata banyak sekolah swasta dan negeri itu 10% sekolah negeri n 90 % sekolah swasta
kalo dari sini aja Qita bisa tau, jumlah sekolah negeri yang ada belum memadai untuk dinikmati semua anak bangsa. pendidikan pada hakikatnya adalah tanggung jawab pemerintah. secara sadar pemerintah mestinya tau. negri ini bakalan digantiin sama generasi-generasi muda, anak-anak remaja yang semuanya butuh pendidikan yang berkualitas buat ngebangun bangsa.

jadi kalo akhirnya pemerintah lepas tangan dari tanggung jawab pendidikan, ga cuma sekolah swasta yang ga kesentuh pemerintah sekolah negeri pun bakalan di "MANDIRIKAN' dalam pengelolaan keuangan dan manajemen sekolahnya. bayangkan gimana sekolah juga harus direpotkan mencari sumber biaya pendidikan sendiri. padahal mendidik anak didik yang jumlahnya besar itu bukan suatu yang mudah dan butuh fokus.

belum lagi kalau lembaga pendidikan yang ada ga cerdas, asal ada yang nagsih dana main terima aja, padahal bisa aja mereka punya pamrih yang diikutin pihak sekolah. misalnya aja LSM ini ngasih dana sekian...trus konsekuensinya sekolah musti mau nerapin kurikulum yang kaya "gini".harus nerapin full day school yang siswa-siswinya ga sempet nyari ilmu yang laini, organisasi, beribadah, bersosialisasi, dll.

Efek ini dah berasa di PTN2 yang diBHMN kan. efek dari BHMNnisasi ini mahasiswanya dibuat belajar kuliah dari matahari baru melek sampe mau merem lagi, kegiatan organisasi dibatasi, dll. dari si pergerakan mahasiswa dihambat, dam proses perubahanpun.MANDEG (nauzubillah).

yups...kesannya suudzhon ya tapi

bukankan "mereka" orang-orang kafir ga akan pernah berhenti sampa Qita umat muslim mengikuti agama mereka.

"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: 'Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yg benar)'. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." [QS Al-Baqarah (2) ayat 120].

.persoalan pendidikan bukanlah persoalan tunggal, persoalan ini terkait dengan ekonomi, sosial, politik, yang butuh solusi yang cemerlang. persoalan ini terikat satu sama lain dalam satu sistem...KAPITALIS

Maka sekaranglah saatnya...semua ini berakhir....
saatnya wanita, anak-anak, orang tua...seluruh kaum muslimin butuh pelindung, penjaga, pengurus...
saatnya kita butuh pengurus yang memiliki aturan kepengurusan yang jelas...
siapa???

http://ipdheena.multiply.com/journal/item/10





MANAJEMEN SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN ISLAM

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada 1950an, tepatnya setelah 5 tahun Indonesia merdeka, pemerintah telah melakukan suatu usaha-usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa khususnya generasi muda. Meskipun berjalan dengan apa adanya, beberapa lembaga pendidikan telah didirikan mulai tingkat Sekolah Dasar sampai ke Perguruan tinggi.

Pada masa itu, peralatan, sistem penerangan, sistem persuaraan (mikrofon) adalah sangat-sangat sederhana, sesuai dengan apa yang ada di tempat-tempat tersebut. Jangan tanya lagi tentang sistem visual, perpustakaan, laboratorium, dan sebagainya. Semuanya serba terbatas. Tidak ada rotan, akar pun ok. Pokoknya pendidikan harus berjalan. Lain halnya dengan keadaan sekarang ini, ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang dengan pesatnya, sehingga menuntut kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan itu sendiri.

Bertolak dari semua itu, kelengkapan atau canggihnya suatu sarana dan prasarana pendidikan sebenarnya bukan suatu kesempurnaan atau tidak dapat dijadikan ukuran, jika tidak dikelola dan didayagunakan dengan baik dansesuai dengan fungsinya. Dari sinilah pentingnya manajemen dalam pendidikan diterapkan. Dan hal ini kita kenal dengan sebutan Manajemen Sarana Dan Prasarana Pendidikan Islam (khususnya dalam lembaga pendidikan Islam).

Rumusan Masalah
1. Apa pengertian manajemen sarana dan prasarana pendidikan Islam?
2. Apa saja tujuan manajemen sarana dan prasarana pendidikan Islam ?
3. Bagaimana prinsip-prinsip manajemen sarana dan prasarana pendidikan Islam ?
4. Bagaimana proses manajemen sarana dan prasarana pendidikan Islam ?

PEMBAHASAN
Pengertian Manajemen Sarana Dan Prasarana Pendidikan Islam
Manajemen
Sebagaimana dicatat dalam Encyclopedia Americana manajemen merupakan “the art of coordinating the ele-ments of factors of production towards the achievement of the purposes of an organization”, yaitu suatu seni untuk mengkoordinir sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan organisasi (www.bpkpenabur.or.id). Sumber daya organisasi tersebut meliputi manusia(men), bahan baku(ma-terials) dan mesin machines). Koordinasi dimaksudkan agar tujuan organisasi bisa dicapai dengan efisien sehingga dapat memenuhi harapan berbagai pihak (stake-holders) yang mempunyai kepentingan terhadap organisasi. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, manajemen diartikan sebagai proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran (Depdikbud, 1988).
Disisi lain manajemen sering dikatakan sebagai ilmu, kiat, dan profesi. Dikatakan sebagai ilmu oleh Luther Gulick karena manajemen dipandang sebagai suatu bidang penegetahuan yang secara sistematik berusaha memahami mengapa dan bagaimana orang bekerja sama. Dikatakan sebagai kiat oleh Follet karena manajemen mencapai sasaran melaui cara-cara dengan mengatur orang lain menjaalankan dalam tugas. Dipandang sebagai profesi karena manajemen dilandasi oleh keahlian khusus untuk mencapai suatu prestasi manajer dan para profesional dituntun oleh suatu kode etik (Fattah, 2003: 1).

Sarana Dan Prasarana Pendidikan
Sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan menunjang proses pendidikan, khususunya proses belajar mengajar, seperti gedung, ruang kelas, meja, kursi, serta alat-alat dan media pengajaran. Adapun yang dimaksud dengan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan atau pengajaran, seperti halaman, kebun, taman, sekolah islam, jalan menuju sekolah islam, tetapi jika dimanfaatkan secara langsung untuk proses belajar mengajar, seperti taman sekolah islamuntuk pengajaran biologi, halaman sekolah islam, sebagai sekaligus lapangan olah raga, komponen tersebut merupakan sarana pendidikan (Mulyasa, 2007: 49)
Menurut (buku) pedoman penjaminan mutu akademik Universitas Indonesia, prasarana pendidikan adalah perangkat penunjang utama suatu proses atau usaha pendidikan agar tujuan pendidikan tercapai. Sedangkan sarana pendidikan adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat/media dalam mencapai maksud atau tujuan.

Manajemen Sarana Dan Prasarana Pendidikan
Dari beberapa uraian diatas, manajemen sarana dan prasarana pendidikan dapat didefinisikan sebagai proses kerja sama pendayagunaan semua sarana dan prasarana pendidikan secara efektif dan efisien.( bafadal,2003). Definisi ini menunjukkan bahwa sarana dan prasarana yang ada di sekolah perlu didayagunakan dan dikelola untuk kepentingan proses pembelajaran di sekolah. Pengelolaan itu dimaksudkan agar dalam menggunakan sarana dan prasarana di sekolah bisa berjalan dengan efektif dan efisien. Pengelolaan sarana dan prasarana merupakan kegiatan yang amat penting di sekolah, karena keberadaannya akan sangat mendukung terhadap suksesnya proses pembelajaran di sekolah.
Dalam mengelola sarana dan prasarana di sekolah dibutuhkan suatu proses sebagaimana terdapat dalam manajemen yang ada pada umumnya, yaitu : mulai dari perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pemeliharaan dan pengawasan. Apa yang dibutuhkan oleh sekolah perlu direncanakan dengan cermat berkaitan dengan sarana dan prasarana yang mendukung semua proses pembelajaran. Sarana pendidikan ini berkaitan erat dengan semua perangkat, peralatan, bahan dan perabot yang secara langsung digunakan dalam proses belajar mengajar. Sedangkan prasarana pendidikan berkaitan dengan semua perangkat kelengkapan dasar yang secara tidak langsung menunjang pelaksanaan proses pembelajaran di sekolah seperti ; ruang, perpustakaan, kantor sekolah, UKS, ruang osis, tempat parkir, ruang laboratorium, dll.

Tujuan Manajemen Sarana Dan Prasarana Pendidikan Islam
Tujuan daripada pengelolaan sarana dan prasarana sekolah ini adalah untuk memberikan layanan secara profesional berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan agar proses pembelajaran bisa berlangsung secara efektif dan efisien. Berkaitan dengan hal ini. Bafadal (2003) menjelaskan secara rinci tentang tujuan manajemen sarana dan prasarana pendidikan sebagai berikut :
1. Untuk mengupayakan pengadaan saraan dan prasarana sekolah melalui sistem perencanaan dan pengadaan yang hati-hati dan seksama, sehingga sekolah memiliki sarana dan prasana yang baik, sesuai dengan kebutuhan sekolah, dan dengan dana yang efisien.
2. Untuk mengupayakan pemakaian sarana dan prasarana sekolah secara tepat dan efisien.
3. Untuk mengupayakan pemeliharaan sarana dan prasana pendidikan, sehingga keberadaannya selalu dalam kondisi siap pakai dalam setiap dperlukan oleh semua pihak sekolah.

Manajemen sarana dan prasarana yang baik diharapkan dapat menciptakan sekolah/ sekolah islam yang bersih, rapi, indah, sehingga menciptakan kondisi yang menyenangkan baik bagi guru maupun untuk berada di sekolah islam. Di samping itu juga diharapkan tersedianya alat-alat fasilitas belajar yang memadai secara kuantitatif, kualitatif, dan relevan dengan kebutuhan serta dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan proses pendidikan dan pengajaran, baik oleh guru sebagai pengajar maupun murid-murid sebagai pelajar.

Prinsip-Prinsip Manajemen Sarana Dan Prasarana Pendidikan Islam
Dalam Mengelola Sarana dan prasarana sekolah, terdapat sejumlah prinsip yang perlu diperhatikan agar tujuan bisa tercapai dengan maksimal. Prinsip-prinsip tersebut menurut Bafadal (2003) adalah :
1. Prinsip pencapaian tujuan, yaitu sarana dan prasarana pendidikan di sekolah harus selalu dalam kondisi siap pakai apabila akan didayagunakan oleh personel sekolah dalam rangka pencapaian tujuan proses pembelajaran di sekolah.
2. Prinsip efisiensi, yaitu pengadaan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah harus di lakukan melalui perencanaan yang seksama, sehingga dapat diadakan sarana dan prasarana pendidikan yang baik dengan harga yang murah. Demikian juga pemakaiannya harus dengan hati-hati sehingga mengurangi pemborosan.
3. Prinsip administratif, yaitu manajemen sarana dan prasana pendidikan di sekolah harus selalu memperhatikan undang-undang, peraturan, intruksi, dan petunjuk teknis yang diberlakukan oleh pihak yang berwenang.
4. Prinsip kejelasan tanggung jawab, yaitu manajemen sarana dan prasarana pendidikan di sekolah harus di delegasikan kepda personel sekolah yang mampu bertanggung jawab, apabila melibatkan banyak personel sekolah dalam manajemennya, maka perlu adanya deskripsi tugas dan tanggung jawab yang jelas untuk setiapa personel sekolah.
5. Prinsip kekohesifan, yaitu bahwa manajemen sarana dan prasarana pendidikan di sekolah itu harus direalisasikan dalam bentuk proses kerja sekolah yang sangat kompak.

Proses Manajemen Sarana Dan Prasarana Pendidikan Islam
Manajemen sarana dan prasarana pendidikan di sekolah berkaitan erat dengan aktivitas-aktivitas pengadaan, pendistribusian, penggunaan dan pemeliharaan, inventarisasi, serta penghapusan sarana dan prasarana pendidikan islam. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya suatu proses dan keahlian di dalam mengelolanya. Dan tindakan prefentif yang tepat akan sangat berguna bagi instansi terkait.
Proses manajemen sarana dan prasarana pendidikan islam yang akan dibahas disini berkaitan erat dengan : 1. perencanaan sarana dan prasarana pendidikan islam. 2. pengadaan sarana dan prasarana pendidikan islam. 3. inventarisasi sarana dan prasarana pendidikan islam. 4. pengawasan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan islam. 5. pengahapusan sarana dan prasarana sekolah.

Perencanaan Sarana Dan Prasarana Pendidikan Islam
Perencanaan sarana dan prasarana pendidikan islam merupakan suatu proses analisis dan penetapan kebutuhan yang diperlukan dalam proses pembelajaran sehingga muncullah istilah kebutuhan yang diperlukan (primer) dan kebutuhan yang menunjang. Dalam proses perencanaan ini harus dilakukan dengan cermat dan teliti baik berkaitan dengan karakteristik sarana dan prasarana yang dibutuhkan, jumlahnya, jenisnya dan kendalanya (manfaat yang didapatkan), beserta harganya. Berkaiatan dengan ini Jones (1969) menjelaskan bahwa perencanaan pengadaan perlengkapan pendidikan di sekolah harus diawali dengan analisis jenis pengalaman pendidikan yang diprogaramkan di sekolah menurut Sukarna (1987) adalah sebagai berikut :
1. Menampung semua usulan pengadaan perlengkapan sekolah yang diajukan oleh setiap unit kerja dan atau mengiventarisasi kekurangan perlengkapan sekolah.
2. Menyusun rencana kebutuhan perlengkapan sekolah untuk periode tertentu, misalnya untuk satu triwulan atau satau ajaran.
3. Memadukan rencana kebutuhan yang telah disusun dengan perlengkapan yang tersedia sebelumya.
4. Memadukan rencana kebutuhan dengan dana atau anggaran sekolah yang tersedia. Dalam hal ini, jika dana yang tersedia tidak mencukupi untuk pengadaan semua kebutuhan yang diperlukan, maka perlu diadakan seleksi terhadap semua kebutuhan perlengkapan yang telah direncanakan denagn melihat urgensi setiap perlengkapan yang diperlukan. Semua perlengkapan yang urgen didaftar dan didahulukan pengadaannya.
5. Memadukan rencana (daftar) kebutuhan perlengkapan yang urgen dengan dana atau anggaran yang tersedia, maka perlu diadakan seleksi lagi dengan melihat skala prioritas.
6. Penetapan rencana pengadaan akhir.

Pengadaan Sarana Dan Prasarana Pendidikan Di Sekolah
Pengadaan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah pada hakekatnya adalah kelanjutan dari program perencanaan yang telah disusun oleh sekolah sebelumnya.
Sistem pengadaan sarana dan prasarana sekolah dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain adalah :
1. Dropping dari pemerintah, hal ini merupakan bantuan yang diberikan pemerintah kepada sekolah. Bantuan ini sifatnya terbatas sehingga pengelola sarana dan prasarana pendidikan di sekolah tetap harus mengusahakan denagn cara lain.
2. Pengadaan sarana dan prasarana sekola dengan cara membeli baik secara langsung maupun melalui pemesanan terlebih dahulu.
3. meminta sumbangan dari wali murid atau mengjukan proposal bantuan pengadaan sarana dan prasarana sekolah ke lembaga-lembaga sosial yang tidak mengikat.
4. pengadaan perlengkapan dengan cara menyewa atau meminjam ke tempat lain.
5. pengadaan perlengkapan sekolah denag cara tukar menukar barang yang dimiliki dengan barang lainyang dibutuhkan sekolah.
Memilih sarana dan prasana pendidikan islam bukanlah berupa resep yang lengkapa dengan petunjuk-petunjuknya, lalu pendidik menerima resep itu begitu saja. Sarana pembelajaran hendakanya direncanakan, dipilih dan diadakan dengan teliti sesuai dengan kebutuhan sehingga penggunaannya berjalan dengan wajar. Untuk itu pendidik hendaknya menyesuaikan dengan sarana pembelajaran dengan faktor-faktor yang dihadapi, yaitu tujuan apakah yang hendak dicapai, media apa yang tersedia, pendidik mana yang akan mempergunakannya, dan yang peserta didik mana yang di hadapi. Faktor lain yag hendaknya dipertimbangkan dalam pemilihan sarana pembelajaran adalah kesesuaian dengan ruang dan waktu.

Inventarisasi Sarana Dan Prasarana Pendidikan
Inventarisasi dapat diartikan sebagai pencatatan dan penyusunan barang-barang melik negara secara sistematis, tertib, dan teratur berdasarkan ketentuan-ketentuan taau pedoman-pedoman yang berlaku. Hal ini sesuai dengan keputusan menteri keuangan RI Nomor Kep. 225/MK/V/4/1971 bahwa barang milik negara beruapa semua barang yang berasal atau dibeli dengan dana yang bersumber baik secara keseluruhan atau bagian sebagainya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ataupun dana lainnya yang barang-barang dibawah penguasaan kantor departemen dan kebudayaan, baik yang berada di dalam maupun luar negeri.
Kegiatan inventarisasi sarana dan prasarana pendidikan di sekolah menurut Bafadal (2003) meliputi :
1. Pencatatan sarana dan prasarana sekolah dapat dilakukan didalam buku penerimaan barang, buku bukan inventaris, buku (kartu) stok barang.
2. Pembuatan kode khusus untuk perlengkapan yang tergolong barang inventaris. Caranya dengan membuat kode barang dan menempelkannya atau menuliskannya pada badan barang perlengkapan yang tergolong sebagai barang inventaris. Tujuannya adalah untuk memudahkan semua pihak dalam mengenal kembali semua perlengkapan pendidikan di sekolah baik ditinjau dari kepemilikan, penanggung jawab, maupun jenis golongannya. Biasanya kode barang itu berbentuk angka atau numerik yang menunjukkan departemen, lokasi, sekolah, dan barang.
3. Semua perlengkapan pendidikan di sekolah yang tergolong barang inventaris harus dilaporkan. Laporan tersebut sering disebut dengan istilah laporan mutasi barang. Pelaporan dilakukan daalm periode tertentu, sekali dalam satu triwulan. Dalam satu tahun ajaran misalnya, pelaporan dapat dilakukan pada bulan juli, oktober, januari, dan april tahun berikutnya.

Pengawasan Dan Pemeliharaan Sarana Dan Prasarana Pendidikan Di Sekolah
Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen yang harus dilaksanakan oleh pimpinan organisasi. Berkaitan denagn sarana dan prasarana pendidikan di sekolah, perlu adanya kontrol baik dalam pemeliharaan atau pemberdayaan. Pengawasan (control) terhadap sarana dan prasarana pendidikan di sekolah merupakan usaha yang ditempuh oleh pimpinan dalam membantu personel sekolah untuk menjaga atau memelihara, dan memanfaatkan sarana dan prasarana sekolah dengan sebaik mungkin demi keberhasilan proses pembelakarandi sekolah.
Pemeliharaan terhadap sarana dan prasarana pendidikan di sekolah merupakan aktivitas yang harus dijalankan untuk menjaga agar perlengkapan yang dibutuhkan oleh persnel sekolah dalam kondisi siap pakai. Kondisi sia pakai ini akan sangat membantu terhadap kelancaran proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah. Oleh karena itu, semua perlengkapan yang ada di sekolah membutuhkan perawatan, pemeliharaan, dan pengawasan agar dapat diperdayakan dengan sebaik mungkin.
Dalam pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah jika ditinjau dari sifat maupun waktunya terdapat beberapa macam, yaitu : 1. ditinjau dari sifatnya, yaitu : pemeliharaan yang bersifat pengecekan, pencegahan, perbaikan ringan dan perbaikan berat, 2. ditinjau dari waktu pemeliharaannya, yaitu : pemeliharaan sehari-hari (membersihkan ruang dan perlengkapannya), dan pemeliharaan berkala seperti pengecetan dinding, pemeriksaan bangku, genteng, dan perabotan lainnya.

Pengahapusan Sarana Dan Prasarana Pendidikan Di Sekolah
Pengahapusan sarana dan prasarana pendidikan adalah kegiatan meniadakan barang-barang milik lembaga ( bisa juga milik negara) dari daftar inventaris denagn cara berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai salah satu aktivitas dalam manajemen sarana dan prasarana pendidikan, penghapusan bertujuan untuk : 1. mencegah dan membatasi kerugian yang lebih besar sebagai akibat pengeluaran dana untuk perbaikan yang perlengkapan yang rusak. 2. mencegah terjadinya pemborosan biaya pengamanan yang tidak berguna lagi. 3. membebaskan lembaga dari tanggung jawab pemeliharaan dan pengamanan. 4. meringankan beban inventaris.
Kepala sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan penghapusan terhadap perlengkapan sekolah. Namun perlengkapan yang akan dihapus harus memenuhi persyaratan-persyaratan penghapusan. Demikian pula prosedurnya harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Barang-barang yang memenuhi syarat untuk dihapus adalah:
1. Barang-barang dalam keadaan rusak berat sehingga tidak dapat dimanfaatkan lagi.
2. Barang-barang yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
3. Barang-barang kuno yang penggunaannya sudah tidak efisien lagi.
4. Barang-barang yang terkena larangan.
5. Barang-barang yang mengalami penyusustan di luar kekuasaaan pengurus barang.
6. Barang-barang yang pemeliharaannya tidak seimbang dengan kegunaannya.
7. Barang-barang yang berlebihan dan tidak digunakan lagi.
8. Barang-barang yang dicuri.
9. Barang-barang yang diselewengkan.
10. Barang-barang yang terbakar dan musnah akibat bencana alam.
Dalam penghapusan barang ini, kepala sekolah beserta stafnya hendaknya mengelompokkan dan mendata barang-barang yang akan dihapus, kemudian mengajukan usulan penghapusan beserta lampiran jenis barang yang akan dihapus ke Diknas/Depag. Setelah SK dari kantor pusat tentang penghapusan barang sesuai berita acara yang ada. Penghapusan barang ini dapat dilakukan dengan cara pemusnahan atau pelelangan.
Lain-Lain
Masalah lain yang perlu diperhatikan ialah perusakan yang sering dilakukan leh siswa “gatal tangan”. Perilaku ini banyak penyebabnya, antara lain adanya rasa kurang aman, frustasi, balas dendam karena mersakan ketidak adilan, dan perkelahian antar kelompok. Upaya yang dapat dilakukan antara lain :
1. Bangkitkan rasa bangga akan keindahan, keunikan sekolah. Ini harus dicontohkan oleh kepala sekolah, guru, dan aparat lainnya. Ajaran agama tentang kebersihan dapat membantu disini.
2. Siapkan bangunan dalam kondisi prima padsa tahun ajaran baru. Itu dilakukan dalam liburan sekolah. Dinding dibersihkan, bangku dan lain-lain demikian juga. Anak-anak yang masuk pada hari-hari pertama tidak lagi melihat coret-coretan pada dinding atau pada bangkunya. Ini akan ada pengaruhnya.
3. Ketertiban di kelas harus terkendali. Hal-hal kecil jangan di biarkan. Kadang-kadang tanpa diketahui hal kecil itu berkembang menjadi persoalan besar.
4. Jangan mengatakan bahwa anak-anak itu nakal hanya karena membuat coretan pada dinding. Lebih bijak memanggilnya, dan guru menghapus coretan itu bersama anak itu tadi. Boleh dinasehati agar tidak membuat coretan lagi.
Dalam hal menggulangi kenakalan pelajaran, fungsi guru agama diperkirakan cukup besar. Kerja sama guru agama dengan seleruh aparat sekolah perlu dicatat.
Pemeliharaan sarana dan prasarana sebenarnya memerlukan dana yang cukup besar, ini tidak bisa dihindari. Tujuannya antara lain supaya sarana dan prasarana tidak cepat rusak, disebabkan pengaruhnya besar pada kesuksesan Pendidikan Islam.
KESIMPULAN
1. Manajemen sarana dan prasarana pendidikan dapat didefinisikan sebagai proses kerja sama pendayagunaan semua sarana dan prasarana pendidikan secara efektif dan efisien.( bafadal,2003).
2. Tujuan daripada pengelolaan sarana dan prasarana sekolah ini adalah untuk memberikan layanan secara profesional berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan agar proses pembelajaran bisa berlangsung secara efektif dan efisien.
3. Prinsip-prinsip manajemen sarana dan prasarana pendidikan Islam meliputi: 1) prinsip pencapaian tujuan, 2) prinsip efisiensi, 3) prinsip administratif, 4) prinsip kejelasan tanggung jawab, 5) prinsip kekohesifan.
4. Proses manajemen sarana dan prasarana pendidikan islam yang akan dibahas disini berkaitan erat dengan : 1. perencanaan sarana dan prasarana pendidikan islam. 2. pengadaan sarana dan prasarana pendidikan islam. 3. inventarisasi sarana dan prasarana pendidikan islam. 4. pengawasan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan islam. 5. pengahapusan sarana dan prasarana sekolah.

http://ridu0ne.wordpress.com/2008/12/16/manajemen-sarana-dan-prasarana-pendidikan-islam/