Minggu, 22 Februari 2009

PEMBIAYAAN PENDIDIKAN

KOMPAS, 5/5/03
FENOMENA INUL DAN PENDIDIKAN TINGGI
Respons terhadap tulisan W. D. Widodo
Sofian Effendi*
Gara-gara berdangdut dengan goyangan ngebornya yang hot dan asyiik, Inul Daratista
menjadi satu-satunya penyayi dangdut yang masuk dalam Newsweek dan Times. Jarang
orang lain mampu mencapai record seperti itu. Ketika saya membaca tulisan Winarso
Dradjat Widodo, Ph.D. di Kompas edisi 1 Mei, saya jadi berfikir, apakah UGM sedang
mengalami fenomena Inul? Fikiran ini muncul karena seorang ilmuwan, pemegang gelar
Doctor of Philosophy, melakukan seperti yang dibuat Oma Irama pada Inul, “menuduh”
bahwa UGM dan beberapa PTN telah menyebabkan pendidikan tinggi mahal dan
sekaligus amburadul. Tuduhan tersebut sangat tidak beralasan dan mengandung
kelemahan logika.
Saya menemukan paling tidak ada 5 logical fallacies dalam tulisan tersebut. Pertama,
penulis menganggap uniformitas adalah lebih baik dari suatu yang mandiri. Di atas
landasan logika tersebut penulis menyimpulkan bahwa sistem penerimaan mahasiswa
yang diikuti oleh banyak PT – seperti UMPTN dan SPMB – akan lebih memperbesar
peluang para lulusan SLTA untuk diterima di PT. Kita semua tahun bahwa realitasnya
bukan demikian, karena ada rayonisasi dalam pelaksanaan ujian masuk bersama emacam
itu. Kedua, penulis berargumentasi, dengan silogisme yang keliru, bahwa penerimaan
calon mahasiswa akan lebih ditentukan oleh “kesanggupan membayar biaya pendidikan”.
Hanya dari membaca Butir Keempat dari pengumuman publik UGM tentang UM-UGM,
serta merta penulis menyimpulkan bahwa keputusan UGM akan lebih ditentukan oleh
besarnya sumbangan yang dicantumkan oleh calon mahasiswa. Kesimpulan penulis
tersebut amat misleading dan dapat menebarkan bibit-bibit kecurigaan di masyarakat kita
yang oleh Francis Fukuyama dipandang memiliki karakteristik bangsa low trust. Dengan
alasan ini saja UGM sudah memiliki landsan hukum yang cukup kuat untuk mengajukan
somasi kepada seorang penghasut.
Kedua, penulis secara subyektif menyimpulkan bahwa kadar pengetahuan sesorang
ditentukan oleh kelulusannya dari SMU. Kalau argumentasi ini diterima, maka logikanya
tingkat pengetahuan siswa SMU pada saat menempuh ujian UM-UGM secara signifikan
akan berbeda dengan ketika dia menempuh Ujian Akhir Nasional (UAN). Apakah
pengetahuan siswa memang berbeda secara signifikan dalam waktu tiga minggu?
Mungkin hanya penulis yang dapat menjelaskan logika dari kesimpulannya itu.
Instrumen tes yang digunakan dalam UM-UGM dikembangkan dengan sengaja untuk
mengatasi kelemahan dari instrument tes yang digunakan Seleksi Masuk Mahasiswa Baru
(SPMB) yang hanya mampu mengukur pengetahuan akademik yang dikuasai (academic
achievements) oleh para pendaftar. Pengukuran academic achievement semata-mata tidak
menunjukkan potensi akademik dan bakat para calon. Padahal, kami menginginkan, atas
dasar pemahaman para ahli psikologi kami, penerimaan calon mahasiswa tidak hanya
* Sofian Effendi, Guru Besar Universitas Gadjah Mada.
2
didasarkan semata-mata pada ukuran pengetahunan yang dikuasainya, tetapi juga atas
dasar potensi akademik, bakat serta aspek-aspek non-cognitif lainnya. Memang kami
sadar betul bahwa dalam seleksi massal dan tertulis, sukar diperoleh informasi yang sahih
mengenai aspek non-kognitif tersebut. Tetapi kan lebih baik daripada keputusan untuk
menerima atau menolak calon hanya didasarkan atas kriteria yang tidak lengkap, apalagi
tidak akurat?
Ketiga, lebih membingungkan lagi argumentasi penulis ketika dia serta merta mengaitkan
sistem seleksi UM-UGM ini dengan biaya pendidikan yang berlaku di UGM. Sistem
seleksi dan biaya pendidikan adalah dua hal yang berbeda, tetapi keduanya memang
menjamin terlaksananya pendidikan tinggi yang berkualitas. Dengan sistem seleksi yang
lebih baik diharapkan akan dapat terjaring calon mahasiswa yang lebih berkualitas.
Dengan tersedianya dana, dapat diningkatkan kualitas proses pembelajaran di UGM
sehingga dapat mengejar ketertinggalan dari PT luar negeri.
Sekedar informasi, menurut kalkulasi yang dilakukan oleh fakultas-fakultas di
lingkungan UGM, pada tahun 2003 biaya pendidikan rata-rata adalah Rp. 11 juta per
mahasiswa per tahun. Biaya pendidikan ini tidak mungkin dibebankan sepenuhnya
kepada mahasiswa. Pada Tahun Akademik 2003, rata-rata SPP dan BOP yang
dibebankan pada mahasiswa adalah antara Rp. 0,5 – 0,75 juta per semester atau antara
Rp. 1 – 1,5 juta per tahun, Selisihnya disubsidi oleh pemerintah dan universitas, sebesar
85 sampai 90 persen, tergantung fakultasnya. Subsidi tersebut diberikan kepada semua
mahasiswa tanpa memandang kemampuan ekonomi orang tua, padahal, 70 persen
mahasiswa UGM berasal dari keluarga mampu.
Kalau dibandingkan dengan biaya di perguruan tinggi yang lebih maju, memang biaya
pendidikan tinggi di negara kita relatif rendah. Kalau biaya pendidikan di UGM diberi
indeks 1, misalnya, di Universitas Malaysia indeks biaya pendidikan adalah 14, di
Universitas Nagoya, 19, di Universitas AMIS, Arab Saudi, sudah mencapai 29, dan di
state universities di Amerika mencapai 20-21. Perbedaannya begitu besar karena gaji
dosen di PT Indonesia hanya 1/20 gaji dosen di negara jiran. Universitas di sana pun
dilengkapi dengan fasilitas perpustakaan, fasilitas penelitian dan layanan telekomunikasi
dan interkoneksi jaringan internet yang amat baik. Semua fasilitas yang baik itu
memerlukan biaya yang besar. Karena gaji yang amat rendah, sebagian besar dosen di
PTN hanya bekerja satu dua hari di kampusnya dan sisanya pergi ke mana-mana mencari
tambahan pendapatan dengan menelantarkan tugas dan kewajibannya di kampus.
Fasilitas pun hanya tersedia sekadarnya sehingga tidak mampu mendukung kegiatan
akademik berkualitas tinggi.
Keempat, sebagai dosen IPB yang pernah menuntut ilmu di Negara Sakura, penulis tentu
faham sekali bahwa pendidikan tinggi berkualitas memerlukan biaya yang amat besar.
Jadi pasti mahal. Di negara yang berkemampuan ekonomi tinggi, Pemerintah lah yang
menanggung sebagian besar biaya pendidikan. Mahasiswa biasanya hanya menanggung
25-30 persen dari biaya pendidikan. Di negara kita, kontribusi masyarakat dalam
pembiayaan pendidikan hampir mencapai 20 persen, tetapi jangan lupa, biaya pendidikan
3
kita adalah 1/14 dari biaya di negara tetangga. Ini lah salah satu sebab utama rendahnya
kualitas akademik di PT kita.
Sebelum penulis menyimpulkan dan menyebarkan isu atas dasar informasi yang salah
kepada masyarakat, cobalah bandingkan biaya pendidikan di beberapa lembaga
pendidikan menengah atas dan PT. Apa biaya pendidikan yang dibebankan oleh UGM
memang outrageous? Jangan-jangan di IPB biayanya lebih tinggi. Lebih tidak
proporsional cara penulis membentuk opini public dengan menghubungkan diskusi
tentang biaya pendidikan di UGM dengan dua artikel yang dimuat di Kompas edisi 23
April. Kedua artikel tersebut membicarakan masalah berbeda yang tidak terkait sama
sekali dengan masalah pembiayaan pendidikan apalagi pendidikan tinggi. Sebagai
seorang ilmuwan seharusnya bung Winarso lebih teliti lah menggunakan referensi.
Jangan melakukan disinformasi kepada publik apalagi dengan tujuan sekedar mencari
popularitas.
Kelima, sebagai Ketua Komisi Pendidikan di lembaga pendidikan tinggi yang terhormat
mestinya penulis lebih teliti dalam menyampaikan informasi dan kalkulus pendidikannya
kepada publik. Entah apa motifnya, penulis dengan kadar subyektivitas yang tinggi
membuat konklusi yang menyesatkan publik. Hanya dengan berandai-andai, penulis
menyimpulkan bahwa PTN yang menyelenggarakan seleksi masuk secara mandiri dapat
memperoleh keuntungan sekitar 60 persen dari biaya seleksi masuk yang dipungutnya.
Dari mana penulis sampai pada kesimpulan tersebut, wallahualam. Padahal dalam
kenyataannya UGM dapat menyelenggarakan UM di 16 propinsi hanya karena dukungan
finansial dari para alumninya yang peduli. Kenyataannya, penyelengaraan SPMB dengan
biaya pendaftaran lebih tinggi selama bertahun-tahun hanya sanggup mencapai titik
impas.
Akhirnya, sebagai sesama warga kampus yang tahu sopan santun dan kode etik
penulisan, saya hanya mendoakan semoga bung Winarso selalu memiliki kejernihan
berfikir, lebih cerdas analisisnya dan lebih konstruktif usulannya. Hanya dengan cara
demikian kita dapat memberi kontribusi positif bagi pembangunan pendidikan tinggi.
Selamat merayakan Hardiknas.
Yogyakarta, 2 Mei 2003

PENDIDIKAN GRATIS

Pendidikan Gratis
Oleh : Prof Suyanto PhD

”PEMERINTAH dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.” (UU Sisdiknas Pasal 34, ayat (2). Inilah dasar hukum mengapa pendidikan dasar harus gratis, meskipun dalam UU Sisdiknas sendiri terminologi ‘gratis’ tidak dikenal.

Karena politisi dan para calon bupati/walikota dan bahkan calon gubernur kebanyakan telanjur menggunakan istilah pendidikan gratis ketika berkampanye untuk menduduki posisinya masing-masing, pendidikan gratislah yang paling menjadi terkenal beberapa tahun terakhir ini. Dan tiga tahun terakhir ini pendidikan gratis banyak dikumandangkan untuk berkampanye para politisi, bupati/walikota dan bahkan gubernur dalam rangka merebut simpati para pemilihnya.

Tak satu pun para pejabat publik yang harus dipilih oleh rakyat secara langsung yang tidak memanfaatkan tema pendidikan murah dan bahkan pendidikan gratis sekali pun.

Namanya juga janji. Ada yang ketika mereka benar-benar menjadi pejabat publik, kemudian langsung memenuhinya dan juga ada yang tidak peduli sama sekali. Mereka yang memenuhi kemudian memang memiliki political will dan dengan demikian mengalokasikan dana dari APBD mereka untuk menggratiskan wajib belajar (wajar) pendidikan dasar di daerah kekuasaannya. Pada konteks seperti ini, pendidikan gratis bisa berjalan dengan wajar sehingga sekolah masih memiliki cukup sumber daya untuk berkembang dan melakukan inovasi yang memerlukan biaya. Dalam konteks seperti ini sekolah tidak dipasung dengan utopia pendidikan gratis. Dengan demikian ketika pemda sanggup menambahi dana untuk membiayai operasional sekolah maka sekolah masih memiliki ruang untuk melakukan peningkatan kualitas pendidikan di sekolahnya masing-masing.

Sebaliknya, bagi para bupati/walikota atau gubernur yang tidak menepati janji kampanyenya, isu pendidikan gratis justru hanya membelenggu sekolah sebagai akibat minimnya pendanaan operasional di sekolah pada jenjang pendidikan dasar yang menjadi sasaran wajib belajar. Mereka, para bupati/walikota dan gubernur yang masuk golongan ini hanya mengandalkan besarnya subsidi dari pemerintah pusat yang sebenarnya sejak awal didesain hanya untuk membantu pemerintah daerah.

Sekali lagi dana dari pemerintah pusat itu hanyalah bantuan. Karena hanya bantuan, maka namanya pun juga menjadi: Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Besaran BOS sebenarnya selama ini hanya cukup untuk menutup biaya operasional sekolah sebesar sepertiga saja. Kecuali, di sekolah dasar di desa-desa, memang BOS sudah bisa menutup semua biaya operasional sekolah. Namun, untuk sekolah yang berada di kota tidak cukup BOS untuk menutup semua biaya operasional sekolah.

Kelompok pemda yang hanya mengandalkan BOS dari pemerintah pusat untuk menepati janji akan melaksanakan pendidikan dasar gratis inilah yang menjadi persoalan. Sekolah sudah telanjur tidak boleh memungut sumbangan dari masyarakat, sedang pemda sendiri tidak mengalokasikan sejumlah dana untuk membiayai biaya operasional sekolah berdampingan dengan BOS dari pemerintah pusat. Akibatnya kualitaslah yang menjadi korban di sekolah-sekolah yang diklaim pemda harus gratis itu.

Tahun 2009 akan lain skema pendidikan gratisnya. Pemerintah pusat menaikkan jumlah BOS secara signifikan. Tahun 2008 BOS untuk SD hanya Rp 254.000 per siswa per tahun. Tahun 2009 BOS dinaikkan menjadi Rp 397.000 per siswa per tahun untuk SD di kabupaten. Untuk SD di perkotaan BOS tahun 2009 besarnya Rp 400.000. Untuk SMP, BOS tahun 2008 hanya sebesar Rp 354.000 tahun 2009 BOS SMP akan naik menjadi Rp 570.000 per siswa per tahun untuk daerah kabupaten dan Rp 575.000 per siswa per tahun untuk daerah perkotaan. Jumlah kenaikan itu sudah termasuk untuk beli buku murah yang hak ciptanya sudah dibeli oleh Depdiknas.

Dengan jumlah BOS yang naik itu pemerintah telah menganggarkan Rp 16 triliun untuk membiayai biaya operasional pendidikan dasar. Karena itu tahun 2009 semua pendidikan dasar yang belum berada pada tingkatan mutu layanan berbentuk rintisan sekolah berstandar internasional atau sekolah berstandar internasional wajib menggratiskan para siswa dari pungutan untuk biaya operasional. Jika saja BOS dari pemerintah pusat belum mencukupi, maka pemerintah daerah wajib mengompensasi kekurangannya itu.

Di sinilah letak komitmen para kepala daerah apakah mereka taat asas pada janji kampanyenya dulu. Semestinya pemerintah daerah bersedia menyediakan alokasi anggaran tambahan untuk menggratiskan siswa dari pungutan biaya operasional paling tidak separuhnya dari besaran BOS yang digelontorkan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah hendaknya tidak hanya berpegang pada persentase alokasi APBD di sektor pendidikan di daerahnya setelah Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas mengalami perubahan rumusan alokasi yang memasukkan faktor gaji guru, sesuai dengan uji materi UU Sisdiknas oleh Mahkamah Konstitusi. Setelah gaji guru dihitung sebagai pembiayaan pendidikan maka saat ini hampir semua pemda tanpa berbuat apa-apa pun telah memiliki alokasi lebih dari 20% dari APBD-nya untuk sektor pendidikan. Padahal dari persentase itu sebagian besar memang untuk gaji. Alhasil biaya untuk operasional sekolah masih di bawah 20% dari APBD.

Kalau pemerintah pusat sudah menggelontorkan uang paling tidak Rp 16 triliun, maka komitmen yang sama juga harus muncul dari pemda di seluruh tanah air. Tanpa ada komitmen yang jelas dari pemda untuk menggratiskan pendidikan dasar, mustahil pendidikan gratis akan disertai dengan peningkatan kualitas. Karena itu pemda memang perlu untuk mengalokasikan APBD-nya secara signifikan untuk mewujudkan pendidikan gratis yang berkualitas. Tanpa begitu akan lahir pendidikan gratis tanpa kualitas. Semoga.

(Penulis adalah Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta, Dirjen Manajemen Dikdasmen Depdiknas).-z

Kamis, 12 Februari 2009

CETAK BIRU BIAYA PENDIDIKAN

CETAK BIRU BIAYA PENDIDIKAN
Oleh: Donny Syofyan

Biaya pendidikan merupakan komponen sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Dapat dikatakan bahwa proses pendidikan tidak dapat berjalan tanpa dukungan biaya. Dalam konteks perencaaan pendidikan, pemahaman tentang anatomi dan problematik pembiayaan pendidikan amat diperlukan. Berdasarkan pemahaman ini dapat dikembangkan kebijakan pembiayaan pendidikan yang lebih tepat dan adil serta mengarah pada pencapaian tujuan pendidikan, baik tujuan yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif.
Pemahaman mendetail tentang anatomi pembiayaan pendidikan pada tingkat mikro (satuan pendidikan ) telah dirasakan kepentingannya sejak lama, seringkali pengambil keputusan mengalami kesulitan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkannya tentang masalah ini. kebutuhan tersebut dirasakan kian mendesak sejak dimulainya pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 2001 yang juga meliputi bidang pendidikan. Isu ini menjadi kritis seputar pertanyaan: mengapa pemerintah mesti menaiikkan biaya pendidikan, berapa besar tanggung jawab pemerintah dibanding keluarga dan masyarakat dan siapa yang layak mendapatkan subsidi pemerintah?
Memang telah cukup banyak studi yang dilakukan tentang pembiayaan pendidikan di Indonesia, namun studi-studi tersebut lebih banyak berkutat pada tataran makro (nasional), tanpa banyak menyentuh tingkat satuan pendidikan (sekolah). Fokusnya pun lebih pada anggaran pemerintah atau "berbasis dana pemerintah" baik di tingkat pusat maupun daerah, dengan siswa. Sementara itu, pemerintah senantiasa mengundang masyarakat/keluarga untuk berperan serta lebih besar dalam pembiayaan pendidikan, tanpa pengetahuan yang memadai tentang berapa besar selama ini mereka telah memberikan kontribusi dimaksud. Dapat dikatakan bahwa belum banyak studi tentang pembiayaan pendidikan yang berbasis "dana masyarakat dan keluarga" di tingkat sekolah, sehingga kontribusi sumber dana ini cenderung diabaikan.
Buku yang ditulis oleh prof. dr. dedi supriadi ini mengisi kelangkaan informasi tentang satuan biaya pendidikan dan keluarga siswa hasilnya diharapkan dapat membantu para pengambil keputusan di berbagai tingkatan serta para peneliti dan masyarakat umumnya yang tertarik pada persoalan ini, terutama pada era otonomi daerah dan era manajemen berbasis sekolah dewasa ini. sasaran studi ini dibatasi pada sekolah-sekolah negeri pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Dengan jumlah sampel 500 sekolah, terdiri atas 200 SDN, 150 SLTPN, 100 SMUN, dan 50 SMKN di enam propinsi (Sumatra Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Bali, dan Kalimantan Barat). Di samping itu, dijaring pula data dari 3000 siswa SLTPN, SMUN, dan SMKN.
Salah satu temuan penting dari studi ini ialah tingginya peranan keluarga dalam pembiayaan pendidikan, bahkan bila dihitung dari biaya total per siswa, sumbangan keluarga jauh lebih tinggi dibanding dengan subsidi pemerintah. Ditemukan pula berbagai kecenderungan yang berbeda antarpropinsi, lokasi sekolah, jenjang/jenis pendidikan, dan status sosial ekonomi keluarga. Hasil studi yang mewakili keadaan riil di tingkat sekolah ini mempunyai implikasi yang luas terhadap kebijakan pembiayaan pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota maupun satuan pendidikan.
Pendidikan dalam operasionalnya tidak dapat dilepaskan dari masalah biaya. Biaya pendidikan yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan pendidikan tidak akan tampak hasilnya dalam waktu relatif singkat. Karenanya, uang yang dikeluarkan pemerintah, masyarakat, atau orang tua untuk menghasilkan pendidikan bagi anaknya harus dipandang sebagai investasi. Uang yang dikeluarkan di bidang pendidikan sebagai bentuk investasi pada periode tertentu, di masa akan datang mesti dapat menghasilkan keuntungan (benefit), baik dalam bentuk finansial (balas jasa atas produktifitas kerja) atau nonfinansial (meningkatkan kesehatan, keamanan, ketertiban masyarakat, baik dari aspek individu, sosial, maupun ekonomi).
CETAK BIRU BIAYA PENDIDIKAN
Oleh: Donny Syofyan

Biaya pendidikan merupakan komponen sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Dapat dikatakan bahwa proses pendidikan tidak dapat berjalan tanpa dukungan biaya. Dalam konteks perencaaan pendidikan, pemahaman tentang anatomi dan problematik pembiayaan pendidikan amat diperlukan. Berdasarkan pemahaman ini dapat dikembangkan kebijakan pembiayaan pendidikan yang lebih tepat dan adil serta mengarah pada pencapaian tujuan pendidikan, baik tujuan yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif.
Pemahaman mendetail tentang anatomi pembiayaan pendidikan pada tingkat mikro (satuan pendidikan ) telah dirasakan kepentingannya sejak lama, seringkali pengambil keputusan mengalami kesulitan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkannya tentang masalah ini. kebutuhan tersebut dirasakan kian mendesak sejak dimulainya pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 2001 yang juga meliputi bidang pendidikan. Isu ini menjadi kritis seputar pertanyaan: mengapa pemerintah mesti menaiikkan biaya pendidikan, berapa besar tanggung jawab pemerintah dibanding keluarga dan masyarakat dan siapa yang layak mendapatkan subsidi pemerintah?
Memang telah cukup banyak studi yang dilakukan tentang pembiayaan pendidikan di Indonesia, namun studi-studi tersebut lebih banyak berkutat pada tataran makro (nasional), tanpa banyak menyentuh tingkat satuan pendidikan (sekolah). Fokusnya pun lebih pada anggaran pemerintah atau "berbasis dana pemerintah" baik di tingkat pusat maupun daerah, dengan siswa. Sementara itu, pemerintah senantiasa mengundang masyarakat/keluarga untuk berperan serta lebih besar dalam pembiayaan pendidikan, tanpa pengetahuan yang memadai tentang berapa besar selama ini mereka telah memberikan kontribusi dimaksud. Dapat dikatakan bahwa belum banyak studi tentang pembiayaan pendidikan yang berbasis "dana masyarakat dan keluarga" di tingkat sekolah, sehingga kontribusi sumber dana ini cenderung diabaikan.
Buku yang ditulis oleh prof. dr. dedi supriadi ini mengisi kelangkaan informasi tentang satuan biaya pendidikan dan keluarga siswa hasilnya diharapkan dapat membantu para pengambil keputusan di berbagai tingkatan serta para peneliti dan masyarakat umumnya yang tertarik pada persoalan ini, terutama pada era otonomi daerah dan era manajemen berbasis sekolah dewasa ini. sasaran studi ini dibatasi pada sekolah-sekolah negeri pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Dengan jumlah sampel 500 sekolah, terdiri atas 200 SDN, 150 SLTPN, 100 SMUN, dan 50 SMKN di enam propinsi (Sumatra Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Bali, dan Kalimantan Barat). Di samping itu, dijaring pula data dari 3000 siswa SLTPN, SMUN, dan SMKN.
Salah satu temuan penting dari studi ini ialah tingginya peranan keluarga dalam pembiayaan pendidikan, bahkan bila dihitung dari biaya total per siswa, sumbangan keluarga jauh lebih tinggi dibanding dengan subsidi pemerintah. Ditemukan pula berbagai kecenderungan yang berbeda antarpropinsi, lokasi sekolah, jenjang/jenis pendidikan, dan status sosial ekonomi keluarga. Hasil studi yang mewakili keadaan riil di tingkat sekolah ini mempunyai implikasi yang luas terhadap kebijakan pembiayaan pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota maupun satuan pendidikan.
Pendidikan dalam operasionalnya tidak dapat dilepaskan dari masalah biaya. Biaya pendidikan yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan pendidikan tidak akan tampak hasilnya dalam waktu relatif singkat. Karenanya, uang yang dikeluarkan pemerintah, masyarakat, atau orang tua untuk menghasilkan pendidikan bagi anaknya harus dipandang sebagai investasi. Uang yang dikeluarkan di bidang pendidikan sebagai bentuk investasi pada periode tertentu, di masa akan datang mesti dapat menghasilkan keuntungan (benefit), baik dalam bentuk finansial (balas jasa atas produktifitas kerja) atau nonfinansial (meningkatkan kesehatan, keamanan, ketertiban masyarakat, baik dari aspek individu, sosial, maupun ekonomi).

Selasa, 10 Februari 2009

tugazzz makul nech

ARTIKEL PEMBIAYAAN PENDIDIKAN
Pembiayaan Pendidikan Tinggi
Hingga kini pemerintah baru mengalokasikan 9-10 persen APBN, dari ketentuan konstitusi 20 persen, untuk pendanaan pendidikan, di luar gaji guru/dosen.
Namun, distribusi dana yang telah dianggarkan bagi pendidikan (dasar-menengah-tinggi) itu harus ditelusuri agar jelas secara publik.
Di tengah rusaknya ribuan ruang kelas SD-SMP dan peningkatan angka buta huruf (Kompas, 13-14/8/2007), distribusi alokasi dana bagi pembiayaan pendidikan tinggi (PT) penting didiskusikan. Seberapa perlu anggaran untuk PT? Adakah proyeksi pemerintah bagi pengembangan PT?
Partisipasi
Sejak merdeka, negara-negara berkembang seperti Indonesia mengalami kenaikan partisipasi PT penduduk usia 17-24 tahun. Penyebabnya adalah lulusan sekolah menengah meningkat, terbuka peluang bagi wanita, meluasnya sektor swasta. Namun, selama dekade terakhir di sebagian Asia, kenaikan angka partisipasi terhambat krisis ekonomi.
Mengutip Psacharopoulos (1991), angka partisipasi PT rata-rata 7,4 persen di negara berkembang (1987), meningkat dari 2,1 persen (1960). Angka itu lebih kecil dibandingkan dengan negara maju, 34,1 persen (1987), meningkat dari 13,5 persen (1960).
Di Asia angka partisipasinya 7,3 persen (1987), berbanding 2,6 persen (1960), lebih tinggi daripada Afrika 4,3 persen (1987) dan 0,7 persen (1960).
Tahun 2002 angka partisipasi 10 persen untuk negara berkembang di Asia dan kurang dari 10 persen di Afrika, jauh di bawah negara maju yang hampir 50 persen (Mohamedbhai, 2002).
Keterbatasan dana?
Meski partisipasi penduduk meningkat, negara berkembang pascakolonial menghadapi dilema pembiayaan PT karena secara bersamaan harus meluaskan akses pendidikan dasar dan menengah. Selvaratnam (1988) mengatakan, keterbatasan dana(!) menjadi masalah utama negara berkembang memperluas akses PT bagi rakyatnya.
Dalam situasi demikian, lembaga donor mendesakkan skema pinjaman bersyarat. Pertama, pendidikan dasar dijadikan prioritas alokasi dana pinjaman. Kedua, subsidi PT dicabut.
Menurut Psacharopoulos, privatisasi PT meningkatkan efisiensi dan mengurangi ketidakadilan karena kenyataannya subsidi PT lebih banyak dinikmati orang kaya. Tetapi menurut Mohamedbhai, pencabutan subsidi dan privatisasi PT di negara berkembang menurunkan partisipasi masyarakat karena tingginya biaya kuliah.
Jika partisipasi warganya berkurang, peluang negara berkembang mengatasi ketertinggalan ilmu dan teknologi dari negara maju kian kecil dan kesenjangan membesar. Masih menurut Mohamedbhai, ketertinggalan dapat diatasi jika partisipasi itu minimum 20 persen.
Singkatnya, negara berkembang menghadapi dilema antara memprioritaskan pembiayaan pendidikan dasar-menengah atau meluaskan akses PT. Pertanyaannya, benarkah dilema disebabkan keterbatasan dana?
Proyeksi pengembangan
Di negeri sekaya Indonesia, dana melimpah ruah dari sumber alam. Namun, seperti dinyatakan berbagai pihak (Kompas, 15-16/ 8/2007), lemahnya visi dan komitmen pemerintah menghalangi proyeksi pengembangan pendidikan secara integral.
Seberapa jauh pembiayaan PT diproyeksikan sebagai “lokomotif ekonomi”, belum jelas terjabarkan dalam cetak biru strategi pendidikan. Selain itu, visi pembangunan ekonomi yang diterjemahkan dalam pengembangan PT masih samar-samar.
Mengingat anggaran negara, pemerintah seharusnya memiliki proyeksi pemberdayaan PT secara nasional. Diperlukan orientasi besar agar sumber daya kolektif yang dituju dan dihasilkan PT efektif memajukan perekonomian dan sektor publik.
Secara khusus, keterlibatan Kementerian Negara Riset dan Teknologi dalam pengembangan dan pembiayaan PT bersama Direktorat Pendidikan Tinggi amat diperlukan. Selain memperkuat visi pengembangan PT, sinergi ini mengurangi beban pendanaan sehingga anggaran Departemen Pendidikan Nasional dapat dialokasikan untuk pendidikan dasar-menengah.
Kerusakan infrastruktur dan pembiayaan SD-SMP harus menjadi prioritas anggaran pemerintah. Meski demikian, subsidi PT tidak boleh ditangguhkan kalau kita tidak ingin semakin tertinggal dari negara lain.
Belajar dari kasus Kabupaten Jembrana (Kompas, 16/8/2007), pemerintah harus menutup keterbatasan dana dengan kekuatan visi, komitmen, dan strategi kebijakan anggaran yang cerdas.
Agus Suwignyo Alumnus Universitas Amsterdam
(Kompas, 29 Agustus 2007)

HALOW... TEZZZ TEZZZ BARU BUAT BLOG NECH

Asalamualaikum...
tez tez numpang lewat pengumuman baru jadi nech blog gw...
ni juga kepepet gara gara tugaz