Selasa, 21 April 2009

KEGAGALAN GURU DALAM MELAKUKAN EVALUASI SETIAP AKHIR PROSES

KEGAGALAN GURU DALAM MELAKUKAN EVALUASI SETIAP AKHIR PROSES
PEMBELAJARAN DALAM KELAS

Kalau kita perhatikan dunia pendidikan, kita akan mengetahui bahwa setiap jenis atau bentuk pendidikan pada waktu- waktu tertentu selama satu periode pendidikan, selalu mengadakan evaluasi. Artinya pada waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan, selalu mengadakan penilaian terhadap hasil yang telah dicapai, baik oleh pihak terdidik maupun oleh pendidik. Demikian pula dalam satu kali proses pembelajaran, guru hendaknya menjadi seorang evaluator yang baik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah tujuan yang telah dirumuskan itu tercapai atau belum, dan apakah materi pelajaran yang diajarkan sudah tepat. Semua pertanyaan tersebut akan dapat dijawab melalui kegiatan evaluasi atau penilaian.

Dengan menelaah pencapaian tujuan pengajaran, guru dapat mengetahui apakah proses belajar yang dilakukan cukup efektif memberikan hasil yang baik dan memuaskan atau sebaliknya. Jadi jelaslah bahwa guru hendaknya mampu dan terampil melaksanakan penilaian, karena dengan penilaian guru dapat mengetahui prestasi yang dicapai oleh siswa setelah ia melaksanakan proses belajar. Dalam fungsinya sebagai penilai hasil belajar siswa, guru hendaknya terus menerus mengikuti hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa dari waktu ke waktu. Informasi yang diperoleh melalui evaluasi ini merupakan umpan balik (feed back) terhadap proses belajar mengajar. Umpan balik ini akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan proses belajar mengajar selanjutnya. Dengan demikian proses belajar mengajar akan terus dapat ditingkatkan untuk memperoleh hasil yang optimal.

Khusus untuk mata pelajaran matematika hampir semua guru telah melaksanakan evaluasi di akhir proses belajar mengajar di dalam kelas. Namun hasil yang diperoleh kadang-kadang kurang memuaskan. Kadang-kadang hasil yang dicapai dibawah standar atau di bawah rata-rata. Pada mata pelajaran yang lainnya kadang dilaksanakan pada akhir pelajaran, dan ada juga pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Kapan waktu pelaksanaan evaluasi tersebut tidak menjadi masalah bagi guru yang penting dalam satu kali pertemuan ia telah melaksanakan penilaian terhadap siswa di kelas. Tetapi ada juga guru yang enggan melaksanakan evaluasi di akhir pelajaran, karena keterbatasan waktu, menurut mereka lebih baik menjelaskan semua materi pelajaran sampai tuntas untuk satu kali pertemuan, dan pada pertemuan berikutnya di awal pelajaran siswa diberi tugas atau soal-soal yang berhubungan dengan materi tersebut.

Ada juga guru yang berpendapat, bahwa penilaian di akhir pelajaran tidak mutlak dengan tes tertulis. Bisa juga dengan tes lisan atau tanya jawab. Kegiatan dirasakan lebih praktis bagi guru, karena guru tidak usah bersusah payah mengoreksi hasil evaluasi anak. Tetapi kegiatan ini mempunyai kelemahan yaitu anak yang suka gugup walaupun ia mengetahui jawaban dari soal tersebut, ia tidak bisa menjawab dengan tepat karena rasa gugupnya itu. Dan kelemahan lain tes lisan terlalu banyak memakan waktu dan guru harus punya banyak persediaan soal. Tetapi ada juga guru yang mewakilkan beberapa orang anak yang pandai, anak yang kurang dan beberapa orang anak yang sedang kemampuannya utnuk menjawab beberapa pertanyaan atau soal yang berhubungan dengan materi pelajaran itu.

Cara mana yang akan digunakan oleh guru untuk evaluasi tidak usah dipermasalahkan, yang jelas setiap guru yang paham dengan tujuan dan manfaat dari evaluasi atau penialaian tersebut. Karena ada juga guru yang tidak mengiraukan tentang kegiatan ini, yang penting ia masuk kelas, mengajar, mau ia laksanakan evaluasi di akhir pelajaran atau tidak itu urusannya. Yang jelas pada akhir semester ia telah mencapai target kurikulum.Akhir-akhir ini kalau kita teliti di lapangan, banyak guru yang mengalami kegagalan dalam melaksanakan evaluasi di akhir pelajaran. Hal ini tentu ada faktor penyebabnya dan apakah cara untuk mengatasinya.Penulisan makalah kritikan ini bertujuan untuk mengkritik kegagalan persekolah oleh guru dalam melakukan evaluasi di akhir pelajaran. Mencari faktor penyebabnya dan cara untuk mengatasinya.

Dalam makalah kritikan ini pembatasan masalahnya adalah :
- Kondisi permasalahan evaluasi di akhir pelajaran dipersekolahan pada saat ini
- Telaah teori/pendapat ahli
- Kegagalan pelaksanaan evaluasi di akhir pelajaran

Kesimpulan kritikan dan saran
Menurut Drs. Moh. Uzer Usman dalam bukunya (Menjadi Guru Profesional hal 11) menyatakan bahwa :
Tujuan penilaian adalah :
1. Untuk mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan
2. Untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pelajaran
3. Untuk mengetahui ketepatan metode yang digunakan
4. Untuk mengetahui kedudukan siswa di dalam kelompok/kelas
5. Untuk mengaklasifikasikan seorang siswa apakah termasuk dalam kelompok yang pandai, sedang, kurang atau cukup baik dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya.
Dan menurut buku Mengukur Hasil Belajar (hal 72-74) yang di susun oleh Drs. Azhari Zakri menyatakan evaluasibermanfaat bagi guru untuk :
1.Mengukur kompetensi atau kapabalitas siswa, apakah mereka telah merealisasikan tujuan yang telah ditentukan.
2.Menentukan tujuan mana yang belum direalisasikan sehingga dapat menentukan tindakan perbaikan yang cocok yang dapat diadakan
3.Memutuskan ranking siswa, dalam hal kesuksesan mereka mencapai tujuan yang telah disepakati.
4.Memberikan informasi kepada guru tentang cocok tidaknya strategi mengajar yang digunakan.
5.Merencanakan prosedur untuk memperbaiki rencana pengajaran dan menentukan apakah sumber belajar tambahan perlu digunakan.
6.Memberikan umpan balik kepada kita informasi bagi pengontrolan tentang sesuai tidaknya pengorganisasian belajar dan sumber belajar.
7. Mengetahui dimana letak hambatan pencapaian tujuan tersebut.
Atas dasar ini, faktor yang paling penting dalam evaluasi itu bukan pada pemberian angka. Melainkan sebagai dasar feed back (catu balik). Catu balik itu sendiri sangat penting dalam rangka revisi. Sebab proses belajar mengajar itu kontinyu, karenanya perlu selalu melakukan penyempurnaan dalam rangkan mengoptimalkan pencapaian tujuan.

Bila evaluasi merupakan catu balik sebagai dasar memperbaiki sistem pengajaran, sesungguhnya pelaksanaan evaluasi harus bersifat kontinyu. Setiap kali dilaksanakan proses pangajaran, harus dievaluasi (formatif). Sebaliknya bila evaluasi hanya dilaksanakan di akhir suatu program (sumatif) catu balik tidak banyak berarti, sebab telah banyak proses terlampaui tanpa revisi. Oleh karena itu, agar evaluasi memberi manfaat yang besar terhadap sistem pengajaran hendaknya dilaksanakan setiap kali proses belajar mengajar untuk suatu topik tertentu. Namun demikian evaluasi sumatif pun perlu dilaksanakan untuk pengembangan sistem yang lebih luas.

Dari tujuan dan manfaat evaluasi yang di atas, masih ada pendapat lain dari manfaat evaluasi seperti yang dikemukakan oleh Noehi Nasution dalam bukunya Materi Poko Psikologi Pendidikan hal 167, menjelaskan bahwa kegiatan penilaian tidak hanya untuk mengisi raport anak didik, tetapi juga untuk :
1. Menseleksi anak didik
2. Menjuruskan anak didik
3. Mengarahkan anak didik kepada kegiatan yang lebih sesuai denganpotensi yang dimilikinya.
4. Membantu orang tua untuk menentukan hal yang paling baik untuk anaknya, untuk membina dan untuk mempersiapkan dirinya untuk masa depan yang lebih baik.

Dari tujuan dan manfaat evaluasi yang telah diikemukakan oleh para ahli di atas, yang penting dengan mengadakan evaluasi sebagai guru dapat mengetahui kelemahan-kelemahan atau kekurangannya dalan menyampaikan materi pelajaran. Sehingga ia dapat menata kembali atau menggunakan strategi baru dalam proses pembelajaran sehingga akan mendapatkan hasil yang lebih baik dari sebelumnya. Di dalam telaah teori dan berdasarkan pendapat para ahli, telah mencantumkan tujuan serta manfaat evaluasi di akhir pelajaran. Selain menilai hasil belajar murid, evaluasi juga menilai hasil mengajar guru dengan kata lain, guru dapat menilai dirinya sendiri dimana kekurangan dan kelemahannya dalam mengajar, sehingga memperoleh hasil yang sesuai
dengan apa yang diharapkan.

Jika dalam suatu kegiatan belajar, tujuan sudah diidentifikasi, biasanya dapat disusun suatu ters atau ujian yang akan digunakan untuk menentukan apakah tujuan tersebut dicapai atau tidak. Mager pernah mengatakan bahwa jika kita mempelajari dengan teliti semua tahap yang telah dibicarakan sampai saat ini, maka siswa sudah harus dapat
melakukan apa yang telah direncanakan untuk mereka lakukan. Hasil dari penialaian dapat mendorong guru untuk memperbaiki keterampilan profesional mereka, dan juga membantu mereka mendapat pasilitas serta sumber belajar yang lebih baik.

Di dalam suatu tes belajar, sebagian besar nilai berdistribusi normal (yakni beberapa murid hasilnya baik, beberapa buruk, tetapi sebagian besar menunjukkan rata-rata). Dalam ter kriteria, sebagian tes berada di bagian atas. Hal ini lumrah, karena jika seorang guru memberikan tujuan yang berjumlah 10, misalnya, maka ia akan kecewa jika para siswa hanya merealisasikan 50% saja.

Tes dan ujian yang mengukur pencapaian tujuan, belum mendapat perhatian yang serius oleh guru dan instruktur, kecuali akhir-akhir ini. Program pendidikan dan latihan sebelum ini telah dianggap sudah berhasil tanpa perlu ada evaluasi. Sikap ini disebabkan oleh empat kesulitan utama yakni :
1. Tidak adanya kerangka konseptual yang sesuai bagi evaluasi.
2. Kurangnya ketepatan dalam perumusan tujuan dalam pendidikan
3. Kesulitan yang meliputi pengukuran pendidikan
4. Sifat program pendidikan itu sendiri.
Namun dengan adanya investasi besar-besaran dalam pendidikan, telah dirasakan kebutuhan akan suatu bentuk evaluasi.
Evaluasi dapat mengambil dua macam bentuk :
1. Ia dapat menilai cara mengajar seorang guru (dengan mengukur variabel-variabel seperti suatu kebiasaan-kebiasaan, humor, kepribadian, penggunaan papan tulis, teknik bertanya, aktivitas kelas, alat bantu audiovisual, strategi mengajar dan lain-lain.
2. Ia dapat menilai hasil belajar (yakni pencapaian tujuan belajar.
Selama ini guru mengadakan penilaian hanya untuk mencari angka atau nilai untuk anak didik. Apabila anak banyak memperoleh nilai dibawah 6 (enam), maka guru menganggap bahwa anak didiklah yang gagal dalam menyerap materi pelajaran atau materi pelajaran terlalu berat, sehingga sukar dipahami oleh anak. Kalau anak yang memperoleh nilai
dibawah 6 mencapai 50% dari jumlah anak, hal ini sudah merupakan kegagalan guru dalam melaksanakan evaluasi di akhir pelajaran.
Apa penyebab hal ini bisa terjadi ?
1. Guru kurang menguasi materi pelajaran.
Sehingga dalam menyampaikan materi pelajaran kepada anak kalimatnya sering terputus-putus ataupun berbelit-belit yang menyebabkan anak menjadi bingung dan sukar mencerna apa yang disampaikan oleh guru tersebut. Tentu saja di akhir pelajaran mareka kewalahan menjawab pertanyaan atau tidak mampu mengerjakan tugas yang diberikan. Dan akhirnya nilai yang diperoleh jauh dari apa yang diharapkan.
2. Guru kurang menguasai kelas,
Guru yang kurang mampu menguasai kelas mendapat hambatan dalam menyampaikan materi pelajaran, hal ini dikarenakan suasana kelas yang tidak menunjang membuat anak yang betul-betul ingin belajar menjadi terganggu.
3. Guru enggan mempergunakan alat peraga dalam mengajar.
Kebiasaan guru yang tidak mempergunakan alat peraga memaksa anak untuk berpikir verbal sehingga membuat anak sulit dalam memahami pelajaran dan otomatis dalam evaluasi di akhir pelajaran nilai anak menjadi jatuh.
4. Guru kurang mampu memotivasi anak dalam belajar sehingga dalam menyampaikan materi pelajaran, anak kurang menaruh perhatian terhadap materi yang disampaikan oleh guru, sehingga ilmu yang terkandung di dalam materi yang disampaikan itu berlalu begitu saja tanpa ada perhatian khusus dari anak didik.
5. Guru menyamaratkan kemampuan anak di dalam menyerap pelajaran.
Setiap anak didik mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menyerap materi pelajaran. Guru yang kurang tangkap tidak mengetahui bahwa ada anak didinya yang daya serapnya di bawah rata-rata mengalami kesulitan dalam belajar.
6. Guru kurang disiplin dalam mengatur waktu.
Waktu yang tertulis dalam jadwal pelajaran, tidak sesuai dengan praktek pelaksanaannya,. Waktu untuk memulai pelajaran selalu telat, tetapi waktu istirahat dan jam pulang selalu tepat atau tidak pernah telat.
7. Guru enggan membuat persiapan mengajar atau setidaknya menyusun langkah-langkah dalam mengajar, yang disertai dengan ketentuan-ketentuan waktu untuk mengawali pelajaran, waktu untuk kegiatan proses dan ketentuan waktu untuk akhir pelajaran.
8. Guru tidak mempunyai kemajuan untuk nemambah atau menimba ilmu misalnya membaca buku atau bertukar pikiran dengan rekan guru yang lebih senior dan profesional guna menambah wawasannya.
9. Dalam tes lisan di akhir pelajaran, guru kurang trampil mengajukan pertanyaan kepada murid, sehingga murid kurang memahami tentang apa yang dimaksud oleh guru.
10. Guru selalu mengutamakan pencapaian target kurikulum.
Guru jarang memperhatikan atau menganalisa berapa persen daya serap anak terhadap materi pelajaran tersebut

http://72.14.235.132/search?q=cache:2Vw0MBsT0O8J:lcc-ptc.com/index2.php%3Foption%3Dcom_content%26do_pdf%3D1%26id%3D168+evaluasi+pengajaran&cd=77&hl=id&ct=clnk&gl=id

PILIHAN PILIHAN DALAM EVALUASI

Pilihan-pilihan dalam evaluasi
Written by Sumardiono



Pendidikan di dalam model sekolah bersifat akademik. Walaupun di dalam pendidikan ada tujuan-tujuan yang bersifat intelektual (kognitif), sikap (afektif), dan ketrampilan/perbuatan (psiko-motorik); sebagian besar evaluasi yang digunakan di sekolah sangat menekankan aspek kognitif.




Sekolah sangat mengutamakan penguasaan terhadap pengetahuan dan informasi yang terkandung di dalam sebuah mata pelajaran. Alat pengujian yang biasanya digunakan di sekolah adalah tes tertulis.

Penilaian akademis model ujian tertulis sebenarnya disadari memiliki keterbatasan-keterbatasan. Tetapi, sampai saat ini model tersebut masih dianggap paling dapat digunakan secara massal untuk mengevaluasi dan membandingkan prestasi akademik siswa.

Berbeda dengan sekolah di mana penilaian terhadap siswa dilakukan secara terstandardisasi dan harus dijalani oleh seluruh siswa tanpa kecuali, praktisi homeschooling memiliki pilihan-pilihan. Praktisi homeschooling dapat memilih model-model penilaian yang paling sesuai dengan tujuan-tujuan homeschooling yang diselenggarakannya.

Model tidak terstruktur
Salah satu model tidak terstuktur (unstructured assesment) yang sering digunakan oleh praktisi homeschooling untuk mengevaluasi proses homeschooling adalah mengamati minat dan kesungguhan anak-anak mempelajari sebuah bidang/hal yang diminatinya. Jika anak memiliki passion dan kebahagiaan untuk mengetahui sebuah area secara kontinu, dapat dipastikan bahwa proses belajar sesungguhnya sedang terjadi.

Model tidak terstruktur lainnya yang sering digunakan adalah pengamatan terhadap sikap dan perilaku anak. Pengajaran mengenai moralitas/karakter biasanya melibatkan evaluasi semacam ini. Pengajaran ini tidak dapat dinilai melalui ujian teoritis karena yang dipentingkan bukan penguasaan teori, tetapi sikap yang lahir sehari-hari. Oleh karena itu, untuk mengevaluasi pengajaran moral/karakter yang lebih dapat digunakan adalah model pengamatan atas perilaku sehari-hari.

Selain pengamatan, model tidak terstuktur lain yang sering digunakan adalah mengobrol, diskusi, dan bertukar pendapat antara orangtua dan anak. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, orangtua dapat menggali pengetahuan, pendapat, dan sikap anak terhadap sebuah topik tertentu. Model ini dapat diterapkan secara informal yang memberikan peluang anak untuk menyatakan secara jujur mengenai pendapat-pendapatnya tanpa ada usaha untuk berpura-pura atau sekedar menyenangkan orang lain.


Model terstruktur
Model-model evaluasi yang lebih terstruktur antara lain adalah proyek, portofolio karya, dan jurnal.

Melalui proyek, orangtua dapat mengajarkan dan mengevaluasi proses belajar yang berhubungan dengan dunia nyata sehari-hari yang dekat dan diminati anak. Proyek akan membuat anak terlatih untuk menjalani proses sejak perencanaan, penyiapan logistik, hingga penyelesaiannya.

Jika anak memiliki minat dan ketrampilan yang berorientasi output, kumpulan portofolio dapat menjadi alat bantu untuk memantau perkembangan anak. Karya tulis, gambar, lukisan, foto, video, cerita, adalah sebagian diantara karya anak yang dapat dikumpulkan.

Selain itu, orangtua dan anak dapat membuat jurnal aktivitas sehari-hari yang dijalaninya. Kompleksitas jurnal disesuaikan dengan gaya orangtua dan anak. Yang penting, jurnal itu dapat menjadi catatan perkembangan anak dan proses yang dilakukan oleh orangtua.

http://www.sekolahrumah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1126&Itemid=200&ed=34

Senin, 20 April 2009

SISTEM EVALUASI TERHADAP PENGAJAR

Sistem Evaluasi Terhadap Pengajar
In Manajemen Sekolah, Penelitian Pendidikan, Serba-Serbi Jepang on Februari 20, 2009 at 2:57 pm
Sistem Evaluasi adalah sistem yang menjadi mutlak dalam proses belajar mengajar. Guru mengevaluasi kemampuan siswa adalah hal yang sudah biasa, tetapi siswa yang menilai pengajaran guru barangkali masih langka di negara kita.
Selama menjadi pengajar part time di sebuah lembaga bahasa yang cukup bonafid dengan cabang yang hampir ada di seluruh dunia, saya sudah 3 kali mendapatkan evaluasi. Saya memulai karir di sana dengan kritikan cara mengajar, disiplin waktu, dll yang kadang-kadang membuat saya ingin berhenti saja. Atasan saya kadang-kadang menempatkan saya di ruang bervideo dan mengamati cara mengajar. Tindakan ini semula menyakitkan tapi lama-lama saya bisa menerimanya dengan lapang dada, kritikannya cukup membangun. Siswa biasanya mengisi lembaran evaluasi yang tidak ditunjukkan kepada pengajar. Hasil total evaluasi dalam bentuk persentase hanya disampaikan kepada atasan secara langsung kepada pengajar. Berdasarkan hasil evaluasi yang diberikan oleh siswa dan atasan, maka jumlah jam dan kepercayaan untuk mengampu kelas akan ditentukan.
Saya juga mengajar di sebuah lembaga bahasa kecil dengan manajer yang sudah seperti bapak sendiri. Semula hanya satu siswa yang saya pegang yang kemudian bertambah menjadi dua, dan selanjutnya semakin bertambah. Saya senang mengajar mereka, dan saya lebih-lebih menjadi senang ketika mereka bersemangat dan senang belajar bahasa Indonesia. Banyak yang menjadi murid saya dalam jangka waktu yang lama. Kadang-kadang saya khawatir mereka menjadi bosan, tapi kelihatannya tidak,sebab mereka minta diajar setiap minggu. Penilaian di lembaga ini tidak berlangsung secara resmi, tetapi manajer biasanya menanyakan secara basa-basi kepada siswa dalam obrolan biasa tentang kelas yang diberikan oleh seorang pengajar.Dari situ biasanya manajer secara obrolan biasa juga menyampaikan kepada pengajar hasil penilaian siswa, misalnya : kelas anda menarik, atau karena banyak percakapan, murid-murid sangat senang. Tetapi kadang-kadang pula langsung memuji dan ujung-ujungnya biasanya mempercayakan setiap ada murid baru.
Di semua universitas di Jepang telah diberlakukan sistem evaluasi terhadap dosen yang dilakukan oleh mahasiswa. Sistem evaluasi ini sangat bermanfaat untuk memperbaiki pengajaran, tetapi kadang-kadang mahasiswa mengisinya dengan malas atau sangat dipengaruhi oleh senang tidaknya dia dengan pelajaran bersangkutan.
Ada 4 poin utama yang dinilai yaitu :
1. Partisipasi/Kehadiran/Keaktifan siswa dalam kuliah bersangkutan (ada 3 poin yang ditanyakan)
2. Tentang perkuliahan secara umum (ada 4 poin)
3. Tentang pengelolaan kelas, misalnya ketepatan waktu, keseriusan guru menegur siswa yang terlambat atau melakukan kejahilan di kelas, dll (ada 7 poin)
4. Penilaian secara umum (4 poin).
Dan ada kolom khusus untuk memberikan tanggapan bebas kepada dosen pengajar.
Hasil evaluasi seperti ini sangat bermanfaat bagi para pengajar. Saya biasanya memberikan lembaran khusus kepada mahasiswa untuk menulis apa saja tentang kelas yang saya pegang, sebab saya pikir akan lebih mudah mengetahui keinginan siswa dalam bentuk uraian daripada sekedar angka yang berupa persentasi.
Tetapi selain bentuk formal seperti itu, pernyataan langsung mahasiswa misalnya “kuliah Ibu menarik dan membuat saya ingin mengambilnya lagi semester depan” adalah juga bentuk evaluasi yang jujur.

http://murniramli.wordpress.com/2009/02/20/sistem-evaluasi-terhadap-pengajar/

EVALUASI PROGRAM PENGAJARAN

Artikel:Evaluasi Program Pengajaran

Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.Nama (Penulis): afdheeE-mail (Penulis): afdhee@yahoo.comSaya Mahasiswa di PekanbaruJudul: Evaluasi Program PengajaranTopik: EvaluasiTanggal: 15 Mei 2007

EVALUASI PROGRAM PENGAJARAN

Program pengajaran merupakan suatu rencana pengajaran sebagai panduan bagi guru atau pengajar dalam melaksnakan pengajaran. Agar pengajaran bisa berjalan dengan efektif dan efisien, maka perlu kiranya dibuat suatu program pengajaran. Program pengajaran yang dibuat oleh guru tidak selamanya bisa efektif dan dapat dilaksanakan dengan baik, oleh karena itulah agar program pengajaran yang telah dibuat yang memiliki kelemahan tidak terjadi lagi pada program pengajaran berikutnya, maka perlu diadakan evaluasi program pengajaran.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah: Apakah yang dimaksud dengan evaluasi program? mengapa evaluasi program perlu dilaksanakan? Apakah yang menjadi objek atau sasaran dari evaluasi? dan Bagaimanakah cara melaksanakan evaluasi program?

Menurut Arikunto (1999: 290) "Evaluasi program adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat keberhasilan program". Ada beberapa pengertian tentang program itu sendiri, diantaranya program adalah rencana dan kegiatan yang direncanakan dengan seksama. Jadi dengan demikian melakukan evaluasi program adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari kegiatan yang direncanakan.

Yang menjadi titik awal dari kegiatan evaluasi program adalah keingintahuan penyusun program untuk melihat apakah tujuan program sudah tercapai atau belum. Jika sudah tercapai bagaimana kualitas pencapaian kegiatan tersebut, jika belum tercapai bagaimanakah dari rencana kegiatan yang telah dibuat yang belum tercapai, apa sebab bagian rencana kegiatan tersebut belum tercapai, adakah factor lain yang mempengaruhi ketidakberhasilan program tersebut.

Untuk menentukan seberapa jauh target program sudah tercapai, yang menjadikan tolak ukur adalah tujuan yang sudah dirumuskan dalam tahap perencanaan kegiatan sebelumnya.

Sasaran evaluasi adalah untuk mengetahui keberhasilan suatu program. Sebagimana yang dikemukakan oleh Ansyar (1989: 134) bahwa ".evaluasi mempunyai satu tujuan utama yatu untuk mengetahui berhasil tidaknya suatu program" Guru adalah orang yang paling penting statusnya dala kegiatan belajar mengajar, karena guru memegang tugas yang amat penting, yaitu mengatur dan mengemudikan kegiatan kelas. Untuk membuat proses belajar mengajar lebih efektif maka tugas guru adalah menciptakan suasana kelas yang kondusif untuk pembelajara. Untuk menciptakan suasana kelas yang kondusif tersebut perlu dirancang program pengajaran. Berhasil tidaknya suatu program pengajaran, tentu tidak bisa diketahui begitu saja, tanpa adanya evaluasi program. Oleh karena itu evaluasi program perlu dilaksanakan oleh guru dalam rangka mengetahui seberapa jauh proram pengajaran telah berlangsung atau terlaksana, dan jika terlaksana seberapa baik pelaksanaan program tersebut. Pendek kata, evaluasi program dilaksanakan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari program pengajaran. Dalam melakukan evaluasi program, apanya dari program yang dievaluasi?
Input
Siswa adalah subjek yang menerima pelajaran. Ada siswa pandai, kurang pandai, dan tidak pandai. Setiap siswa mempunyai bakat intelektual, emosional, social yang berbeda. Oleh karena itu dalam pembuatan program pengajaran hendaknya guru juga perlu memperhatikan aspek-aspek individu tersebut. Secara umum, hal-hal yang ada pada siswa berpengaruh terhadap keberhasilan belajar.
Materi atau kurikulum
Di Indonesia, kurikulum berlaku secara nasional karena kita menganut system sentralisasi. Meskipun penyusunan dan pengembangan kurikulum sekolah sudah dilakukan secara cermat dan melibatkan banyak pihak, namun tidak mustahil bahwa di lapangan masih juga dijumpai kelemahan dan hambatan. Wilayah Indonesia yang sedemikian luas mengandung keragaman yang tidak sedikit. Itulah sebabnya guru perlu dibekali dengan kemampuan untuk melakukan evaluasi program, termasuk mengevaluasi materi kurikulum. Sasaran yang perlu dievaluasi dari komponen kurikulum ini anatara lain, kejelasan pedoman untuk dipahami, kejelasan materi yang terantum dalam GBPP, urutan penyajian materi, kesesuaian antara sumber yang disarankan dengan materi kurikulum dan sebagainya.
Guru
Guru merupakan komponen penting dalam kegiatan belajar mengajar. Guru adalah orang yang diberi kepercayaan untuk meciptakan suasana kelas yang kondusif untuk pembelajaran. Guru adalah manusia biasa yang mempunyai banyak keterbatasan. oleh karena itu untuk menutupi kelemahan guru perlu dilakukan pembinaan dan penataran dalmrangka melaksanakan pembelajaran
Metode atau pendekatan dalam mengajar
Berbeda dengan evaluasi terhadap kurikulum, evaluasi terhadap metode mengajar merupakan kegiatan guru untuk meninjau kembali tentang metode mengajar, pendekatan, atau strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam menyampaikan materi kurikulum kepada siswa. Metode mengajar adalah cara-cara atau teknik yang digunakan dalam mengajar. Sedangkan strategi pembelajaran menunjuk kepada bagaimana guru mengatur waktu pemenggalan penyajian, pemilihan metoda, pemilihan pendekatan dan sebagainya.
Sarana
Komponen lain yang perlu dievaluasi oleh guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar adalah sarana pendidikan, yanga meliputi alat pelajaran dan media pendidikan. Sebelum guru memulai kegiatan mengajar, bahkan sebelum atau sekurang-kurangnya pada waktu menyusun rencana mengajar, guru telah memilih alat yang kira-kira dapat membantu melancarkan dan memperjelas konsep yang diajarkan. Selain guru, mungkin siswa juga dapat dijadikan titik tolak dalam menentukan apakah sarana yang digunakan di dalam kegiatan belajar mengajar sudah tepat. Mungkin saja pada waktu menentukan alat pelajaran guru berpikir bahwa pilihannya sudah tepat. Tetapi ternyata di dalam praktek pelaksanaan pengajaran, alat tersebut ternyata kurang atau sama sekali tidak tepat. Proses pengajarannya tidak menjadi semakin lancar, tetapi mungkin bahkan kacau balau. Apabila guru menjumpai dalam mengajar atau ketidak berhasilan siswa dengan nilai rendah-rendah, ia dapat mecoba mengadakan evaluasi terhadap sarana yang digunakan. Sasaran evaluasi yang berkenaan antara lain kelengkapannya, ragam jenisnya, modelnya, kemudahannya untuk digunakan, mudah dan sukarnya diperoleh, kecocokan dengan materi yang diajarkan, jumlah persediaan dibandingkan dengan banyaknya siswa yang memerlukan.f. Lingkungan
Ada dua macam lingkungan, yaitu lingkungan manusia dan lingkungan bukan manusia. Yang dapat digolongkan sebagai lingkungan masukan lingkungan manusia bukan hanya bukan hanya kepala sekolah, guru-guru, dan pegawai tata usaha di sekolah itu, tetapi siapa saja yang dengan atau tidak sengaja berpengaruh terhadap tingkat hasil belajar siswa. Sedangkan yang dimaksudkan dengan lingkungan bukan manusia adalah segala hal yang berada di lingkungan siswa yang secara langsung maupun tidak, berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Yang termasuk kategori lingkungan bukan manusia misalnya suasana sekolah, halaman sekolah, keadaan gedung dan sarana lain. Pengaruh lingkungan bukan manusia dapat positif maupun negative. Tatanan perabot kelas yang rapi dapat berpengaruh terhadap kesejukan suasana sehingga siswa dapat belajar dengan tenteram. Sebaliknya suasana yang gaduh di luar kelas dapat mengganggu konsentrasi siswa dan menyebabkan siswa tidak dapat seperti yang diharapkan.

Apabila guru ingin melakukan evaluasi program dengan lebih seksama, terlebih dahulu hendaknya menyusun rencana evaluasi sekaligus menyusun instrument pengumpulan data. Instrument pengumpulandat bisa berupa angket, pedoman wawancara, pedoman pengamatan dan lain sebagainya. Sebagai cara yang paling sederhana adalah menagadakan pendekatan terhadap peristiwa yang dialami sehari-hari di kelas.

Untuk mengevaluasi progam seorang guru tidak perlu dibebani secara sistematis sebagaimana layaknya seorang peneliti. Akan tetapi guru cukup membuat acuan singkat dan sederhana yang disusun dalm bentuk pertanyaan. Dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut guru akan memperoleh umpan terhadap apa yang dilakukan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan objek atau sasaran evaluasi program yang meliputi keenam aspek tersebut di atas.

Pengajaran dan pembelajaran adalah merupakan suatu aktivitas yang dilaksanakan oleh seorang guru. Agar program pengajaran yang telah dilaksanakan itu baik atau tidak perlu dilaksanakan suatu penilaian, yang sering dikenal dengan evaluasi program pengajaran. Evaluasi program pengajaran ini meliputi 1) Input (masukan), 2) materi atau kurikulum, 3) Guru, 4) Metode atau pendekatan dalam mengajar, 5) Sarana: alat pelajaran ata media pendidikan, 6) lingkungan.

http://re-searchengines.com/afdhee5-07.html

Sabtu, 11 April 2009

Senin, 06 April 2009

KURIKULUM / SILABUS BERDIFERENSIASI

Judul: KURIKULUM / SILABUS BERDIFERENSIASI
Bahan ini cocok untuk Sekolah Lanjutan TP bagian KURIKULUM / CURRICULUM.
Nama & E-mail (Penulis): Imam Wibawa Mukti,S.Pd
Saya Guru di SMP Taruna Bakti bandung
Topik: SILABUS BERDIFERENSIASI
Tanggal: 19 September 2008

Ketika berbicara program akselerasi maka yang terbayang dalam benak guru atau masyarakat adalah beratnya beban kurikulum yang akan ditanggung siswa karena waktu beajar yang relatif singkat yaitu 2 tahun. Ada dua hal yang menyebabkan sangkaan itu berkembang, baik dari pihak guru maupun dari pihak orang tua, pertama adalah kurang pahamnya guru atau orangtua tentang potensi yang dimiliki siswa dimana sebenarnya siswa dengan potensi cerdas istimewa memiliki kapasitas atau kemampuan diatas rata-rata teman sebaya mereka, kedua adalah belum pahamnya guru atau orang tua tentang kurikulum bagi siswa cerdas istimewa yang biasa disebut dengan kurikulum berdiferensiasi.
Pengembangan kurikulum ini tidak boleh terlepas dari prinsip dan tahapan-tahapan baku yang harus dilakukan dalam menyusun silabus secara umum di program reguler. Dengan demikan tidak ada hal yang menjadikan siswa akselerasi memiliki jurang kompetensi dengan siswa lainnya.Dalam tulisan ini, penulis hanya akan sedikit membahas yang berhubungan dengan penyusunan silabus atau kurikulum berdiferensiasi.

A.KURIKULUM BERDIFERENSIASI
Kurikulum atau silabus berdiferensiasi adalah kurikulum nasional dan lokal yang dimodifikasi dengan penekanan pada materi esensial dan dikembangkan melalui sistem eskalasi dam enrichment yang dapat memacu dan mewadahi secara integrasi pengembangan spiritual, logika, etika dan estetika, kreatif, sistematik, linier dan konvergen. Dari definisi diatas kita dapat menyimpulkan beberapa karakteristik yang harus dimiliki kurikulum bagi siswa cerdas istimewa, yaitu :
1. Merupakan kurikulum nasional dan lokal.
Kurikulum bagi siswa cerdas istimewa tidak berbeda dengan kurikulum nasional yang dikeluarkanoleh Departemen Pendidikan Nasional. Kurikulum ini menjadi acuan dasar bagi penetapan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang harus dicapai oleh siswa, karena bagaimanapun siswa yang tergabung pada program akselerasi merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang pada akhirnya di masa terakhir pendidikannya harus melalui ujian nasional.Oleh karena itu maka standar kecakapan atau kompetensi yang dicapai siswa tidak berbeda dengan program reguler dan dapat menjadikan Ujian Nasional sebagai standar evaluasi bagi keberhasilan program ini.
2. Menekankan pada materi esensial sebagai bagian dari proses percepatan waktu belajar Yang dimaksud dengan materi esensi adalah materi yang harus disampaikan kepada siswa melalui bimbingan khusus atau personal kepada siswa karena dianggap penting bagi siswa. Tingkat intensitas kepentingan materi esensi adalah wewenang guru dalam penetapannya dengan memperhatikan beberapa hal berikut :
a. Merupakan konsep dasar yang harus dimengerti siswa untuk memahami materi selanjutnya
b. Materi yang sering atau pasti keluar di ujian nasional
c. Materi yang sulit dan memerlukan bimbingan khusus oleh guru
Dengan memperhatikan beberapa faktor diatas, maka dalam penyusunan silabus guru diharapkan melakukan suatu analisis kurikulum yang komprehensif lalu melakukan adaptasi kurikulum disesuaikan dengan minat siswa. Adapun dengan materi yang dinilai kurang esensi dapat dipelajari siswa melalui penugasan dan pembahasan sepintas karena pada prinsipnya materi non esensi ini merupakan materi yang dapat dibaca dan dipahami siswa tanpa bimbingan khusus dari guru.
3. Melakukan sistem eskalasi dan enrichment
Eskalasi adalah proses adaptasi kurikulum dengan memberikan penekanan pada proses pendalaman suatu materi. Belajar bersama siswa akselerasi, guru dapat mengeksplorasi berbagai hal sampai pada materi tersulit sekalipun. Dengan didukung oleh kemajuan dan fasilitas sumber belajar yang beraneka ragam maka guru dapat memanfaatkan hal tersebut untuk mengupas suatu subjek pembelajaran dengan sangat intens. Proses pendalaman ini harus berpusat kepada siswa dimana guru hanya melontarkan beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa secara intensif dan mendalam. Kemudian guru mencoba mengarahkan dan membimbing siswa untuk memberikan "nilai" dari setiap ilmu yang diperoleh oleh siswa.

Misalnya Pada materi "Asal Mula Kehidupan", guru dapat mengeksplorasi berbagai ilmu dan teori yang mendukung pendapat awal mula kehidupan. Pada prinsipnya siswa mungkin telah mengetahui beberapa teori yang mereka dapat baik dari buku, majalah atau film yang pernah mereka tonton. Alangkah lebih baik guru mencoba mengeksplorasi pengetahuan siswa dengan memberikan kebebasan yang lebih luas kepada siswa untuk mengemukakan pengetahuannya. Setelahs semua terkumpul dan terungkap maka kemudian guru dapat mencoba mengarahkannya pada kaidah ilmu yang bersifat umum.
Enrichment atau pengayaan adalah bentuk layanan yang dilakukan dengan memperkaya materi melaui kegiatan-kegiatan penelitian atau kegiatan di luar kelas yang bersifat "out of box", baik dari aspek metode, sumber maupun evaluasi hasil belajar. Dengan adanya pengayaan ini diharapkan siswa akselerasi memiliki ilmu yang lebih banyak ketimbang siswa lainnya. Misalnya ketika memberikan materi "penyimpangan sosial", guru dapat membawa siswa berkeliling sekitar sekolah lalu menugaskan siswa untuk melakukan suatu analisa atau pengamatan langsung tentang berbagai tindakan masyarakat yang menurut mereka adalah penyimpangan sosial. Setelah mereka melakukan pengamatan lalu guru dan siswa mendiskusikannya ruang kelas dengan memberikan berbagai landasan teori yang mendukung pendapat mereka.

Pengayaan dapat dilakukan secara horizontal atau vertikal. Yang dimaksud dengan horizontal adalah pengayaan pada pengalaman belajar di tingkat satuan yang sama namun lebih luas sedangkan vertikal adalah dengan menaambah tingkat kompleksitas suatu materi, misalnya siswa belajar untuk melakukan penelitian sederhana untuk suatu kasus dalam materi. Dimulai dari mengidentifikasi masalah, menentukan hipotesa dan melakukan analisa, survai atau observasi untuk kemudian melakukan penyimpulan dari hasil kegiatan tersebut.

4. Fleksibel
Fleksibilitas ini sangat penting ketika guru berhadapan langsung dengan siswa cerdas istimewa yang memiliki karakter yang sangat unik. Terkadang siswa telah menguasai suatu standar kompetensi tertentu dan menginginkan standar lainnya untuk dipelajari. Apabila guru rigid/kaku dalam menetapkan suatu kompetensi maka tidak mustahil siswa akan merasa bosan dengan materi yang sebenarnya telah mereka kuasai. Atau sering kali siswa merasa bahwa materi tertentu tidak memiliki relevansi langsung dalam kehidupan mereka, maka siswa akan lebih memilih materi yang dirasakannya dapat bermanfaat bagi kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karena itulah maka guru harus pandai dan cerdik menyiasati metode dan pengaturan alokasi waktu secara tepat.

B. PRINSIP PENGEMBANGAN KURIKULUM
Diawal telah disebutkan bahwa pengambangan kurikulum berdiferensiasi harus melalui prinsip dan tahapan yang sama dengan kurikulum nasional.
Berikut adalah beberapa prinsip yang harus dipegang dalam penyusunan kurikulum:

1. Berpusat pada potensi, kebutuhan dan kepentingan siswa
2. Beragam dan terpadu
3. Tanggap terhadap kemajuan dan perubahan IPTEK dan seni
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupanmenyeluruh dan berkesinambungan
5. Belajar sepanjang hayat

Diferensiasi kurikulum juga harus berfokus pada :

1. Tingkat kecepatan belajar dengan tingkat pengulangan yang minimal
2. Penguasaan kurikulum nasional dalam waktu yang singkat
3. Materi lebih abstrak, kompleks dan mendalam
4. Menggunakan keterampilan belajar dan strategi pemecahan masalah
5. Berorientasi kepada peserta didik
6. Belajar berkelanjutan
7. Mandiri
8. Adanya interaksi dengan pakar suatu bidang ilmu

Demikian penjelasan singkat tentang kurikulum berdiferensiasi, semoga uraian ini dapat saya lanjutkan dengan penekanan pada bentuk inovasi pengembangan dan adaptasi kurikulum untuk siswa cerdas istimewa. Uraian ini belum mampu menggambarkan permasalahan dan solusi yang sebenarnya pada tataran praktek namun setikdaknya mampu menjadi wacana yang menjadi bahan masukan dan bahan refleksi untuk dilakukan berbagai perbaikan dan masukan.

Imam Wibawa Mukti,S.Pd
Guru dan Koordinator Program Akselerasi SMP Taruna Bakti Bandung
Blog : www.cogitoergowibisum.blogspot.com
Web : www.smptarunabakti.com
e-mail : www.imamwibawamukti@yahoo.co.id

Hak Normatif Mahasiswa

Judul: Hak Normatif Mahasiswa
Bahan ini cocok untuk Perguruan Tinggi bagian KESISWAAN / STUDENTS & LEARNING.
Nama & E-mail (Penulis): Muhammad Rizal.SE.,M.SI
Saya Dosen di UNIMED
Topik: Kemahasiswaan
Tanggal: 26 Desember 2007
Hak Normatif Mahasiswa Refleksi sembilan tahun gerakan Reformasi)
Pendahuluan

Dalam perjalanan panjang bangsa-bangsa di dunia tidak ada sebuah pergolakan (baca: pergerakan) yang tidak di dorong oleh mahasiswa, sebutlah peristiwa malari tahun 1966 peristiwa lapangan tianmen sampai jatuhnya pemerintahan orde baru 1998. Gerakan mahasiswa ditahun 1998 adalah suatu gerakan yang paling masif dalam sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia, dengan melibatkan jutaan mahasiswa dalam sebuah komitmen gerakan reformasi, gerakan ini berhasil melengserkan kekuasaan selama 32 tahun.
Tak satu pun tokoh-tokoh besar politik dunia yang bukan seorang aktifis, di Indonesia sebutlah misalkan Sukarno, Hatta, Amin Rais, Akbar Tanjung dan lain sebagainya. Pertanyaan yang mendasar adalah mengapa mahasiswa yang selalu menjadi motor pergerakan dan perubahan suatu bangsa? dan hak serta kelebihan seperi apa yang di miliki mahasiswa sehingga memiliki predikat agent of Chenges (agen dari perubahan)?
Mahasiswa dan lingkungan Akademik
Mahasiswa sebenarnya adalah sebutan dari sekelompok warga belajar di perguruan tinggi yang mengenyam pendidikan untuk orang dewasa dengan pendekatan kemandiriaan, tidak ada yang istimewa dalam proses ini selain pendekatan pengajaran yang menekankan pada pemberian ilmu 25 % materi yang diberikan dosen dan 75% kemandirian, kemandirian ini sebenarnya menjadi sebab mahasiswa lebih kreatif dalam proses pencarian ilmu. pengalaman menempa sebuah kerangka pemikiran idiologis dalam wacana pemikiran yang terbuka, wawasan yang di kembangkan dalam sistem pendidikan dikampus menjadi pemicu lahirnya pemikir-pemikir muda yang haus akan penyempurnaan ilmu pengetahuan dalam idialisme yang kental. Di tambah lagi pada usia 18 s/d 25 adalah usia pancaroba (dalam konteks pencarian diri dan pendewasaan pemikiran) karenanya mahasiswa selalu dianggap agent of Chenges (agen dari perubahan)

Lingkungan akademis yang mengajarkan penalaran, logika, pemikiran secara ilmiah, kemandirian, demokratisasi yang biasa disebut lingkungan akademis (ilmiah: berdasarkan sains/ ilmu) telah mengantarkan mahasiswa berpikir kritis, terbuka dan merdeka ditambah lagi dengan tujuan universitas sebagai lembaga yang mendukung pembangunan masyarakat dengan berperan sebagai kekuatan moral yang mandiri; (poin c) berperan besar dalam pembangunan masyarakat yang demokratis, adil dan makmur; (poin e PP tentang BHMN UGM 26 des 2000) akhirnya mengatarkan mahasiswa pada posisi sebagai kekuatan moral yang mandiri dan demokratis mengikuti tujuan dari universitas sebagai lembaga akademis
lingkungan mahasiswa dalam kampus yang memiliki dimensi Tridarma perguruan tinggi yang menekankan kepada pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat telah pula mengukuhkan kampus sebagai lembaga yang bebas, merdeka dalam berpikir serta kritis terhadap lingkungan yang tidak sesuai dengan keilmuan yang di ajarkan, kondisi ini semakain kuat menjadikan mahasiswa pada posisi yang tidak jarang berseberangan dengan kepentingan politik kelompok, agama, budaya dan strata sosial yang menghendaki status quo, pada proses inilah yang melahirkan pertarungan- pertarungan panjang idiologi antara kepentingan rakyat yang di aspirasikan oleh mahasiswa dan kepentingan- kepentingan kelompok, golongan di lain pihak, pertarungan ini terkadang membawa dampak mahasiswa harus berhadapan pada moncong senjata, pentungan petugas, gas air mata dan intimidasi kelompok-kelompok preman yang mencoba memaksakan pemahaman kepada mahasiswa.
Kesadaran akan perubahan yang di tempa dalam alam keterbukaan pemikiran yang bebas dan merdeka menjadi sebab mengapa mahasiswa menjadi komonitas paling sering menjadi kritikor, pendemo dan istilah-istilah lainnya. Pertarungan antara idealisme yang di dapat di kampus (teori) dengan praktek yang terjadi dimasyarakat yang selalu saja berbeda dan menyimpang sering menggugah jiwa muda untuk segera mengkritisi dan mendorong perubahan, itu pula mengapa mahasiswa idiologis sering diartikan sebagai oposisi atau oposan.

Hak nomatif mahasiswa dalam lingkungan Akademis
Lingkungan kampus yang di identikan dengan akademis ternyata tidaklah seperti yang di gambarkan dalam visi serta misi universitas, terkadang kampus dimasuki, serta disusupi oleh kepentingan politik semisal parpol dan negara, tak jarang kekuasaan masuk sampai kampus dalam tataran kebijakan dan teknis, rektor yang bukan merupakan jabatan politis dalam kenyataanya tidaklah berbeda dengan jabatan politis semisal walikota dan bupati apa lagi pada kondisi negara ini yang masih belajar berdemokrasi. kondisi seperti ini takjarang menyebabkan kampus seperti negara kecil yang penuh dengan polemik dan intrik yang pada akhirnya menyebabkan mahasiswa kehilangan hak-hak normatifnya.
Hak nomatif mahasiswa mengikuti hak normatif yang ada pada warga negara yang biasa disebut hak azasi ditambah hak yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tabun 1990 Bab X pasal 106 memuat 11 butir hak mahasiswa dan pada Pasal 107 memuat 6 butir kewajiban mahasiswa. Adapun hak hak mahasiswa adalah sebagai berikut:
pertama Menggunakan kebebasan akademik secara bertanggung jawab untuk menuntut dan mengkaji ilmu sesuai dengan norma dan susila yang berlaku dalam lingkungan akademik, kedua Memperoleh pengajaran sebaik baiknya dan layanan bidang akademik sesuai dengan minat, bakat, kegemaran dan kemampuan, ketiga Memanfaatkan fasilitas perguruan tinggi dalam rangka kelancaran proses belajar ke empat Mendapat bimbangan dari dosen yang bertanggung jawab atas program studi yang diikutinya dalam penyelesaian studinya ke lima Memperoleh layanan informasi yang berkaitan dengan program studi yang diikutinya serta basil belajarnya. Ke enam Menyelesaikan studi lebih awal dari jadwal yang ditetapkan sesuai dengan persyaratan yang berlaku ke enam, Memperoleb layanan kesejahteraan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku dan lainnya
Sedangkan kewajiban kewajiban mahasiswa adalah pertama lkut menanggung biaya penyelenggaraan pendidìkan kecuali bagi mahasiswa yang dibebankan dari kewajiban tersebut sesuai degan peraturan yang berlaku, kedua Memenuhi semua peraturan/ketentuan yang berlaku pada perguruan tinggí yang bersangkutan, ketiga lkut memelihara sarana dan prasarana serta kebersihan, ketertiban dan keamanan perguruan tinggi yang besangkutan, ke empat Menghargai Ilmu pengetahuan, teoknologi, dan /atau kesenian dan kelima Menjaga kewibawaan dan nama baik perguruan tìnggi yang bersangkutan
Hak normatif mahasiswa dalam bernegara
Hak normatif mahasiswa sebagai warga negara sama dengan warga negara lainnya seperti mendapatkan pendidikan, kebebasan berbicara dan berpendapat, kesehatan, keadilan dan sebagainya ditambah dengan Kebebasan akademis yang di peroleh dari kampus
Hak Kebebasan akademis sebagai nilai tambah (Value Add) mahasiswa inilah yang harus dijaga sebagai gerakan moral yang murni, lepas dari segala kepentingan dan tarikan-tarikan politik kekuasaan, kebebasan akademis yang biasanya di wujutkan dalam gerakan pembaharuan yang membawa hati nurani rakyat harus dijaga independensinya mengikuti visi dari sebuah universitas dimana mahasiswa itu menuntut ilmu.
Urgensi sebuah gerakan
Gerakan perubahan biasanya merupakan klimaks dari sebuah gagasan pemikiran yang telah terstuktur dari seluruh komponen masyarakat secara umum, yang merupakan bagian dari kepedulian mahasiswa terhadap lingkungannya yang berperilaku tidak seperti yang diajarkan di kampus, bisanya keterpanggilan ini akan dinama dengan sebuah tanggungjawab yang pada akhirnya akan diberi cap oleh masyarakat sebagai kewajiban mahasiswa untuk mendorong perubahan yang terjadi pada suatu tatanan masyarakat.
Gerakan akan perubahan yang merupakan kewajiban terhadap masyarakat dan hak dari setiap mahasiswa untuk menyalurkannya adalah suatu yang sangat penting, sama halnya dengan fitrah hidup manusia yang selalu bergerak dan tidak statis, mahasiswa sebagai agen perubahan harus terus melakukan gerakan-gerakan yang mendorong sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan menuju kearah yang di namis.
Ambifalensi yang terjadi adalah ketika mahasiswa telah di masuki oleh kepentingan-kepentingan politik jangka pendek, menyebabkan gerakan mahasiswa yang murni di kotori oleh kepentingan- kepentingan sesaat semisal aksi dukung mendukung pemilihan; legeslatif dan eksekutif seperti; Bupati, walikota, Gubernur dan Presiden. Kondisi ini selalu saja akan membawa implikasi terpecahnya gerakan mahasiswa, tumpulnya idiolegi dan menyebabkan gerakan mati muda, seperti gerakan reformasi yang saat ini terjadi. Kita berharap suatu saat nanti perubahan yang di dorong oleh mahasiswa tidak lagi mati muda seperti kondisi yang berulang-ulang terjadi.... semoga

* adalah Aktivis Gerakan Mahasiswa 1998 dalam Forum Mahasiswa Sumatera Utara (FORMASU) kini dosen Akuntansi Unimed. E-mail; ri4al@yahoo.com

BAGAIMANA MENGAJAR ANAK CERDAS ISTIMEWA ?

BAGAIMANA MENGAJAR ANAK CERDAS ISTIMEWA ?

Judul: BAGAIMANA MENGAJAR ANAK CERDAS ISTIMEWA ?
Bahan ini cocok untuk Sekolah Lanjutan TP bagian KESISWAAN / STUDENTS & LEARNING.
Nama & E-mail (Penulis): imam wibawa mukti,s.pd
Saya Guru di SMP Taruna Bakti
Topik:
Tanggal: 18 Juni 2008


Dalam kegiatan mengajar, keberadaan siswa cerdas istimewa sering terabaikan. Hal ini disebabkan ketidakpahaman guru maupun sekolah dalam mengidentifikasi, memahami dan mengetahui berbagai hal tentang keberadaan siswa cerdas istimewa.

CERDAS ISTIMEWA?
Menurut Renzuli, anak cerdas istimewa adalah anak yang memiliki tiga komponen diatas rata-rata teman sebaya, yaitu Intellegence Quotient lebih dan sama dengan 130,Task Comitment dan Creativity Quotient diatas rata - rata (3). Dengan alat ukur ini maka siswa berhak mendapatkan pelayanan pendidikan khusus yang bersifat individual untuk lebih memaksimalkan kemampuan mereka. Masalahnya muncul karena masih banyak guru yang belum mengenal karakteristik anak cerdas istimewa dan bentuk pelayanan yang tepat untuk memaksimalkan potensi terpendam mereka. (amanat Undang-undang No.2 Th 1989 tentang Sisdiknas pasal 24 ayat 6 dan Undang-undang Sisdiknas No.20 Th 2003 pasal 5 ayat 4).
Guru dapat melakukan pengamatan dini dengan memperhatikan beberapa karakteristik seperti diatas. Beberapa karakteristik lainnya diantaranya adalah seperti yang diungkap Prof. Dr. S.C. Utami Munandar yaitu mudah menangkap pelajaran, ingatan baik, perbendaharaan kata luas, penalaran tajam (berpikir logis-kritis, memahami hubungan sebab-akibat), daya konsentrasi baik (perhatian tak mudah teralihkan), menguasai banyak bahan tentang macam-macam topik, senang dan sering membaca, ungkapan diri lancar dan jelas, pengamat yang cermat. Namun selain karakteristik positif diatas, anak cerdas istimewa juga memiliki karakter negatif diantaranya tidak sabaran, tidak suka campur tangan orang lain, tidak suka hal yang rutin, sensitif dan menyukai berpikir kompleks.

BAGAIMANA MEMPERLAKUKAN MEREKA?
Karena mendapatkan pelayanan khusus merupakan hak mereka, maka semua sekolah wajib melakukan perbaikan dan pembenahan dalam menangani anak cerdas istimewa. Memang ada beberapa sekolah yang melaksanakan program akselerasi sebagai salah satu bentuk layanan pendidikan bagi anak cerdas istimewa, namun keberadaan mereka yang mungkin ada di setiap populasi (hasil penelitian menyebutkan 2 - 5 % dari jumlah populasi potensial cerdas istimewa) masih belum dapat merasakan pelayanan yang tepat, maka semua sekolah wajib memberikan layanan kepada mereka dengan maksimal.
Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan pendampingan pendidikan kepada anak cerdas istimewa diantaranya adalah :

Pertama, kurikulum yang dipakai adalah kurikulum nasional dan lokal yang telah dimodifikasi dengan memasukan unsur pengayaan, pendalaman dan pemilihan materi essensi sehingga kurikulum dapat bersifat fleksibel dan mampu merangsang daya kreatif siswa. Kurikulum ini disebut dengan kurikulum berdiferensiasi. Guru dituntut untuk dapat melakukan rekayasan kurikulum secara cerdas sehingga memungkinkan guru dan siswa melakukan improvisasi dalam kegiatan belajar.

Kedua, metode pembelajaran. Karena karakteristik anak cerdas istimewa salah satunya adalah cepat bosan dan senang melakukan proyek sendiri, maka guru dituntut untuk kreatif dan cepat tanggap terhadap tingkat kebutuhan siswa. Siswa cerdas istimewa cenderung mudah bosan dengan materi yang bersifat hapalan dan banyak menulis. Memberikan tugas atau proyek dengan skala besar dan membutuhkan perhatian yang ekstra dan menantang sangat digemari mereka. Misalnya menugaskan siswa untuk mempersiapkan materi tertentu untuk kemudian mereka presentasikan di depan teman-temannya.
Ketiga, evaluasi. Evaluasi siswa cerdas istimewa harus dibedakan dengan siswa lainnya. Untuk mereka guru tidak bisa hanya menggunakan satu jenis tes seperti "pen and paper test". Guru bisa menguji mereka dari kemampuan presentasi, cerita, pentas drama, proyek, lisan, quiz atau membaca buku dengan bobot nilai diperlakukan dengan ulangan harian. Untuk memberi score pun lebih baik tidak terpaku pada angka 100, namun guru dapat memberikan nilai 120 atau 130 apabiila siswa mampu memberi jawaban lebih dari yang diharapkan. Hal ini akan meningkatkan motivasi mereka untuk meraih nilai optimal.

PENUTUP
Akhirnya, bagaimanapun sekolah dan guru harus mampu memberikan layanan pada siswa cerdas istimewa karena itu adalah hak bagi mereka. Juga keberadaan mereka yang selama ini termarginalkan dapat lebih eksis dan mampu menjadikan diri mereka sebagai asset bangsa di masa depan. Pelayanan kepada siswa cerdas istimewa ini pun sejalan dengan program pendidikan inklusi yang memberikan perlakukan sama kepada semua siswa dengan berbagai ciri dan karakter yang berbeda di semua sekolah.
Imam Wibawa Mukti,S.Pd

Guru serta Koordinator Program Akselerasi SMP Taruna Bakti danSekretaris Resource Center Keberbakatan Jawa Barat Jln. LL.RE Martadinata 52 Bandung (022) 4261468 085624098017

PERAN KERJA SISWA DALAM MENGUPAYAKAN PENDIDIKAN MENJADI NOMER SATU

PERAN KERJA SISWA DALAM MENGUPAYAKAN PENDIDIKAN MENJADI NOMER SATU

Judul: PERAN KERJA SISWA DALAM MENGUPAYAKAN PENDIDIKAN MENJADI NOMER SATU
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian KESISWAAN / STUDENTS & LEARNING.
Nama & E-mail (Penulis): BHINUKO WARIH DANARDONO
Saya Mahasiswa di Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta semester 8
Topik: PERAN KERJA SISWA DALAM MENGUPAYAKAN PENDIDIKAN MENJADI NOMER SATU
Tanggal: 14 September 2006


Di sini kita ketengahkan mengenai bagaimana peran kerja murid dalam mengupayakan pendidikan ini agar pendidikan adalah nomer satu. Memang dari hal ini pentingnya pendidikan itu sangat memberikan makna yang kompeten karena didasari oleh kemampuan pola pikir murid dan juga kepribadian murid. Arti penting pendidikan itu adalah membawa sebuah kebanggaan tersendiri seperti misalnya prestasi-prestasi di sekolah, prestasi dalam tim olimpiade di luar negeri dengan prestasi ini maka murid akan membawa nama harum bangsa kita. Persolan-persoalan dalam dunia pendidikan ini sangat mengacu sekali pada kemampuan daya berpikir murid dari satu murid ke murid lainnya oleh karena ini kita akan tahu mana murid yang berprestasi dan mana murid yang tidak berprestasi.

Upaya pemerintah dalam menindak lanjuti tentang pendidikan itu pemerintah lebih melihat siswa itu dari segi sektor pergulan pendidikan dan sifat dan karakteristik murid dalam kesehariannya. Dari sini sektor pergaulan itu ada 3 yaitu pergaulan di lingkungan rumah, lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah begitu juga dengan sektor pendidikan juga sama kalau sektor pendidikan dibagi 3 yaitu pendidikan dirumah, pendidikan di masyarakat dan pendidikan di sekolah. sebelum kita berlanjut ke hal berikutnya kita bahas terlebih dahulu yang pertama mengenai sektor pergaulan, sektor ini dibagi 3 yaitu dirumah,di masyarakat dan di sekolah. sektor pergaulan dirumah yaitu bagaimana dia bergaul berkomunikasi dengan keluarganya apakah dia nyaman, dapat kasih sayang ,dukungan atau tidak oleh keluarganya dalam hal ini kakak adik ayah dan ibu karena dari sektor pergaulan dirumah inilah nantinya anak ini bisa maju dan berhasil. pergaulan di masyarakat apakah dia bisa beradaptasi di masyarakat atau tidak karena masyarakat adalah kuncinya manusia itu bisa berkembang dan punya banyak teman dan juga punya rasa sopan santun, hormat menghormati dan lain sebagainya.

Sektor pergaulan di sekolah antara lain apakah dia bisa beradaptasi tidak dengan orang lain yan sama sama bersekolah disekolahnya. Sektor pendidikan ada 3 yaitu dirumah, dimasyarakat dan di sekolah. Sektor pendidikan dirumah antara lain dapat bimbingan pengajaran dari orang tua tentang didikan ajaran baik dan buruknya dan juga yang lain, sektor pendidikan dimasyarakat antara lain menyangkut tentang tata krama atau sopan santun terhadap orang yang lebih tua dan lain sebagainya, sektor pendidikan di sekolah antara lain belajar hormat menghormati dan berkumpul atau bergaul. Dari beberapa sektor yang sudah dibahas satu persatu ini dapat disimpulkan bahwa manusia itu tak luput dari orang lain dan manusia itu tidak bisa individu karena manusia itu diciptakan oleh Allah itu untuk bersama sama dengan orang lain.

Murid adalah junjungan yang patut dibanggakan karena kalau muri berprestasi dan dan meraih gelar maka murid dapat membawa nama baik keluarga masyarakat dan juga negara tercinta kita ini.Kita tahu banyak generasi mudah sekarang ini yang senangnya hura-hura yaitu sering mabuk-mabukkan dan ngedrugs, sering tawuran, berkelahi, dan lain,lain halnya. Dengan perilaku generasi mudah kita ini maka negara kita ini yang terlalu banyak dilecehkan oleh negara lain dan negara kita ketinggalan oleh negara lain mengenai permasalahan pendidikan ini. kita ini lemah karena ada barang baru masuk ke Indonesia pun ikut mencoba-coba misalnya yang tadi miras dan obat obatan terlarang ini yang beredar sekarang .

Menghargai keunikan anak

Menghargai keunikan anak

Judul: Menghargai Keunikan Anak
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian KESISWAAN / STUDENTS & LEARNING.
Nama & E-mail (Penulis): fima rosyidah
Saya Mahasiswi di UNY
Topik: kecerdasan majemuk
Tanggal: 2 April 2005
MENGHARGAI KEUNIKAN ANAK
Setiap anak memiliki keunikan yang berbeda-beda. Oleh karena itu diharapkan orang tua dan pendidik dapat mengenali keunikan-keunikan tersebut dalam bentuk kecerdasan. Dahulu kita mengenal Intelligence Quotient (IQ) yang diperkenalkan oleh Alfred Binet, dimana IQ akan menentukan keberhasilan pendidikan anak. Sedangkan, pada saat ini Gardner telah mengenalkan kita dengan kecerdasan majemuk (multiple intelligences) Setiap anak memiliki semua kecerdasan yang disebutkan oleh Gardner, dimana kecerdasan linguistik, logis-matematis, kinestetik-jasmani, musikal, antarpribadi, interpribadi dan naturalis diharapkan dapat memaksimalkan potensi yang dimiliki manusia. Setiap anak memiliki kesempatan untuk mengembangkan setiap kecerdasan yang mereka miliki dengan bimbingan orang tua dan guru. Mereka juga dapat menunjukkan kemampuan yang sesuai dengan kecerdasannya.
Seorang anak yang "bodoh" di dalam kelas, dimana selalu mendapat rangking terakhir bukanlah anak yang tidak cerdas. Setiap anak, pasti memiliki kecerdasan yang disebutkan oleh Gardner. Mungkin anak yang tertinggal tersebut tidak memiliki kecerdasan logis-matematis atau linguistik yang banyak dimaksimalkan di dalam proses belajar mengajar di sekolah. Kemungkinan dia memiliki kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik-jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan antarpribadi, kecerdasaran interpribadi atau kecerdasan naturalis. Anak anda mungkin senang menulis cerpen, puisi atau juga memiliki prestasi tinggi dalam mata pelajaran menulis. Dari kecenderungannya ini, anak tersebut memiliki kecerdasan linguistik (bahasa). Tapi, jika anda pernah diberi pertanyaan oleh seorang anak seperti "mengapa langit biru" atau "dimana akhir alam semesta", maka anda perlu menyadari bahwa anak tersebut memiliki rasa ingin tahu yang tinggi mengikuti kecerdasan logis-matematisnya. Selain itu, seorang anak juga ada yang lebih senang menirukan gerakan orang lain dari pada menggambar. Jika dia senang bergerak menirukan orang lain maka ia memiliki kecerdasan kinestetik-jasmani. Kemudian, anak yang lebih senang menggambar dan menonjol dalam mata pelajaran seni memiliki kecerdasan spasial.
Setiap anak juga memiliki cara belajar yang berbeda-beda. Gaya belajar yang lebih senang diiringi musik biasanya memiliki kepekaan terhadap musik. Menurut Armstrong (2002: 31), anak tersebut memiliki kecerdasan musikal yang perlu diasah dengan memberikan aktivitas belajar melalui musik. Salah satu cara untuk melihat kecerdasan apa yang dimiliki seorang anak, kita bisa memperhatikan mereka saat bermain. Sering kali ketika bermain, anak lebih senang sendiri atau bergabung dengan teman-temannya. Jika dia lebih senang bersosialisasi dengan teman-temannya atau bahkan belajar bersama-sama, anak tersebut memiliki kecerdasan antarpribadi. Selain itu, anak yang memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah teman sebayanya juga memiliki kecerdasan ini. Tetapi, jika anak anda lebih senang belajar dan beraktivitas sendiri, maka dia memiliki kecerdasan interpribadi. Biasanya anak tersebut memperlihatkan sikap independen dan kemauan yang kuat.
Lingkungan alam di sekitar kita bisa dijadikan sebagai objek yang menarik bagi anak yang memiliki kecerdasan naturalis. Kecenderungan anak ini akrab dengan hewan peliharaannya atau tumbuhan yang dia rawat. Jangan heran, jika anak anda senang membawa pulang tumbuhan atau hewan untuk ditunjukkan kepada keluarganya. Dari kedelapan kecerdasan tersebut, orang tua maupun pendidik perlu untuk menyadari adanya perbedaan kemampuan anak. Dari semua kecerdasan ini, anak dapat diarahkan sesuai dengan kecerdasan yang ia miliki. Sekolah, sebagai institusi yang mewadahi pendidikan perlu mempertimbangkan kecerdasan yang dimiliki anak supaya mereka dapat memperkuat kecerdasan yang mereka miliki.

BUDAYA MENULIS DI KALANGAN GURU, CERMIN SEBUAH KEPRIHATINAN

Judul: BUDAYA MENULIS DI KALANGAN GURU, CERMIN SEBUAH KEPRIHATINAN
Bahan ini cocok untuk Sekolah Dasar bagian KURIKULUM / CURRICULUM.
Nama & E-mail (Penulis): Untung Sutikno, S.Pd
Saya Guru di Kec. Losari- BREBES
Topik: Peningkatan Profesionalisme Guru
Tanggal: 7 September 2008

Tanggal 8 September adalah Hari Aksara, hari yang mestinya identik dengan aktivitas membaca dan menulis. Berkaitan dengan peringatan hari aksara tersebut, saya ingin mencurahkan uneg-uneg yang membuat saya merasa prihatin dengan kompetensi guru saat ini. Kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang yang kemudian menjadikannya unggul dalam bidang tertentu dan sangat siap untuk bersaing (Hernowo, 2005:279). Kompetensi yang saya soroti dalam tulisan ini adalah kompetensi menulis yang belum menjadi budaya di kalangan guru. Bahwa kompetensi menulis di kalangan guru sampai saat ini masih sangat memprihatinkan. Tabrani Yunis - Peminat masalah sosial dan Pendidikan,/Director Center for Community Development and Education (CCDE)-mengkritik para guru, bahwa budaya menulis di kalangan guru masih sangat rendah.

Diakui atau tidak, kritikan tersebut patut kita renungkan untuk menemukan akar permasalahannya. Kita tidak perlu membuat indikator terlalu banyak. Cobalah amati rekan-rekan guru di sekeliling kita. Berapa banyak di antara mereka yang membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sendiri sebagai tugas utama guru. Cobalah amati buku-buku di perpustakaan atau di toko-toko buku. Hitunglah, berapa banyak buku yang ditulis oleh para guru. Anda membaca surat kabar ? Hitunglah berapa banyak artikel yang ditulis oleh para guru. Pasti jarang sekali, bukan?
Benarkah guru tidak mampu menulis atau tidak terbiasa menulis? Jawabannya pasti bermacam ragam. Namun dalam kenyataannya, memang sangat sedikit guru yang menulis. Jangankan untuk menulis di media massa, jurnal atau yang lainnya, untuk membuat karya tulis yang diajukan dalam pengurusan kenaikan pangkat saja, banyak yang tidak bisa. Ironisnya lagi, untuk membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran saja banyak yang angkat tangan. Kondisi seperti ini tentu merupakan sesuatu yang memprihatinkan bagi kita. Padahal, guru harus membuat karya tulis - salah satu unsur pengembangan profesi- kalau mau cepat naik pangkat. Menurut kabar yang saya terima sewaktu mengikuti Workshop Guru Pemandu KKG SD di LPMP Jawa Tengah pada tanggal 13-16 Agustus 2008 akan ada peraturan baru tentang kenaikan pangkat melalui angka kredit.
Guru dari golongan III/b diwajibkan membuat karya pengembangan profesi minimal 2 untuk bisa naik pangkat ke golongan III/c. Dari golongan III/c ke III/d minimal 4 angka kredit pengembangan profesi. Golongan III/d ke IV/a = 6, Golongan IV/a ke IV/b = 8, IV/b ke IV/c = 10, IV/c ke IV/d = 12, dan IVd ke IV/e =14. Jika peraturan tersebut telah benar-benar diberlakukan, maka sudah saatnya bagi guru golongan III untuk memulai melakukan pengembangan profesi, yang salah satunya dapat dilakukan dengan membuat karya tulis ilmiah. Menulis karya tulis sendiri, adalah sebuah upaya pengembangan profesi dan pengembangan diri guru dalam mengekspresikan diri. Namun sekali lagi, budaya menulis di kalangan guru itu sangat rendah. Idealnya, seorang guru harus mau dan pintar menulis. Mengapa demikian?
Guru sebagai subjek pendidik dan praktisi pendidikan tentu memiliki potensi menulis yang sangat besar. Ya, guru sebenarnya memiliki segudang bahan berupa pengalaman pribadi tentang sistem dan model pembelajaran yang dijalankan. Guru bisa menulis tentang indahnya menjadi guru, atau bisa juga menuliskan soal duka cita menjadi guru. Bisa pula memaparkan tentang sisi-sisi kehidupan guru dan sebagainya. Selama ini banyak orang menjadikan guru sebagai bahan perbincangan, sebagai bahan tulisan. Berbagai sorotan dan kritik dilemparkan orang dalam tulisan mengenai profesi guru yang semakin marginal ini. Berbagai keprihatinan terhadap profesi guru yang semakin langka ini, menjadi sejuta bahan untuk ditulis. Sayangnya, tulisan-tulisan mengenai guru, kebanyakan tidak ditulis oleh para guru. Padahal, kalau semua ini ditulis oleh guru, maka penulisan sang guru itu akan menjadi sebuah proses pembelajaran bagi semua orang.

Banyak kendala yang mengahadang aktivitas menulis di kalangan guru. Pertama, dari sisi guru, mereka banyak yang tidak mempunyai budaya membaca yang baik. Mereka umumnya miskin bahan bacaan atau referensi. Ada ungkapan yang mengatakan, penulis yang baik berawal dari pembaca yang baik. Coba saja amati di sekeliling anda. Berapa banyak guru yang mempunyai perpustakaan pribadi. Berapa banyak guru yang sering mengunjungi perpustakaan umum untuk mencari referensi. Berapa banyak guru yang berlangganan koran atau majalah? Berapa banyak guru yang bisa dan biasa berselancar di internet? Jawaban atas pertanyaan-tertanyaan tersebut dapat mencerminkan apakah guru mempunyai budaya membaca yang baik atau sebaliknya.
Kedua, motivasi yang rendah di kalangan guru untuk menulis. Tidak sedikit guru yang walapun telah banyak memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, namun enggan untuk menulis. Dalam kaitan ini Agus Irkham- penulis artikel kondang yang ratusan tulisannya terserak di Koran Suara Merdeka, Wawasan, Kaltim Pos, Solo Post dan sebagainya,-menegaskan bahwa kegagalan seorang untuk menjadi penulis, minimal menulis, justru lebih banyak disebabkan oleh lemahnya motivasi. Termasuk habit atau kebiasaan hidup yang dapat mendukung keprigelan dan tradisi menulis yang kuat.

Kendala ketiga, guru yang miskin gagasan. Andaikan para guru di seluruh Indonesia dapat menulis buku untuk para muridnya. Andaikan para guru dapat memperkaya para muridnya dengan cerita-cerita yang mengasyikkan, ditulis oleh mereka di karya-karya tulis mereka. Andaikan artikel-artikel, opini dan celoteh guru banyak mengisi lembaran surat kabar dan majalah. Namun, mengapa tidak banyak guru yang mau menulis. Kurangnya gagasan dalam menulis membuat guru tidak tahu apa yang akan ditulis. Bahkan untuk memulai menulis kata pertama dalam karangannya sering membuatnya berkali-kali membuang kertas akibat salah memilih kata.
Keempat, kurangnya keberanian dalam menulis. Menjadi guru dituntut mempunyai loyalitas yang tinggi. Loyalityas tersebut harus ditujukan kepada Negara sesuai dengan aturan perundangan. Namun yang terjadi, loyalitas sering disalah artikan. Pandangan bahwa guru yang loyal adalah mereka yang taat pada atasannya atau pimpinan organisasi, menurut saya adalah pandangan yang keliru. Loyalitas seperti ini akan membuatnya kehilangan keberanian dalam mengungkapkan gagasan yang mungkin dianggapnya menyimpang dari kebijakan atasan. Pandangan bahwa guru yang loyal adalah guru yang menaati semua kemauan dan perintah atasannya telah berperan besar dalam membuat guru kurang berani menunjukkan otoritas pribadinya. Ia lebih terbawa pada arus pemikiran atasannya, ketimbang menuruti gagasannya sendiri, ia tidak produktif dan tidak kreatif. Ia terjebak dalam budaya ABS-asal bapak senang.

Gonta-ganti Kurikulum, baikkah?

Judul: Gonta-ganti Kurikulum, baikkah??
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian KURIKULUM / CURRICULUM.
Nama & E-mail (Penulis): wahyudi
Saya Mahasiswa di solo
Topik:
Tanggal: 06 september 2007

62 tahun sudah negeri ini merdeka. Cukup banyak pelajaran yang kita petik sampai usia saat ini. Begitu gagahnya pahlawan-pahlawan yang telah gugur mendahului kita dahulu. Begitu besar jasa-jasanya hingga tak bisa terbalas oleh apapun. Hanya sebuah mengenang beliau-beliau ketika kita melaksanakan upacara bendera. Hanya sebatas itu....kita bisa mengenangnya. HUT RI ke 62 tahun kemarin memberikan warna-warni di negeri ini. Warna-warni dalam mengemban visi dan misi.
Kita lihat semangat-semangat para remaja, pemuda bahkan orang tua ketika menyambut HUT Kemerdekaan RI. Begitu luar biasa dan sungguh itu merupakan wujud dari kecintaan terhadap negeri ini. Akan tetapi bagaimanakah mutu pendidikan yang ada di negeri kita saat ini? Ketika kita melihat anak-anak bangsa, anak-anak pelajar yang enggan untuk sekolah ataupun malas belajar, apakah terbesit dalam hati tuk dapat bersemangat mengubah tatanan yang ada dipendidikan negeri ini. Telah kita ketahui bersama, tentang kurikulum yang belum lama ini diganti, yang dulu dinamakan dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) sekarang diganti dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).
Ketika kita menengok di masyarakat pedalaman, katanya sih: Kenapa buku-buku yang dulu sudah nggak berlaku untuk tahun ini? Kenapa buku LKS yang dulu berbeda bahasannya dengan buku LKS tahun ini? Kalau dulu mereka bisa menggunakan LKS-LKS yang lalu, tapi sekarang mereka harus beli dengan harga yang tak cukup murah. Akankah keluh kesah masyarakat saat ini salah mereka sendiri atau negari?Apakah ini awal dari yang miskin semakin miskin, dan yang kaya semakin kaya, karena si miskin hanya ingin membeli LKS pertahun saja tidak mampu. Bagaimanakah dengan mereka yang berprestasi tapi tak dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, hingga akhirnya membuat mereka terjun ke dunia yang sebenarnya tidak mereka sukai.

Kurikulum Pendidikan Seks

Kurikulum Pendidikan Seks

Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum.
Nama & E-mail (Penulis): nailul umam wibowo
Saya Guru di Surakarta Jawa-Tengah
Tanggal: 26 januarai 2004
Judul Artikel: Kurikulum Pendidikan Seks
Topik: Kurikulum Pendidikan Seks
Oleh Nailul Umam Wibowo S PdI. *

Menyoal Kurikulum Pendidikan Seks.
Perdebatan tentang pendidikan seks di sekolah seakan tak habis dibicarakan. Kelompok yang pro menganggap pendidikan seks itu perlu untuk mencegah prilaku seks menyimpang. Kalangan yang menentang pendidikan seks beralasan justru pendidikan seks akan membuat anak yang tidak tahu tentang seks akan menyalah gunakan apa yang diketahuinya. Dunia pendidikan terkejut dengan hasil penelitian Iip Wijayanto yang menyimpulkan bahwa 97% mahasiswi di sebuah kota pendidikan tidak perawan. sekalipun kita meragukan validitas atau tepatnya angka prosentase yang dihasilkan, tetapi hal ini cukup membuktikan bahwa seks telah disalahgunakan justru oleh orang berpendidikan.
Kasus KTD (kehamilan tak diinginkan) yang terjadi sampai 30% pada remaja, 70% pada PUS (Pasangan Usia Subur) yang mengalami kegagalan kontrasepsi. Masalah pergaulan bebas yang menjerumus kearah seks perlu di antisipasi dunia pendidikan. Dengan perkembangan dunia informasi yang semakin pesat, semua sepakat bahwa pendidikan seks perlu di sekolah.

Pendidikan seks menurut tokoh pendidikan Nasional Arif rahman Hakim adalah perlakuan proses sadar dan sistematis di sekolah, keluarga dan masyarakat untuk menyampaikan proses perkelaminan menuarut agama dan yang sudah ditetapkan oleh masyarakat. Dengan demkian pendidikan ini bbukanlah pendidikan tentang how to do (bagaimana melakukan hubungan seks), atau tentang hubungan seks aman, tidak hamil dan lain sebagainya, tetapi intinya pendidikan seks di berikan sebagai upaya preventif dalam kerangka moralitas agama. Ia tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama, jika tidak maka apa yang dikhawatirkan kelompok anti pendidikan seks akan terjadi. Ketika seks terlepas dari kerangka moral agama, maka kebobrokan moral kaum terpelajar justru akan semakin mewabah, sebagaimana yang di tenggarai Iip Wijayanto.

Dalam perspektif pendidikan agama (dalam hal ini; Islam), pendidikan seks dibahas dalam materi pelajaran fikih yang meliputi tentang reproduksi dan tanggung jawab agama bagi seseorang yang telah mengalami kematangan reproduksi seksualnya (baligh). Dengan mengacu fikih, maka penulis mengusulkan agar ruang lingkup kurikulum pendidikan seks antara lain: Penciptaan manusia oleh Allah (proses kejadian manusia mulai dari pembuahan), perkembangan laki- laki dan perempuan (secara fisik dan psikis), perilaku kekelaminan, dan kesehatan seksual. Rancangan ini juga penilaian kebutuhan (need assessment, evaluasi, implementasi, sosialisasi dan membuat disain kurikulum dan pengembangannya).
Di samping kurikulum yang juga harus dipersiapkan adalah guru pengajarnya reproduksi, proses kelahiran, KB, perilaku menyimpang, kejahatan seks, perlindungan hukum.
Ada dua kemungkinan kurikulum pendidikan seks: berdiri sendiri atau terkait dengan mata pelajaran lain. Pendidikan seks di sekolah diintegrasikan dalam mata pelajaran: agama, olahraga, biologi (misalnya anatomi), sosiologi, antropologi, dan bimbingan karier.
Untuk mendukung kurikulum pendiidikan seks di sekolah maka kegiatan di luar sekolah juga perlu mendukungnya. Pendidikan seks dalam kegiatan OSIS dapat dicakup dalam program Keputrian, Keputraan, Pesantren Kilat, Retreat, dsb. Juga kegiatan POMG dalam bentuk seminar dan diskusi yang mengundang orangtua murid dan para ahli, bila perlu seksolog dan agamawan.

Namun demikian tenggung jawab keberhasilan pendidikan seks bukanlah semata-mata di tentukan oleh kurikulum sekolah, tetapi juga peran keluarga, masyarakat dan pemerintah. Sekolah mempunyai keterbatasan waktu dan pengawasan. Maka bimbingan keluarga dan kontrol dari masyarakat, dimana anak lebih banyak menghabiskan waktunya, mempunyai peranan lebih besar bagi terciptanya generasi yang berilmu sekaligus bermoral. Semoga
Penulis adalah Guru di SLTP Al -Islam Kartasura Sukoharjo jawa tengah. (Alumni PM Gontor dan UMS Surakarta).

Perubahan Kurikulum Dapat Menentukan Nasib Baik Hasil Pendidikan

Perubahan Kurikulum Dapat Menentukan Nasib Baik Hasil Pendidikan

Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan.
Nama & E-mail (Penulis): TAUFIK
Saya Pengamat di MAKASSAR
Tanggal: 30 OKTOBER 2002
Judul Artikel: Perubahan Kurikulum Dapat Menentukan Nasib Baik Hasil Pendidikan
Topik: KURIKULUM SEBAGAI ACUAN DASAR PENDIDIKAN NASIONAL

Artikel:

Sampai sekarang pendidikan kita masih compang-camping karena sering terjadi perubahan kurikulum. Setiap pergantian menteri maka pasti terjadi perubahan yang buntutnya malah membuat bingung pelaku pendidikan. Padahal kurikulum seharusnya tidak boleh berubah, ibaratnya pejabat berikutnya tinggal melanjutkan apa yang telah ditinggalkan oleh pendahulunya, tetapi mungkin karena rasa gengsi yang salah kaprah dari beliaunya sehingga agak malu hati jika tidak melakukan perubahan, alias ingin disebut meninggalkan jasa kelak. Sedikit panas dan memerahkan telinga memang ,tapi inilah kenyataan.

Seharusnya sebuah kurikulum dipatenkan selama beberapa lama agar dapat dilihat hasil dari pembelajaran tersebut. Jika kita melihat kenegara lain yang lebih maju, mereka memiliki SDM yang bagus, itu karena siswa mereka tidak dibuat bingung oleh perubahan yang begitu cepat. Kurikulum yang lama belum terserap langsung sudah terganti. Hal lain adalah banyaknya pemborosan biaya pendidikan termasuk untuk mencetak buku-buku yang pada akhirnya tidak terpakai,padahal seharusnya dapat digunakan untuk membiayai bidang-bidang lain dalam sektor pendidikan misalnya kesejahteraan guru, sehingga tidak akan terdengar lagi nada miris tentang nasib guru yang nyambi kerja jadi tukang ojek untuk mempertahankan asap dapur agar tetap ngepul.

Guru yang konsentrasi bekerja, tentunya akan dapat menghasilkan mutu yang bagus disamping tentunya tetap didukung oleh kurikulum yang tetap. Sebab bisa saja terjadi guru yang berada jauh dipedalaman tidak mengetahui lagi adanya perubahan sehingga otomatis tertinggal jauh akibatnya mutu pendidikan jadi timpang. Mungkin saatnya para orang pintar di Indonesia memikirkan mulai sekarang untuk menentukan takaran baku kurikulum ini sehingga kita bisa terangkat dan bukan menjadi pecundang terus. Ingat, kita masih berada di bawah negara Vietnam. Negara yang baru pulih dari luka perang, sedangkan kita katanya sudah lama merdeka tapi masih asyik cuma mengutak atik yang sudah lama seperti anak yang menderita autis, asyik dengan dirinya sendiri tanpa menghiraukan orang lain yang penting asyik sendiri dan bisa meninggalkan sesuatu....kelak.

MANAJEMEN TENAGA KEPENDIDIKAN

Artikel:
BEDA GURU SEKOLAH NEGERI,
SEKOLAH SWASTA,
DAN BIMBINGAN BELAJAR

Judul: BEDA GURU SEKOLAH NEGERI , SEKOLAH SWASTA, DAN BIMBINGAN BELAJAR
Bahan ini cocok untuk Sekolah Menengah.
Nama & E-mail (Penulis): MUCHTARIDI, MSi, Apt
Saya Dosen di Jurusan Farmasi FMIPA UNPAD
Topik: Kualitas Guru
Tanggal: 17 Desember 2004

Guru merupakan ujung tombak keberhasilan suatu sistem pendidikan. Bagaimanapun sistem pendidikannya, jika guru kurang siap melaksanakannya tetap saja hasilnya sama "jelek". Sistem KBK yang diterapkan saat ini, sebetulnya sudah diterapkan di sekolah swasta yang ekonomi siswanya menengah ke atas. KBK suskses di sekolah swasta karena mereka berani memberikan kesejahteraan guru yang lebih baik dan fasilitas yang lengkap dibandingkan sekolah negeri, setidaknya ini juga disampaikan oleh Pak Said, bahwa sebetulnya yang sangat mempengaruhi kualitas guru adalah kondisi sosial guru.
Renungkanlah kalimat yang diucapkan salah seorang guru besar Universiti Kebangsaan Malaysia saat melawat ke Jakarta "Di Indonesia sebetulnya gurunya pintar-pintar jika dibandingkan dengan Malaysia, lalu kenapa pendidikan disana lebih maju pesat, karena kami saat mengajar dalam benak kami tidak punya pikiran aduh gimana besok, sehingga kami benar-benar bekerja keras untuk pendidikan", kira-kira itulah sari kalimat yang disampaikan nya. Jadi, jika kita simak maksud kalimat saat mengajar dalam benak kami tidak punya pikiran "aduh gimana besok", saya yakin maksudnya bahwa agar guru mengajar dengan optinal di kelas, sebaiknya guru diberikan kenyamanan dalam hal kondisi sosialnya.
Di sekolah swasta yang bonafit, guru benar-benar dikontrol kualitasnya dengan berbagai program yang diadakan yayasan demi menjaga kualitas sekolah tersebut dan kepercayaan dari orang tua murid, sehingga hasilnya pun sangat memuaskan. Bukti sederhana bagaimana hasil didikan sekolah-sekolah swasta adalah prestasi siswa mereka di Olimpiade Sains tingkat Nasional dan Internasional. Misalnya, SMA Xaverius Palembang, SMA IPEKA Medan, dan SMA Aloysius Bandung, SMA BPK Penabur. Guru di PNS (sekolah Negeri), sudah terlanjur terjebak oleh kalimat pahlawan tanpa pamrih, sehingga akibatnya posisi guru di masyarakat, bahkan di kalangan pejabat terasa terpinggirkan dan tersisihkan. Pemalsuan ijazah oleh caleg merupakan salah satu indikasi bahwa posisi guru diremehkan. Saat guru berpikir bahwa yang dilakukannya adalah hanya semata-mata ibadah, lalu godaan pun datang seperti siswa melecehkannya karena merasa "saya punya uang lebih", atau orang tua yang punya jabatan 'wah", seenaknya memaki guru oleh karena anaknya didisiplinkan, atau orang tua ingin anaknya punya rangking, sehingga mengembel-embel hadiah yang menjanjikan". Godaan itu, menjadi hal yang wajar dalam wajah pendidikan Indonesia, yang akhirnya menyeret keterpurukan bagsa ini. Bagi guru yang berkualitas, godaan tersebut seharusnya bisa ditolak, tapi malah ada juga guru yang marah ke siswa karena siswa tidak memberi hadiah saat kenaikan kelas.
Mungkin Pa Said lupa, mengapa banyak guru kurang optimal mengajar di kelas?. Cobalah simak bagaimana sekeksi guru PNS. Mengandalkan Akta IV yang dipunyai calon, calon guru hanya diuji tes tertulis, kemudian wawancara. Lalu apakan diuji cara mengajar atau meyampaikan materi pelajaran?. Ini juga salah satu kelemahan sistem seleksi guru kita di Indonesia (PNS), yang membuat guru mengajar kurang optimal, kita terlalu percaya bahwa yang punya Akta IV bisa mengajar, saya yakin tidak semua?. Kita patut puji Diknas Sukabumi, karena sistem seleksi guru di Sukabumi telah menerapkan hal tersebut. Dan ini pula, yang mengakibatkan kualitas guru di bimbel dengan guru sekolah timpang dalam hal menyampaikan materi.
Lalu bagaimana kualitas guru di sekolah dan di bimbel? Tulisan Sanita (HU PR Selasa, 04/05/04) yang berjudul "Bisakah sistem bimbel diterapkan di sekolah" merupakan ide yang cemerlang, tapi tidak semua betul. Beberapa hal yang mebedakan kuaitas guru di bimbel lebih baik dalam hal menyampaikan materi adalah sebagai berikut.
1. Seleksi guru. Di bimbel, sudah tentu syaratnya harus lulusan PTN, karena dia harus jadi panutan bagaimana siswa menembus PTN, tapi guru PNS tentu tidak hanya lulusan PTN. Selain harus lulus ujian tertulis, calon guru bimbel pun harus menyampaikan cara mengajar yang baik, setelah lulus 2 hal tersebut, biasanya guru diuji coba selama satu bulan, kemudian dinilai oleh siswa melalui angket tertulis, laliu dipertimbangkan untuk mengajar tetap di bimbel tersebut atau tidak sama sekali.
2. Pembinaan guru. Minimalnya setahun sekali, guru-guru bimbel diberikan penyegaran oleh pengajar senior setempat (tentu kualitas keilmuan dan mengajarnya sangat baik). Hal ini dilakukan di Bimbel, tapi guru-guru sekolah melalui Diknas mendapatkan penyeegaran tidak sesering itu.
3. Kesejahteraan guru. Tanyakanlah pada guru-guru yang sudah mengajar di bimbel 5 tahun ke atas. Saya yakin gajinya di atas 2 juta sebulan (meskipun tidak semua), bagaimana di sekolah?. Tetapi, meskipun gaji guru di sekolah tidak lebih sampai 2 juta, guru sekolah punya jaminan kesehatan, tunjangan pensiun, tunjangan dapur, tetapi umumnya di bimbel tidak ada.
4. Fasilitas. Siapa yang tidak senang belajar dengan suasana nyaman, dengan AC, absensi dengan komputer, atau bahkan belajar dengan multimedia, tulisan pengajarnya bagus dan warna-warni (dengan spidol).
5. Guru entertainer. Hal ini yang sulit dimiliki guru, rasa tertekan oleh kondisi social membuat guru sekolah hampir praktis tidak punya rasa entertainer, misal humor, hiburan. Tapi tidak sedikit guru yang memiliki hal itu disekolah. Alasan saya saat SMA menyukai fisika atau kumia, karena guru fisikanya selalu bernyanyi saat siswa menulis, atau guru kimia selalu humor di tengahsiswa serius. Di bimbel sikap entertainer sudah menajdi tuntukan jika tidak ingin kalah bersaing. Keramahan juga merupakan sikap entertainer guru, sehingga guru bimbel selalu bersedia ditanya masalah pelajaran kapanpun.
6. Evaluasi belajar yang rapih. Sistem evaluasi dengan dengan komputerisasi, sehingga siswa dapat dievaluasi kelemahannya di materi atau pelajaran apa, umumnya dilakukan di bimbel.

Namun, tidak semua sistem di bimbel lebih bagus, bahkan banyak hal sistem isekolah lebih bagus. Sistem bimbel pun sulit diterapkan di pelosok, apalagi jika anggaranya terbatas. Keunggulan sekolah dibandingkan bimbel dapat dilihat dari beberapa berikut ini:
1. Di bimbel yang diajarkan hampir bersifat praktis, rata-rata bukanlah konsep dasar, bahkan adakalanya guru bimbel mengajarkan cara cepat yang tidak logis atau tidak dterangkan rumus cepat itu dari mnana. Di sekolah, sudah pasti yang diajarkan konsep dasar (keilmuan dasar), karena hal itu tuntutan kurikulum dari DIKNAS. Sehingga beban guru sekolah sebetulnya lebih berat. Tapi tidak sedikit guru bimbel yang mengajarkan konsep dasar. Guru sekolah, yang juga mengajar di bimbel, biasanya sering mengkombinasikan hal ini, konsep dasar diajarkan dan carac cepat pun diberikan. Guru ini biasanya menajdi favorit di sekolah
2. Di sekolah punya guru BP, tempat siswa curhat. Sayang, hal ini belum dioptimalkan oleh siswa. Namun saat ini, ada juga bimbel yang mengadakan konsultasi mental dalam mengahadapi ujian, sampai mendatangkan pakar otak kanan agar lebih menarik siswa, meskipun bayarannya lebih mahal.
3. Wibawa guru di sekolah sebetulnya lebih besar, siswa lebih segan pada guru sekolah. Tapi bandingkan di Bimbel, tidak sedikit siswa yang seenaknya melecehkan guru, terutama siswa kelas 2, tapi itupun tergantung pendekatan gurunya.

Era globalisasi di Indonesia sudah mulai, jadi Guru berkualitas pun sudah merupakan tuntutan dalam pendidikan nasional. Lalu seperti apa guru berkualitas itu? Tentu yang mengajarnya dimengerti siswa, wawasan keilmuannya baik, suri tauladan bagi pendidikan moral siswanya, dan punya keinginan untuk meng-up grade dirinya, dan totalitas bagi pendidikan. Jika melihat dari permasalah-permasalan yang ada, tentu meningkatkan kulitas guru di sekolah bukan hal yang mudah, tetapi saya punya beberapa pemikiran untuk hal tersebut.
1. Kesejahteraan guru sudah menjadi hal yang wajib untuk diperhatikan, agar posisi tawar guru lebih besar dalam tatanan republik ini. Artinya, jika suatu waktu ekonomi Indonesia membaik, wajar jika guru ditingkatkan kesejahteraanya. Di Negara-negara yang pendidikan maju seperti Jepang, Malaysia atau Singapura gaji guru lebih utama di bandingkan pegawai lain.
2. Dalam penyeleksian Guru hendaknya selalu diuji bagaimana guru menyampaikan materi pelajaran ke siswa, jika memang kurang baik mengajarnya, meskipun tes tertulis lulus lebih baik digagalkan. Atau, jika seleksi dosen ada tes psikotes, mengapa pada seleksi guru tidak dilakukan.
3. Sertifikasi guru dan pembinaan guru perlu dilakukan secara rutin, terutama bagi pengajar baru atau pengajar lama yang memang banyak dikeluhkan oleh siswa kurang baik mengajarnya. Pemerintah dalam hal ini Depdiknas harus tegar, jika guru tersebut tidak bisa mengajar, lebih baik dipindahkan di bagian lain. Jadi, Depdikas sebaiknya memiliki seksi yang memonitoring kualitas guru.
4. Fasilitas sangat mendukung keberhasilan sistem pendidikan. Jika Pemerintah serius terhadap pendidikan, maka fasilitas harus diperbaiki. Untuk halk ini, Pemerintah harus menganggarkan lebih banyak dalam APBN Pendidikan, karena masih banyak sekolah yang tidak layak pakai.
5. Reformasi 3 hal di atas, tentu memerlukan anggaran dana, oleh karena itu Pemerintah bersama legislatif harus berjuang keras agar APBN pendidikan ditingkatkan di atas 20 %.

Pengalaman saya menangani siswa SMA selama 10 tahun, bagaimanapun jenis kepandaian siswa, jika pendekatan dari gurunya benar, kemungkinan keberhasilan siswa sangat besar. Siswa SD, SMP, dan SMA sangat sekali tergantung pada guru. Jika gurunya menyenagkan, maka siswa itu akan sukan pada pelajaran yang gurunya menyenagkan. Faktor ini merupakan salah satu yang memepengaruhi siswa dalam memilih jurusan di Perguruan Tinggi (PT). Hingga saat ini, saya sangat suka kimia, sehingga saya dipercayakan menjadi dosen yang memegang kimi jurusan saya, hal ini dikarenakan guru-guru kimia saya saat kelas 1 hingga kelas 3 SMA menyenangkan, dan lulusan SMA saya umumnya memilih jurusan yang banyak kimianya di PT.
Saya yakin kecendurungan ini juga terjadi di sekolah lain, namun berbeda dengan di PT, idealisme mahasiswa lebih menentukan apa yang harus dia pilih. Mengingat hal di atas, maka Guru merupakan ujung tanduk di sekolah, jika gurunya berkualitas maka siswanya pun senang, tidak gentar hadapi UAN, bahkan SPMB sekalipun. Penulis adalah Staf LITBANG GANESHA OPERATION

Minggu, 05 April 2009

MANAJEMEN PESERTA DIDIK dalam MENGHADAPI KREATIFITAS ANAK

Artikel:
MANAJEMEN PESERTA DIDIK dalam MENGHADAPI KREATIFITAS ANAK

Judul: MANAJEMEN PESERTA DIDIK dalam MENGHADAPI KREATIFITAS ANAK
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama & E-mail (Penulis): KHUMAIDI TOHAR, S.Pd
Saya Guru di JAKARTA
Topik:
Tanggal: 12-10-2006


MANAJEMEN PESERTA DIDIK dalam MENGHADAPI KREATIVITAS ANAK
Penulis : Khumaidi Tohar

Suatu sistem pendidikan dapat dikatakan bermutu, jika proses belajar-mengajar berlangsung secara menarik dan menantang sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak mungkin melalui proses belajar yang berkelanjutan. Proses pendidikan yang bermutu akan membuahkan hasil pendidikan yang bermutu dan relevan dengan pembangunan. Untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu dan efisien perlu disusun dan dilaksanakan program-program pendidikan yang mampu membelajarkan peserta didik secara berkelanjutan, karena dengan kualitas pendidikan yang optimal, diharapkan akan dicapai keunggulan sumber daya manusia yang dapat menguasai pengetahuan, keterampilan dan keahlian sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang.
Untuk mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas diperlukan manajemen pendidikan yang dapat memobilisasi segala sumber daya pendidikan. Manajemen pendidikan itu terkait dengan manajemen peserta didik yang isinya merupakan pengelolaan dan juga pelaksanaannya. Fakta-fakta dilapangan ditemukan sistem pengelolaan anak didik masih menggunakan cara-cara konvensional dan lebih menekankan pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit dan kurang memberi perhatian kepada pengembangan bakat kreatif peserta didik. Padahal Kreativitas disamping bermanfaat untuk pengembangan diri anak didik juga merupakan kebutuhan akan perwujudan diri sebagai salah satu kebutuhan paling tinggi bagi manusia. Kreativitas adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan, menilai dan meguji dugaan atau hipotesis, kemudian mengubahnya dan mengujinya lagi sampai pada akhirnya menyampaikan hasilnya. Dengan adanya kreativitas yang diimplementasiakan dalam sistem pembelajaran, peserta didik nantinya diharapkan dapat menemukan ide-ide yang berbeda dalam memecahkan masalah yang dihadapi sehingga ide-ide kaya yang progresif dan divergen pada nantinya dapat bersaing dalam kompetisi global yang selalu berubah.
Perkembangan anak didik yang baik adalah perubahan kualitas yang seimbang baik fisik maupun mental. Tidak ada satu aspek perkembangan dalam diri anak didik yang dinilai lebih penting dari yang lainnya. Oleh karena itu, teori kecerdasan majemuk yang dikembangkan oleh psikolog asal Amerika Serikat, Gardner dinilai dapat memenuhi kecenderungan perkembangan anak didik yang bervariasi.
Penyelenggaraan pendidikan saat ini harus diupayakan untuk memberikan pelayanan khusus kepada peserta didik yang mempunyai kreativitas dan juga keberbakatan yang berbeda agar tujuan pendidikan dapat diarahkan menjadi lebih baik. Muhibbin Syah menjelaskan bahwa akar kata dari pendidikan adalah "didik" atau "mendidik" yang secara harfiah diartikan memelihara dan memberi latihan. Sedangkan "pendidikan", merupakan tahapan-tahapan kegiatan mengubah sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang melalui upaya pelatihan dan pengajaran. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan tidak dapat lepas dari pengajaran. Kegiatan dari pengajaran ini melibatkan peserta didik sebagai penerima bahan ajar dengan maksud akhir dari semua hal ini sesuai yang diamanatkan dalam undang-undang no. 20 tentang sisdiknas tahun 2003; agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam pendidikan, peserta didik merupakan titik fokus yang strategis karena kepadanyalah bahan ajar melalui sebuah proses pengajaran diberikan. Sebagai seorang manusia menjadi sebuah aksioma bahwa peserta didik mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing, mereka unik dengan seluruh potensi dan kapasitas yang ada pada diri mereka dan keunikan ini tidak dapat diseragamkan dengan satu aturan yang sama antara peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lain, para pendidik dan lembaga sekolah harus menghargai perbedaan yang ada pada diri mereka. Keunikan yang terjadi pada peserta didik memang menimbulkan satu permasalahan tersendiri yang harus diketahui dan dipecahkan sehingga pengelolaan murid (peserta didik) dalam satu kerangka kerja yang terpadu mutlak diperhatikan, terutama pertimbangan pada pengembangan kreativitas, hal ini harus menjadi titik perhatian karena sistem pendidikan memang masih diakui lebih menekankan pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit dan kurang memberikan perhatian kepada pengembangan kreatif peserta didik. Hal ini terjadi dari konsep kreativitas yang masih kurang dipahami secara holistic, juga filsafat pendidikan yang sejak zaman penjajahan bermazhabkan azas tunggal seragam dan berorientasi pada kepentingan-kepentingan, sehingga pada akhirnya berdampak pada cara mengasuh, mendidik dan mengelola pembelajaran peserta didik.
Kebutuhan akan kreativitas tampak dan dirasakan pada semua kegiatan manusia. Perkembangan akhir dari kreativitas akan terkait dengan empat aspek, yaitu: aspek pribadi, pendorong, proses dan produk. Kreativitas akan muncul dari interaksi yang unik dengan lingkungannya.Kreativitas adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan (masalah) ini, menilai dan mengujinya. Proses kreativitas dalam perwujudannya memerlukan dorongan (motivasi intristik) maupun dorongan eksternal.
Motivasi intrinstik ini adalah intelegensi, memang secara historis kretivitas dan keberbakatan diartikan sebagai mempunyai intelegensi yang tinggi, dan tes intellejensi tradisional merupakan ciri utama untuk mengidentifikasikan anak berbakat intelektual tetapi pada akhirnya hal inipun menjadi masalah karena apabila kreativitas dan keberbakatan dilihat dari perspektif intelejensi berbagai talenta khusus yang ada pada peserta didik kurang diperhatikan yang akhirnya melestarikan dan mengembang biakkan Pendidikan tradisional konvensional yang berorientasi dan sangat menghargai kecerdasan linguistik dan logika matematik. Padahal, Teori psikologi pendidikan terbaru yang menghasilkan revolusi paradigma pemikiran tentang konsep kecerdasan diajukan oleh Prof. Gardner yang mengidentifikasikan bahwa dalam diri setiap anak apabila dirinya terlahir dengan otak yang normal dalam arti tidak ada kerusakan pada susunan syarafnya, maka setidaknya terdapat delapan macam kecerdasan yang dimiliki oleh mereka.
Salah satu cara dalam memecahkan masalah ini adalah pengelolaan pelayanan khusus bagi anak-anak yang punya bakat dan kreativitas yang tinggi, hal ini memang telah diamanatkan pemerintah dalam undang-undang No.20 tentang sistem pendidikan nasional 2003, perundangan itu berbunyi " warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus". Pengertian dari pendidikan khusus disini merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan-pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pada akhirnya memang diperlukan adanya suatu usaha rasional dalam mengatur persoalan-persoalan yang timbul dari peserta didik karena itu adanya suatu manajemen peserta didik merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan.
Siswa berbakat di dalam kelas mungkin sudah menguasai materi pokok bahasan sebelum diberikan. Mereka memiliki kemampuan untuk belajar keterampilan dan konsep pembelajaran yang lebih maju. Untuk menunjang kemajuan peserta didik diperlukan modifikasi kurikulum. Kurikulum secara umum mencakup semua pengalaman yang diperoleh peserta didik di sekolah, di rumah, dan di dalam masyarakat dan yang membantunya mewujudkan potensi-potensi dirinya. Jika kurikulum umum bertujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan pendidikan pada umumnya, maka saat ini haruslah diupayakan penyelenggaraan kurikulum yang berdiferensi untuk memberikan pelayanan terhadap perbedaan dalam minat dan kemampuan peserta didik. Dalam melakukan kurikulum yang berbeda terhadap peserta didik yang mempunyai potensi keberbakatan yang tinggi, guru dapat merencanakan dan menyiapkan materi yang lebih kompleks, menyiapkan bahan ajar yang berbeda, atau mencari penempatan alternatif bagi siswa. Sehingga setiap peserta didik dapat belajar menurut kecepatannya sendiri.
Dalam paradigma berpikir masyarakat Indonesia tentang kreativitas, cukup banyak orangtua dan guru yang mempunyai pandangan bahwa kreativitas itu memerlukan iklim keterbukaan dan kebebasan, sehingga menimbulkan konflik dalam pembelajaran atau pengelolaan pendidikan, karena bertentangan dengan disiplin. Cara pandang ini sangatlah tidak tepat. Kreativitas justru menuntut disiplin agar dapat diwujudkan menjadi produk yang nyata dan bermakna. Displin disini terdiri dari disiplin dalam suatu bidang ilmu tertentu karena bagaimanapun kreativitas seseorang selalu terkait dengan bidang atau domain tertentu, dan kreativitas juga menuntut sikap disiplin internal untuk tidak hanya mempunyai gagasan tetapi juga dapat sampai pada tahap mengembangkan dan memperinci suatu gagasan atau tanggungjawab sampai tuntas.
Masa depan membutuhkan generasi yang memiliki kemampuan menghadapi tantangan dan perubahan yang terjadi dalam era yang semakin mengglobal. Tetapi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia saat ini belum mempersiapkan para peserta didik dengan kemampuan berpikir dan sikap kreatif yang sangat menentukan keberhasilan mereka dalam memecahkan masalah. Kebutuhan akan kreativitas dalam penyelenggaraan pendidikan dewasa ini dirasakan merupakan kebutuhan setiap peserta didik. Dalam masa pembangunan dan era yang semakin mengglobal dan penuh persaingan ini setiap individu dituntut untuk mempersiapkan mentalnya agar mampu menghadapi tantangan-tantangan masa depan. Oleh karena itu, pengembangan potensi kreatif yang pada dasarnya ada pada setiap manusia terlebih pada mereka yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa perlu dimulai sejak usia dini, Baik itu untuk perwujudan diri secara pribadi maupun untuk kelangsungan kemajuan bangsa.
Dalam pengembangan bakat dan kreativitas haruslah bertolak dari karakteristik keberbakatan dan juga kreativitas yang perlu dioptimalkan pada peserta didik yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Motivasi internal ditumbuhkan dengan memperhatikan bakat dan kreativitas individu serta menciptakan iklim yang menjamin kebebasan psikologis untuk ungkapan kreatif peserta didik di lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat.
Merupakan suatu tantangan bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia untuk dapat membina serta mengembangkan secara optimal bakat, minat, dan kemampuan setiap peserta didik sehingga dapat mewujudkan potensi diri sepenuhnya agar nantinya dapat memberikan sumbangan yang bermakna bagi pembangunan masyarakat dan negara.
Teknik kreatif ataupun taksonomi belajar pada saat ini haruslah berfokus pada pengembangan bakat dan kreativitas yang diterapkan secara terpadu dan berkesinambungan pada semua mata pelajaran sesuai dengan konsep kurikulum berdiferensi untuk siswa berbakat. Dengan demikian diharapkan nantinya akan dihasilkan produk-produk dari kreativitas itu sendiri dalam bidang sains, teknologi, olahraga, seni dan budaya.