Senin, 18 Mei 2009

Perpustakaan Sekolah Sarana Peningkatan Minat Baca

Heri Abi Burachman Hakim

Staff Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM

Saat ini minat baca masih menjadi perkerjaan rumah yang belum terselesaikan bagi bangsa Indonesia. Berbagai program telah dilakukan untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Pemerintah, praktisi pendidikan, LSM dan masyarakat yang perduli pada kondisi minat baca saat ini telah melakukan berbagai kegiatan yang diharapkan mampu meningkatkan apresiasi masyarakat untuk membaca, akan tetapi berbagai program tersebut belum memperoleh hasil maksimal

Untuk mewujudkan bangsa berbudaya baca, maka bangsa ini perlu melakukan pembinaan minat baca anak. Pembinaan minat baca anak merupakan langkah awal sekaligus cara yang efektif menuju bangsa berbudaya baca. Masa anak-anak merupakan masa yang tepat untuk menanamkan sebuah kebiasaan, dan kebiasaan ini akan terbawa hingga anak tumbuh dewasa atau menjadi orang tua. Dengan kata lain, apabila sejak kecil seseorang terbiasa membaca maka kebiasaan tersebut akan terbawa hingga dewasa.

Pada usia sekolah dasar, anak mulai dikenalkan dengan hurup, belajar mengeja kata dan kemudian belajar memaknai kata-kata tersebut dalam satu kesatuan kalimat yang memiliki arti. Saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menanamkan kebiasaan membaca pada anak. Setelah anak-anak mampu membaca, anak-anak perlu diberikan bahan bacaan yang menarik sehingga mampu menggugah minat anak untuk membaca buku. Minat baca anak perlu dipupuk dengan menyediakan buku-buku yang menarik dan representatif bagi perkembangan anak sehingga minat membaca tersebut akan membentuk kebiasaan membaca. Apabila kebiasaan membaca telah tertanam pada diri anak maka setelah dewasa anak tersebut akan merasa kehilangan apabila sehari saja tidak membaca. Dari kebiasaan individu ini kemudian akan berkembang menjadi budaya baca masyarakat.

Akan tetapi pembinaan minat baca anak saat ini sering terbentur dengan masalah ketersediaan sarana baca. Tidak semua anak-anak mampu mendapatkan buku yang mampu mengugah minat mereka untuk membaca. Faktor ekonomi atau minimnya kesadaran orang tua untuk menyediakan buku bagi anak menyebabkan anak-anak tidak mendapatkan buku yang dibutuhkan. Tidak tersedianya sarana baca merupakan masalah besar dalam pembinaan minat baca anak. Anak-anak tidak dapat memanjakan minat bacanya karena tidak tersedia sarana baca yang mampu menggugah minat anak untuk membaca. Padahal pembinaan minat baca anak merupakan modal dasar untuk memperbaiki kondisi minat baca masyarakat saat ini.

Untuk mengatasi masalah ketersedian sarana baca anak dapat dilakukan dengan memanfaatkan eksistensi perpustakaan sekolah. Perpustakaan sekolah dapat difungsikan sebagai institusi penyedia sarana baca cuma-cuma bagi anak-anak. Melalui koleksi yang dihimpun perpustakaan, perpustakaan sekolah mampu menumbuhkan kebiasaan membaca anak.

Tetapi amat disayangkan, perpustakaan sekolah yang dijadikan ujung tombak dalam pembinaan minat baca anak justru dalam kondisi yang memprihatikan. Bahkan saat ini banyak sekolah dasar yang belum memiliki perpustakaan. Data Deputi Pengembangan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mengungkapkan bahwa hanya 1% dari 260.000 sekolah dasar negeri yang memiliki perpustakaan (Kompas, 25/7/02). Keadaan ini tentu bertolak balakang dengan Undang-undang nomor 2 pasal 35 tahun 1989 tentang system pendidikan nasional yang menyatakan bahwa setiap sekolah diwajibkan memiliki perpustakaan. ironis bukan, mana mungkin minat baca anak dapat terbina apabila sekolah tidak memiliki perpustakaan yang menyediakan buku sebagai sarana baca bagi siswa (anak).

Walaupun ada sekolah yang memiliki perpustakaan sekolah, perpustakaan sekolah belum dikelola dengan baik. Hanya sekolah-sekolah unggulan dan sekolah yang sadar akan pentingnya perpustakaan, memiliki perpustakaan yang dikelola secara baik oleh tenaga profesional.

Banyak perpustakaan sekolah yang pengelolaanya terkesan “yang penting jalan”. Hal ini terlihat dari segi koleksi, sarana perpustakaan serta tenaga pengolola perpustakaan sendiri. Koleksi perpustakaan sebagian besar berisi buku-buku paket sehingga kurang mampu menarik minat siswa untuk mengakses perpustakaan. Sarana dan prasarana perpustakaan yang seadaanya menyebabkan suasana perpustakaan kurang nyaman. Selain itu banyak perpustakaan sekolah yang tidak dikelola oleh tenaga profesional di bidang perpustakaan, perpustakaan dikelola oleh guru pustakawan (guru yang merangkap sebagai pengelola perpustakaan) yang memiliki tanggung jawab utama sebagai pengajar menyebabkan pengelolaan perpustakaan tidak optimal.

Sudah saatnya kondisi perpustakaan sekolah dasar diperbaiki. Perbaikan ini akan mewujudkan berpustakaan sebagai penyedia sarana baca ideal bagi anak-anak. Perbaikan ini akan memotivasi anak-anak untuk berkunjung dan membaca koleksi perpustakaan. Perbaikan yang dapat dilakukan antara lain, Pertama, koleksi perpustakaan terus ditingkatkan baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Sudah saatnya perpustakaan tidak hanya berisi buku-buku paket, koleksi perpustakaan juga dapat berupa buku-buku bacaan yang mampu menarik minat siswa untuk membacanya. Selain itu perpustakaan dapat juga melengkapi koleksinya dengan koleksi audiovisual sehingga tidak memberikan kesan layanan yang monoton.

Kedua, sarana atua perabot perpustakaan perlu dilengkapi, perpustakaan dapat dilengkapi dengan pendingin udara, televisi dan komputer multimedia. Perabotan perpustakaan perlu didesain dan disusun sesuai dengan kondisi fisik anak-anak sehingga dapat memberikan kesan nyaman bagi anak. Ruang perpustakaan juga dapat dicat warna-warni dan dilukis gambar lucu sehingga menghilangkan kesan formil perpustakaan. Dengan perubahan kondisi fisik perpustakaan ini akan memberikan kesan nyaman anak berada diperpustakaan sehingga anak-anak akan rajin datang ke perpustakaan.

Ketiga, masalah SDM perpustakaan juga perlu mendapatkan perhatian. Perpustakaan harus dikelola oleh tenaga yang memiliki keahlian serta berlatar belakang ilmu perpustakaan, dokumentasi dan informasi. SDM memiliki latar belakang ilmu perpustakaan tentu mengerti bagaimana mengelola serta mengembangkan perpustakaan berdasarkan kaidah ilmu perpustakaan. Memberikan tanggung jawab pegelolaan perpustakaan kepada guru perlu dikaji ulang, guru yang memiliki tugas utama sebagai tenaga pengajar tidak akan mampu maksimal dalam pengembangan perpustakaan karena harus membagi waktunya untuk mengajar. Perpustakaan akan tutup apabila guru tersebut mendapat tugas mengajar. Keadaan semacam ini tentu dapat menghambat proses pembinaan minat baca anak.

Keempat, sebenarnya masalah terbatasan koleksi, sarana perpustakaan serta minimnya SDM perpustakaan disebabkan karena keterbatasan dana. Keterbatasan dana menyebabkan perpusakaan tidak mampu membeli buku, melengkapi sarana perpustakaan serta membayar tenaga profesional untuk mengelola perpustakaan. Sebagai solusinya di perlukan perhatian pemerintah, pengelola sekolah serta peran aktif wali murid. Pemerintah perlu memberikan perhatian bagi pengembangan perpustakaan sekolah. Perhatian itu dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian dana bantuan pengembangan perpustakaan sekolah, kebijakan yang merangsang perkembangan perpustakaan sekolah serta penghargaan kepada mereka yang berjasa dalam mengembangkan perpustakaan. Pihak sekolah juga dapat mengoptimalkan keberadaan wali murid yang terhimpun dalam komite sekolah dalam pengembangan perpustakaan sekolah. Wali murid dapat dimintai bantuan dalam hal pendanaan perpustakaan. Tentunya. Wali murid tidak akan segan mengeluarkan biaya bagi pengembangan sekolah karena manfaatkan perpustakaan akan kembali kepada putra-putri mereka. Selain itu pihak sekolah juga dapat menyusun proposal pengembangan perpustakaan dan mengajukannya ke perusahaan, instansi atau individu yang memiliki perhatiaan dibidang pendidikan, minat baca dan perpustakaan.

Dengan berbagai perbaikan diatas maka perpustakaan akan semakin menarik. Perubahan yang menjadi motivasi bagi siswa untuk mengakses perpustakaan. Apabila perbaikan ini dilakukan dari sekarang maka 10 atau 15 tahun kedepan Indonesia akan menjadi bangsa yang gemar membaca. Dengan demikian berakhir sudah permasalahan minat baca yang seolah-olah menjadi perkejaan rumah yang tidak terselesaikan sampai saat ini.

Rp20,5 Miliar DAK Selesaikan Pembangunan 82 SD di Nias

Gunugsitoli, (Analisa)

Sebesar Rp20,5 miliar Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang pendidikan Tahun Anggara (TA) 2007, selesaikan pembangunan dan rehabilitasi serta pengadaan berbagai fasisitas sarana dan prasarana di 82 sekolah Dasar (SD) di Nias.

Kasubdis Sarana dan Prasarana Dinas Pendidikan pendidaikan Nasional, Senin (9/6) di ruang kerjanya mengatakan, pada pelaksanaan DAK itu Dinas pendidikan tetap berpedoman pada petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Nasional nomor 4 tahun 2007.

Penggunaan dana sebesar itu di masing-masing sekolah sesuai petunjuk acuan yakni pertama rehabilitasi fisik persekolah Rp150 juta, khusus untuk kegiatan pembangunan /rehabilitasi rumah dinas apabila tidak ada atau tidak diperlukan maka dananya dialihkan untuk rehabilitasi gedung sekolah/ruang kelas atau pengadaan rehabilitasi sumber dan sanitasi air bersih serta kamar mandi dan wc serta pengadaan perbaikan ruang kelas. Sehingga setiap 1 unit sekolah selain pembangunan fisik di tambahkan pengadaan sarana-prasarana sekolah.

Hasil liputan Analisa di SDN Nomor 070987 Fadoro Kecamatan Gunungsitoli, telah dibangun 3 lokal rehabilitasi berat (RB) ruang kelas sanitasi dan pengadaan komputer dan mesintik serta buku-buku perpustakaan sekolah, sehingga aktifitas proses belajar mengajar di sekolah itu berjalan lancar dari bulan sebelumnya karena adanya sarana dan prasarana sekolah yang memadai, jelas kepala SDN Fadoro. F. Telaumbanua yang telah 24 tahun menjadi guru biasa tapi kini telah menjadi seorang kepala sekolah itu.

Di SDN 076059 Hololawa kecamatan Gunungsitoli Alo’oa gedung tersebut yang tidak banyak digunakan sebagai tempat proses belajar mengajar telah dibangun dengan baik dan berbagai sarana prasarana juga ada dari DAK. Aku, kepala sekolah B. Laoly fasilitasi itu telah menambah dukungan besar bagi kegiatan proses belajar mengajar di sekolah itu.

Harapannya masih banyak sekolah lain yang tersebar di Nias sangat membutuhkan berbagai sarana prasarana sekolah sebagai pendukung proses belajar mengajar yang sangat kurang selama ini dan fasilitas tersebut begitu diperlukan para guru dan para murid demi mengejar perkembangan pendidikan saat ini, harap kepsk Hololawa dan Kepsek Fadoro. (esp) (Analisa, 12/06/08)

Pendidikan Masih Tertinggal, Syafrizal: Sarana dan Prasarana Masih Minim


PDF Print E-mail
Wednesday, 01 August 2007
Dunia pendidikan merupakan salah satu sektor yang menentukan kualitas sumber daya manusia. Dengan meningkatnya mutu pendidikan di satu daerah maka akan lahir SDM berkualitas yang akan menjadi motor penggerak pembangunan. Di bidang pendidikan, Kabupaten Solok Selatan masih tertinggal dibanding daerah lainnya di Sumbar, baik dibidang infrastruktur maupun mutu.

Permasalahan pendidikan di Solok Selatan ini diungkapkan Bupati Solok Selatan Syafrizal J, Jumat (27/7) saat menerima kunjungan kerja rombongan direktorat Jenderal (Dirjen) Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK). Rombongan Dirjen PMPTK ini terdiri dari 3 Kepala PPPPTK dan 1 orang Kasubdit, yaitu Hery Sukarman, MSc (IPA Bandung), Dr. Muhammad Hatta (Bahasa Jakarta), Drs. Kasman (Matematika Yogyakarta), Ir. Hendarman, MSC, Ph.A (Kasubdit program direktorat pendidikan dan pelatihan).Dalam paparannya Syafrizal mengatakan, permasalahan pendidikan di Solok Selatan masih berkutat oleh masih minimnya sarana dan prasarana. Selain itu Solok Selatan juga masih kekurangan dibidang tenaga pengajar, “Permasalahan kekurangan sarana dan tenaga pengajar ini tentunya berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan, dan kami berharap dengan kedatangan rombongan Dirjen PMPTK maka persoalan bidang pendidikan di Solok Selatan ini dapat menjadi bahan bagi Departemen Pendidikan Nasional untuk diprioritaskan penyelesaiannya,” ungkapnya.

Kekurangan tenaga dibidang pendidikan ini menurut Syafrizal, antara lain tenaga kependidikan untuk tata usaha, pengolah data (computer), pustakawan dan tenaga labor. Sementara itu pada bangunan fisik seperti labor dan ruang perpustakaan juga serba kekurangan. Untuk tingkat SLTA dari 12 SLTA yang ada belum satupun yang memiliki perpustakaan yang representative termasuk peralatannya. Pada tingkat SLTP, dengan jumlah sekolah sebanyak 28 buah juga belum dengan perpustakaan.Sedangkan di SMK yang terdiri dari beberapa rumpun diantaranya teknologi, pertanian, peternakan, administrasi, masih banyak kekurangan sarana pembelajaran untuk pendukung seperti peralatan labor, alat praktek dan lain-lain. Sarana lain untuk peningkatan mutu seperti ketersediaan labor biologi, kimia, fisika dan computer masih banyak sekolah yang belum memilikinya.

Di bidang bangunan fisik, juga masih memerlukan perbaikan dan penyelesaian rehabilitasi gedung sekolah. Sementara kita terus dituntut untuk menuntaskan wajar 9 tahun peningkatan kwalifikasi guru, pendidikan luar sekolah (PLS), pendidikan anak usia dini (PAUD) dan penuntasan buta aksara. Semua ini merupakan prioritas penting dan penyelesaian persoalan di dunia pendidikan. Kunjungan kerja rombongan Dirjen tersebut dihadiri oleh kurang lebih 424 orang kepala sekolah TK, SD, SMP, SMA serta kepala UPTD Pendidikan dan pengawas Bupati berharap ketertinggalan kabupaten Solok Selatan dibidang pendidikan ini, dapat dijadikan cambuk bagi stakeholder yang berperan dalam menan gain masalah pendidikan terutama dinas pendidikan. (*)

Salamat, SHi, Ketua Komisi B DPRD Solok Selatan Kelola Dengan Tenaga Yang Berkompeten

BELUM kompetitifnya bidang pendidikan Solok Selatan saat ini bukan hanya disebabkan oleh masih minimnya sarana prasarana dan kurangnya tenaga pengajar. Tapi juga disebabkan oleh manajereal bidang pendidikan yang belum maksimal.

Hal ini terbukti dengan pengelolaan anggaran yang masih sering lamban dan pengelolaan data base kepegawaian bidang pendidikan yang masih kurang baik.Dalam pendataan ini dinas pendidikan seharusnya telah memiliki data yang valid dengan pola up to date yang terencana. Sehingganya, pemetaan kepegawaian bisa terpantau.

Jika hal ini bisa dilaksanakan dengan baik maka tidak ada lagi penumpukan tenaga guru di satu sekolah, sedangkan sekolah yang lain kekurangan. Dalam program pembangunan yang melalui proses tender, proyek-proyek pembangunan fisik masih juga terdapat proyek terbengkalai. Terbengkalainya pembangunan fisik tak hanya kesalahan dari para kontraktor tetapi juga dari sistem pengawasan yang lemah. Hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah dalam setiap kegiatan, diharapkan kepada pihak eksekutif yang berwenang mengambil kebijakan untuk dapat menempatkan pimpinan kegiatan yang berkompeten dibidangnya. (mg6

Ketidak Adilan Dalam Kebijkan Pendidikan

Judul: Ketidak Adilan Dalam Kebijkan Pendidikan
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan.
Nama & E-mail (Penulis): M. Nahdi
Saya Guru di MTs. di Pancor Lombok Timur
Topik: Relevansi Kebijakan Pendidikan Terhadap Mutu Lulusan
Tanggal: 10 Oktober 2004

KETIDAK ADILAN
DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Oleh ; M. Nahdi

Persoalan yang senantiasa menjadi sorotan dalam dunia pendidikan masih saja seputar kualitas output (lulusan) yang ditandai dengan rendahnya standar nilai ujian akhir nasional yang ditetapkan pemerintah. Rendahnya standar yang ditetapkan pemerintah ini secara tidak langsung menggambarkan harapan kita terhadap kualitas lulusan yang rendah pula. Namun demikian di sisi lain ternyata bahwa, sebagian besar para praktisi pendidikan di lapangan sangat "resah" dengan adanya aturan penetapan standar kelulusan siswa tersebut, mengingat kualitas prosesnya yang masih belum dapat menjamin pencapaian angka standar.

Standar 4,0 memang suatu angka yang relatif sangat rendah untuk dapat diterima sebagai suatu gambaran terhadap kualitas hasil dari proses pendidikan yang kita harapkan. Namun demikianlah realitas yang ada. Sementara bagi sebagian besar pihak praktisi di lapangan yang sangat memahami kualitas proses yang dilakukan menganggap itu (baca; 4,0) sebagai standar yang sangat tinggi untuk dapat dicapai oleh para siswanya.

Padahal menurut asumsi saya bahwa, standar 4,0 yang diatur oleh pemerintah tidak didasarkan atas target mutu hasil yang dicita-citakan. Akan tetapi lebih merupakan hasil penyesuaian terhadap kenyataan di lapangan. Dan Penetapan angka 4,0 ini tidak dapat memberikan cukup energi bagi para praktisi untuk memacu kinerja dan meningkatkan kualitas proses pendidikan. Apalagi untuk mencapai standar tersebut masih mentolerir adanya kebijaksanaan untuk merekayasa proses pelaksanaan ujian oleh pengawas ujian dan rekayasa pemberian nilai oleh panitia ujian/guru. Sehingga kita tidak pernah benar-benar dapat memperoleh gambaran tentang mutu hasil dari proses pendidikan yang kita lakukan.

Meski demikian ada juga sebagian kecil sekolah yang dapat melampaui standar yang ditetapkan pemerintah dengan mudah. Hal ini menggambarkan adanya disparitas mutu pendidikan, dan kenyataannya memang disparitas yang terjadi cukup tajam. Ketika misalnya kita mencoba membandingkan antara sekolah negeri dengan swasta, kemudian antara sekolah yang berada di bawah lingkungan Departemen Pendidikan Nasional dengan yang berada di bawah Departemen Agama, maka terlihat dengan jelas terjadi perbedaan yang sangat tajam dari aspek kulitas proses dan kualitas hasil. Contoh yang lebih kongkrit misalnya antara SMU Negeri 1 Mataram dengan SMU Muhammadiyah Masbagaik (antara negeri dan swasta), terjadi disparitas mutu hasil dan mutu proses yang sangat tajam. Contoh lain misalnya, antara SMU 1 Selong dengan Madrasah Aliyah NW Lendang Nangka (antara Lembaga pendidikan dibawah Depdiknas/negeri dengan Depag/swasta) nampak terjadi hal (disparitas) yang sama tajam.

Persoalan disparitas dalam aspek kualitas proses dan kualitas hasil pendidikan ini, disamping faktor-faktor yang lain, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh ketidak adilan pemerintah dalam menerapkan kebijakan bidang pendidikan. Hal ini (ketidak adilan dalam penerapan kebijakan bidang pendidikan), sangat dirasakan terutama oleh lembaga pendidikan swasta (private education) misalnya dalam distribusi bantuan anggaran biaya operasional pendidikan, distribusi bantuan tenaga kependidikan (guru) ke sekolah-sekolah, distribusi bantuan baik yang berbentuk pengadaan sarana-prasarana dan fasilitas pendidikan, distribusi pemberian beasiswa, distribusi peluang dan kesempatan mengakses informasi tentang pendidikan, dsb.

Persoalan ketidak adilan pemerintah ini bahkan juga dirasakan sangat jelas oleh para guru terutama oleh mereka yang berada di sekolah-sekolah swasta, misalnya dalam mengakses peluang dan kesempatan bahkan informasi untuk membina dan meningkatkan karir profesi keguruan. Demikian juga lembaga pendidikan swasta selama ini sering menjadi obyek pungli bagi oknum pejabat dan pengawas pendidikan.

Di sisi lain pada sekolah-sekolah negeri, pemerintah hampir memberikan seluruh biaya operasional, berbagai jenis bantuan sarana dan fasilitas, tenaga guru, dan bahkan akses informasi lebih besar dibandingkan dengan sekolah-sekolah swasta. Meski demikian masih banyak sekolah negeri yang memungut "uang iuran pendidikan" (atau dengan istilah yang lain) yang cukup besar, dan bahkan lebih besar dari lembaga pendidikan swasta. Hal ini semakin menambah beban orang tua, sehingga banyak yang mengeluhkan semakin tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh pendidikan pada lembaga pendidikan negeri.

Ironisnya pemahaman tentang konsep Managemen Berbasis Sekolah (MBS) yang sedang dikembangkan dengan eksisnya lemabga baru Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan, lebih dimaknai sebagai sebuah pergeseran kewenangan dari sekolah ke komite untuk memutuskan jumlah dan jenis pungutan uang iuran dari orang tua siswa. Jadi paradigma komite sekolah sebenarnya sama dengan BP3, karena dalam praktiknya yang terjadi tidak ada unsur kreatifitas komite untuk mencari dan memobilisasi sumber dana dari masyarakat kecuali dari orang tua siswa untuk membantu proses pendidikan di sekolah. Dan kenyataanya jumlah pungutan semakin besar dan jenisnya semakin banyak kepada orang yang sama, sehingga terjadi banyaknya keluhan orang tua siswa terhadap semakin tingginya biaya pendidikan anak.

Terhadap persoalan distribusi bantuan tenaga kependidikan (guru), juga menunjukkan ketidak adilan yang sangat nyata baik secara kualitatif maupun kuantitatif diberikan kepada sekolah negeri. Sehingga terkesan pemerintah lebih ingin menunjukkan diri sebagai pemain pendidikan yang siap berkompetisi secara tidak adil dengan masyarakat (swasta), dari pada sebagai regulator yang mengatur dan menciptakan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya kompetisi yang sehat antar masyarakat (lembga pendidikan) itu sendiri.

Terhadap distribusi bantuan sarana prasarana dan fasilitas seperti pengadaan buku & alat pelajaran, saya kira kita semua tahu terjadi ketimpangan yang luar biasa misalnya di beberapa sekolah negeri terdapat buku-buku dan alat pelajaran yang kurang efektif karena jumlahnya banyak. Sementara di sekolah-sekolah swasta tidak ada, kecuali sekolah itu mampu membeli sendiri.

Dalam distribusi beasiswa, juga terdapat kebijakan yang kurang memenuhi rasa keadilan misalnya dari segi jumlah penerima beasiswa di sekolah swasta selalu lebih sedikit dari sekolah negeri, padahal kenyataan menunjukkan bahwa, orang tua yang relatif mampu secara ekonomi kecenderungannya memasukkan anaknya ke sekolah negeri. Dan bagi yang tidak mampu lebih memilih ke sekolah swasta. Alasan utamanya sebagian besar bukan karena kemampuan/prestasi intelektual anaknya yang rendah, tetapi lebih dominan karena biaya pendidikan di sekolah negeri terlalu tinggi.

Kemudian dalam hal distribusi peluang untuk mengakses informasi dan kebijakan pendidikan juga terdapat ketidak adilan misalnya, untuk sosialisasi kebijakan dan sistem pendidikan, selalu saja yang menjadi sasaran utama adalah guru-guru/sekolah negeri, sedangkan sekolah swasta terasa sangat kurang mendapat perhatian. Sehingga pemahaman tentang kurikulum/sistem pendidikan dan berabagai kebijkan di bidang pendidikan kurang konprehenship untuk dapat diimplementasikan dengan baik oleh mereka (tenaga kependidikan) yang berada di sekolah-sekolah swasta.

Demikianlah pemerintah tidak berupaya menciptakan kondisi yang kondusif bagi lembaga pendidikan swasta untuk dapat berkompetisi dengan sekolah negeri secara adil. Padahal kalau kita pahami subyek sekaligus obyek pendidikan (siswa) itu baik di sekolah swasta maupun negeri semuanya adalah anak bangsa, warga negara yang memiliki hak sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 45 termasuk hasil amandemen.

Kenyataan ketidakadilan pemerintah dalam menerapkan kebijakan di bidang pendikan telah menunjukkan bahwa pemerintah kurang apresiatif terhadap inisiatif masyarakat untuk membangun dan mengelola sebuah lembaga pendidikan dalam rangka membantu pemerataan pendidikan bagi seluruh warga negara. Hal ini juga memberikan kesan bahwa hanya pemerintah yang mampu berhasil dalam mengelola pendidikan dengan kualitas yang baik.

Jika hal ini (ketidak adilan dalam kebijakan pendidikan) dibiarkan terus maka, akan timbul bahkan sudah terjadi sikap apatis yang akan mematikan semangat dari sekolah/madrasah swasta untuk mau dan mampu berkompetisi dengan sekolah negeri secara berkeadilan.

Implikasi yang nyata dari ketidak adilan ini adalah terjadinya disparitas mutu hasil pendidikan yang sangat tajam. Bagaimana mungkin untuk kurikulum (materi), tujuan , target penguasaan materi dan dengan alat ukur yang sama kita dapat memperoleh hasil yang sama apabila sarana-prasarana, fasilitas, finansial, dan tenaga kependidikan yang jauh berbada secara kualitas maupun kuantitasnya. Mutu hasil pendidikan sangat ditentukan oleh tingkat kualitas proses. Sementara kualitas proses sangat dipengaruhi oleh keberadaan fasilitas, sarana, tenaga guru (SDM), serta finansial.

Pancor, 26 Agustus 2004

Saya M. Nahdi setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

CATATAN:
Artikel-artikel yang muncul di sini akan tetap di pertanggungjawabkan oleh penulis-penulis artikel masing-masing dan belum tentu mencerminkan sikap, pendapat atau kepercayaan Pendidikan Network.

Sekolah-MenengahCari-PekerjaanTeknologi&PendidikanPengembangan-Sekolah



Print Halaman Ini

UN Harus Diikuti Peningkatan Sarana dan Prasarana Sekolah

Senin, 7 April 2008 | 15:44 WIB

JAKARTA, SENIN - Ujian Nasional (UN) sebagai standar mutu pendidikan hendaknya diikuti dengan peningkatan sarana dan prasarana sekolah serta tenaga guru. Jika tidak standar mutu yang ditetapkan selalu minimalis. Demikian komentar Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komarudin Hidayat terhadap UN saat ditemui dalam acara peluncuran Program Open, Distance and E-Learning untuk Transformasi Masyarakat Islam Melalui Pesantren di Hotel Nikko, Jakarta, Senin (7/4).

"Menurut saya jika penetapan standar tidak diikuti fasilitas sarana dan guru, maka implikasinya UN standarnya tidak naik-naik, selalu minimalis, selalu kalah bersaing dengan negara lain," kata Komarrudin.

Penyelenggaraan UN tanpa melengkapi sarana dan prasarana di seluruh wilayah Indonesia, lanjut Komarrudin juga merupakan ketidakadilan bagi mereka yang tidak memiliki fasilitas dan tenaga guru yang memadai. "Seperti sekolah-sekolah di daerah terpencil yang bangunannya tidak layak, gurunya cuma satu, sekolahnya bocor, kalau diperlakukan sama, yah kasihan," katanya.

Saat ditanya tentang pro kontra UN dijadikan sebagai syarat kelulusan, Komarrudin menjawab, "Karena (UN) sudah berjalan, kita ikuti saja, lalu disurvei plus-minusnya. Kalau saya belum bisa (memilih pro atau kontra) karena saya belum punya data-data yang akurat. Kita nggak bisa ngomong pernyataan politik tanpa ada data yang akurat, kalau selama ini kecenderungan orang kan hanya opini."

Sementara itu, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan saat ini tidak ada keresahan dalam masyarakat mengenai UN, semua pihak mendukung. "Tidak ada keresahan, yang ada kesigapan. Saya baca dimana-mana, baik koran pusat dan daerah, pemerintah daerah maupun orang tua supaya memberikan dukungan yang resahkan cuma wartawan," ujarnya.

2008 Fokuskan Rehab dan Pembangunan Sarana Prasarana Sekolah


Bogor, Pelita
Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor akan mengusulkan rehabilitasi 214 gedung Sekolah Dasar Negeri (SDN) yang tersebar di 40 kecamatan di Kabupaten Bogor pada 2008.
Selain rehab, Disdik juga mengusulkan pembangunan ruang kelas baru (RKB) untuk 61 sekolah, relokasi empat sekolah, pembangunan enam Unit Gedung Baru (UGB), dan revitalisasi satu sekolah.
Selain sekolah dasar, pada anggaran tahun 2008 mendatang Disdik juga mengusulkan rehabilitasi 14 SMPN, penambahan ruang kelas baru untuk 12 SMPN, pembangunan tiga USB SMPN, revitalisasi lanjutan SMPN 1 Ciawi, dan pengadaan lahan untuk lima SMPN.
Sementara untuk SMA, akan diusulkan pengadaan lahan untuk lima SMAN, perluasan SMKN Cariu, penambahan ruang kelas baru untuk sembilan SMAN, pembangunan tujuh USB SMAN, dan pembangunan UGB empat SMAN.
Usulan perbaikan atau rehabilitasi 214 gedung sekolah dasar itu akan kita sampaikan kepada Bappeda untuk kemudian dibahas dalam rapat panitia anggaran eksekutif dan legislatif untuk disetujui. Rehabilitasi 214 gedung sekolah dasar itu terbagi dua yaitu rehabilitasi ringan 81 sekolah dan rehabilitasi berat/sedang sebanyak 133 sekolah, kata Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, Drs Adang Suptandar, Ak MM.
Besaran anggaran
Sementara itu Humas Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, Rony Kusmaya menjelaskan, ajuan Disdik tahun 2008 untuk memperbaiki sarana dan prasarana sekolah dasar dibutuhkan anggaran sekitar Rp69.194.884.000.
Perinciannya, rehababilitasi 214 gedung SD senilai Rp49.923.597.600 dan pembangunan RKB, UGB, revitalisasi serta relokasi mencapai Rp19.271.286.400. Untuk rehab ringan diperkirakan satu sekolah membutuhkan dana antara Rp150 juta sampai Rp200 juta. Sedangkan rehab ringan/berat membutuhkan dana Rp200 juta sampai Rp300 juta. Kalau pembangunan RKB dan UGB satu sekolah membutuhkan dana sekitar Rp400 juta, katanya.
Berdasarkan rekapitulasi pembangunan fisik Dinas Pendidikan, kata Rony, pada tahun 2005 sampai 2007 tercatat 3.200 ruang kelas sekolah dasar yang rusak. Sedangkan yang sudah dilaksanakan pada tahun 2006 dan 2007 tercatat 1.297 ruang kelas. Dalam merehab sekolah pada kedua tahun tersebut sumber dana berasal dari pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten.
Jadi, masih ada 1.903 ruang kelas sekolah dasar yang rusak. Bila usulan 214 SD disetujui akan mengurangi jumlah ruang kelas yang rusak. Usulan rehab juga awalnya masukan dari tingkat bawah melalui Musrenbang kecamatan. Meskipun kita ketahui bahwa anggaran Disdik untuk tahun 2008 ini mengalami defisit hampir Rp350 miliar, dan Disdik sedang memangkas beberapa kegiatan untuk mengurangi defisit tersebut, katanya.
Bagaimana bila usulan tersebut tidak semua dikabulkan? Menurut Rony, Disdik akan mengambil langkah lain bila usulan rehabilitasi 214 sekolah tidak dikabulkan semua. Yaitu, akan mengusulkan kembali sekolah yang tidak mendapat dana dari APBD Kabupaten Bogor tahun 2008 melalui anggaran role sharing atau Dana Alokasi Khusus (DAK). Kita berharap penuntasan wajib belajar sembilan tahun terutama dari kualitas sarana dan prasarana sekolah bisa teratasi, ujarnya. (don/ck-58)

PEMANFAATAN TEKNOLOGI MULTIMEDIA DALAM PEMBELAJARAN



Judul: PEMANFAATAN TEKNOLOGI MULTIMEDIA DALAM PEMBELAJARAN
Bahan ini cocok untuk Mohon Pilih bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama & E-mail (Penulis): Hidayat Raharja,S.Pd.
Saya Guru di SMAN 1 SUMENEP
Topik: teknologi multimedia
Tanggal: 27 JUNI 2008
Majunya teknologi informasi merupakan suatu perkembangan yang memberikan akses terhadap perubahan kehidupan masyarakat. Dunia informasi menjadi salah satu wilayah yang berkembang pesat dan banyak mempengaruhi peradaban masyarakat. Radio, Televisi, DVD, VCD merupakan salah satu perangkat elektronik yang menjadi bagian dari perabot rumahtangga. Selain berfungsi informatif, media teknologi tersebut merupakan salah satu media entertainment yang memberikan pilihan hiburan menyegarkan.

Akibat kemajuan media teknologi informasi, kehidupan masyarakat memasuki zone rekreatif (hiburan). Tidak dapat dibayangkan, ketika media televisi telah menjadi salah satu media yang menyediakan diri selama 24 jam untuk memberikan hiburan di tengah-tengah keluarga. Setiap sajian acara yang ditayangkan, senantiasa dikemas dalam unsur hiburan. Bukan hanya tayangan sinetron, iklan, bahkan pemberitaan (news) tak lepas dari unsur hiburan. Bagaimana berita kriminal dan mistik menjadi salah satu tayangan di berbagai stasiun televisi yang mampu menghipnotis pemirsa untuk tetap bertahan di hadapan layar televisi.

Hadirnya teknologi media audiovisual, telah menciptakan budaya masyarakat rekreatif dan konsumtif. Masyarakat memiliki banyak pilihan untuk menghibur diri dan membuang kesumpekan hidup yang makin menjepit.

Kondisi perubahan peradaban tersebut, telah pula menjadi pemicu terhadap upaya perubahan sisitem pembelajaran di sekolah. Upaya untuk melepaskan diri dari kungkungan pembelajaran konvensional yang memaksa anak untuk mengikuti pembelajran yang tidak menarik, dan membosankan, sehingga meminjam ungkapan Faulo Fraire, sekolah tak lebih merupakan bangunan tembok penjara yang menghukum penghuninya untuk mengikuti (memaksa) menerima segenap ajaran yang berkubang di dalamnya.

Neil Postman, salah satu filosof dan pakar pendidikan semakin mencemaskan terhadap kehidupan lembaga persekolahan yang semakin teralineasi dari kultur masyrakat yang kian dinamis, sehingga sampai pada taraf asumtif, matinya nilai-nilai pendidikan.

Kondisi sekolah, senantiasa dituntut untuk terus-menerus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat, sehingga sekolah yang tetap berkutat pada instruksional kurikul;um hanya akan membuat peserta didik gagap meliohat realitas yang mengepungnya.

Kehadiran teknologi multimedia, bukan lagi menjadi barang mewah, karena harganya bisa dijangkau oleh segenap lapisan masyarakat untuk memiliki dan menikmatinya. Artinya, sekolah sebagai lembaga pendidikan harus mampu untuk memiliki teknologi tersebut sehingga bisa menjadikannya sebagai media pembelajaran yang menarik, interaktif, dan mampu mengembangkan kecakapan personal secara optimal, baik kecakapan, kognitif, afektif, psikomotrik, emosional dan spiritualnya. Hal ini amat memungkinkan, ketika ruang belajar di luar gedung sekolah, telah menghasilkan berbagai produk audiovisual yang bernilai- edukatif, mulai dari mata pelajaran yang yang disajiukan dalam bentuk quiz, ataupun dalam bentuk penceritaan dan berbagai permainan yang memukau.

Salah satu sekolah menengah di Jember (SMAN 2) beberapa waktu lalu, telah mempublikasikan diri sebagai salah satu sekolah yang memakai perangkat multimedia untuk pembelajaran. Setiap guru wajib membuat media pembelajaran dengan teknologi multimedia dan menayangkannya (mempergunakan) dalam pembelajaran. Sungguh sangat menarik, dengan peralatan handycam, dan komputer (PC), seorang guru membuat media pembelajaran audiovisual yang akan memancing minat siswa untuk belajar dan tertarik untuk mengembangkan pengetahuannya. Kondisi yang membuat iri, berbagai sekolah untuk memiliki perangkat pembelajaran semacam itu. Bahkan, sudah waktunya pula apabila sekolah memanfaatkan situs-situs pengetahuan di dunia cyber untuk dimanfaatkan dalam pembelajaran.

Benarkah pemanfaatan teknologi multimedia akan membuat pembelajaran menjadi lebih menarik? Bagaimana seharusnya menyiapkan perangkat pembelajaran multimedia sehinggga menjadi tayangan yang menarik, dan efektif dalam pemanfaatannya untuk mengembangkan kemampuan siswa?

Ada sesuatu yang ganjil dalam pemakaian teknologi multimedia yang dipergunakan di SMA 2 Jember dalam pemberiataan jawa pos (maret, 2004), diantaranya pembelajaran agama, dengan menyagankan guru agama yang tengah berceramah. Pembelajaran matematika dengan mempergunakan CD dan hanya berisi berbagai keterangan (tulisan) yang berhubungan dengan pembelajaran. Atau di tempat lain, seorang guru menayangkan pembelajaran mempergunakan VCD yang berdurasi selama 90 menit (2 jam pelajaran) dari awal sampai tayangan berakhir siswa hanya diajak untuk menonton, tanpa ada sesuatu yang bisa mengukur pemahaman siswa terhadap apa yang diatayangkan. Contoh tersebut merupakan salah satu bentuk pemanfaatan media audiovisual yang diarasakan kurang efektif. Karena bila kita menengok pada ceramah agama di berbagai stasiun televisi sudah dikemas sedemikian menghibur dan mampu menarik minat pemirsa untuk saling berinteraksi. Artinya, sebelum media teknologi tersebut dipergunakan, terlebih dahyulku dikenali karakteristik dari tiap media, sehingga bisa dimanfaatkan secara efektif dan efisien

Dr.Vernom A.Magnesen (1983) menyatakan kita belajar, "10% dari apa yang dibaca; 20% dari apa yang didengar, 30% dari apa yang dilihat, 50% dari apa yang dilihat dan dengar, 70% dari apa yang dikatakan, 90% dari apa yang dilakukan"

Berpijak kepada konsep Vernom, bahwa pembelajaran dengan mempergunakan teknologi audiovisual akan meningkatkan kemamp[uan belajarn sebesar 50%, daripada dengan tanpa mempergunakan media. Namun dengan melihat pada realitas yang ditemukan pada proses pembelajaran tersebut, maka pencapaian belajar secara efektif akan dicapai apabila:

(1) Guru mengenal keunggulan dan kelemahan dari setiap media teknologi yang dipergunakan. Penggunaan teknologi auditif bukan berarti lebih buruk daripada media audiovisual, karena ada beberapa materi pembelajaran yang akan lebih baik ditayangkan dengan mempergunakan teknologi auditif untuk merangsang imajinasi siswa, dan melatih kepekaan pendengaran

(2) Menentukan pilihan materi yang akan ditayangkan, apakah sesuai dengan penggunaan media auditif, visual, atau audiovisual. Misalnya untuk melatih kepekaan siswa dalam memahami percakapan bahasa inggris, akan lebih baik kalau dipergunakan media auditif, sementara untuk mengetahui ragam budaya masyarakat berbagai bangsa tentu lebih relevan dengan mempergunakan tayangan audiovisual.

(3) Menyiapkan skenario tayangan, tentu berbeda dengan satuan pelajaran, karena disini menyangkut terhadap model tayangan yang akan disajikan sehingga menjadi menarik, nantinya akan mampu mengembangkan berbagai aspek kemampuan (potensi) dalam diri siswa.. Tidak kalah pentingnya, adalah bagaimana membuat anak tetap fokus kepada tayangan yang disajikan, dan mengukur apa yang telah dilakukan siswa dengan

(4) menyiapkan lembar tugas atau quiz yang harus dikerjakan siswa ketika menyaksikan tayangan pembelajaran

*****

Upaya membuat anak betah belajar disekolah dengan memanfaatkan teknologi multimedia, merupakan kebutuhan, sehingga sekolah tidak lagi menjadi ruangan yang menakutkan dengan berbagai tugas dan ancaman yang justru mengkooptasi kemampuan atau potensi dalam diri siswa. Untuk itu, peran serta masyarakat dan orangtua , komite sekolah merupakan partner yang dapat merencanakan dan memajukan sekolah.

Pemanfaatan teknologi merupakan kebutuhan mutlak dalam dunia pendidikan (persekolahan) sehingga sekolah benar-benar menjadi ruang belajar dan tempat siswa mengembangkan kemampuannya secara optimal, dan nantinya mampu berinteraksi ke tanmgah-tengah masyarakatnya. Lulusan sekolah yang mampu menjadi bagian intergaral peradaban masyarakatnya. Suatu keinginan yang tidak mudah, apabila sekolah-sekolah yang ada tidak tanggap untuk melakukan perubahan. Sejarah persekolahan di indonesia telah mencatat, bahwa upaya-upaya perubahan yang dilakukan pemerintah untuk melakukan pengembangan terhadap kurikulum sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, juiga pengembangan terhadap berbagai metode dan proses pembelajaran yang menarik untuk memancing dan memicu perkembangan kreatif siswa pada akhirnya kermbali kepada titik awal; betapa sulitnya perubahan itu?

Setidaknya dengan akan diberlakukannya kurikulum 2004 (KBK), pembelajaran di sekolah akan menjadi sangat variatif, rekreatif, dan tentu kontekstual. Jika murid tidak mampu bukan sepenuhnya kesalahan murid, tetapi bisa jadi kesalahan kolektif pihak sekolah yang kurang kondusif. Nyatanya, bila melihat dari faktor usia, siswa memiliki peluang besar untuk mengikuti perubahan yang ada, sementara kata orang bijak justru guru yang paling sulit berubah, karena faktor usia yang merasa lebih tua dan lebih tahu.

Teknologi telah hadir di hadapan kita, bagaimana kita memanfaatkannya secara optimal untuk nenajukan dunia pendidikan (bukan pendudukan) yang kita dicintai bersama. Tentunya semua itu amat bergantung kepada dana dan sumber daya, dan penghargaan terhadap manusianya.
http://re-searchengines.com/hidayat10608.html