Senin, 18 Mei 2009

Depdiknas Berlebih, Depag ‘Anak Tiri’ Diskriminasi Anggaran Pendidikan


Sudah cukup tinggi, anggaran pendidikan yang dialokasikan dalam APBN 2009. Besarannya mencapai 20 persen dengan nominal Rp 207, 5 triliun lebih. Namun alokasi sebesar ini cukup timpang pembagiannya pada dua lembaga yang sama-sama menaungi banyak lembaga pendidikan, yaitu Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Anggaran Depdiknas kerap berlebih sedang Depag tetap menjadi ‘anak tiri’.
Menilik pada 2008 misalnya, anggaran Depag menembus Rp 17,6 triliun dan terpakai sebesar Rp 14,3 triliun untuk anggaran pendidikan yang dinaunginya. Padahal Depag mengurusi 2,67 juta santri di tidak kurang dari 14.700 pesantren. Juga bertanggung jawab atas 3,4 juta siswi pada 27 ribu madrasah diniyah plus kelangsungan hidup 17 ribu Raudlatul Athfal (RA, setingkat TK –red)
Jumlah itu pun baru dari lembaga yang berbasis keagamaan Islam. Padahal Depag juga bertanggung jawab atas lembaga pendidikan lain yang berbasis Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Di Hindu ada pasraman dan pesantian, di Buddha mengenal pabbajja. Konghucu menyebut shuyuan, dan sebagainya. Bahkan di Flores, hanya 60 persen saja lembaga pendidikan Katoliknya yang sehat, 20 persennya hampir sekarat.
Ketimpangan pengganggaran untuk pendidikan di dua departemen ini, seperti diungkap Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Prof Dr H Ginanjar Kartasasmita, salah satunya dipengaruhi oleh sistem pengelolaan yang salah. Menurutnya peran dan fungsi Depag seharusnya lebih fokus pada masalah keagamaan sehingga bidang pendidikan bukan menjadi prioritas utama. “Sebaiknya memang Depag tidak usah mengurusi pendidikan, biarkan dikelola satu pintu saja lewat Depdiknas. Depag fokus mengurusi masalah yang berkaitan dengan agama seperti penerangan, kerukunan umat beragama, dan lain-lain,” ungkap Ginanjar dalam rilis resmi di situs DPD. Selain soal fokus atas tugas dan fungsi Depag yang lebih pada masalah keagamaan, Kepala MTsN 1 Kediri, Sya’roni MPdI menilai bila otonomi daerah juga menjadi faktor penting terjadinya diskriminasi anggaran ini. Dengan model sentralistik, di mana urusan keagamaan diatur pusat, Depag tidak memiliki kewenangan untuk mendapatkan dana pendamping dari APBD, baik di tingkat provinsi maupun kota/kabupaten. “Kalau Depdiknas, alokasi anggarannya selain 20 persen sudah dari APBD juga diatur adanya dana pendamping dari APBD dengan besaran yang sama. Memang otonomi daerah pada akhirnya membuat lembaga di bawah Depag seperti anak tiri, selalu dinomorduakan untuk urusan pengembangannya,” tegas Sya’roni. Namun pandangan ini sebenarnya tidak bisa digeneralisasi mengingat tidak sedikit pemerintah daerah yang berkomitmen besar membangun pendidikan keagamaan. Di Jawa Timur, daerah itu seperti Kabupaten Gresik, Kabupaten Probolinggo, maupun Kabupaten Kediri. Bahkan di Kabupaten Probolinggo bentuk dukungan APBD bagi pendidikan keagamaan bisa dibilang jauh lebih besar dari dukungan untuk Depdiknas. .rer,mas/KP

http://www.koranpendidikan.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar